Halaman

Senin, 11 Mei 2015

seni islam hossein nasr



A.    Latar Belang Masalah
Dalam perkembangan sejarah kesenian semenjak zaman prasejarah sampai yang mutakhir seperti sekarang ini, kepercayaan atau agama senantiasa  merupakan  sumber  inspirasi  yang  amat  besar  bagi  seniman dalam  berkarya.  Agama  adalah  pembangkit  daya  cipta  yang  luar  biasa untuk  mewujudkan  segala  sesuatu  yang  bernilai  seni.  Akan  tetapi  pada pertengahan  abad  18  M  yaitu  permulaan  abad  yang  dipengaruhi  oleh pikiran dan cita-cita yang romantis dan materialis, maka sifat keagamaan dalam kesenian mulai hendak ditinggalkan orang.
Revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad ke 18 telah membuktikan sebuah kemenangan akal yang diidam-idamkan para pemikir dengan paradigK.MR M  Nma antroposentris yang mengandaikan sebuah kebebasan manusia dalam berkehendak, berkreasi, dan menggunakan akalnya untuk berfikir. Manusia tidak lagi terkungkung dengan tradisi yang irasional dalam menjalankan roda kehidupan, tetapi menjadi sebuah entitas yang rasional dan optimis dapat mengatasi segala masalah dengan akalnya. Keadaan di atas sering kali disebut dengan sebutan era modern, sebuah era di mana tata hidup dan perilaku manusia baik budaya dan peradabannya yang mencakup konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, negara, kota, lembaga (sekolah, rumah sakit dan lain-lain), sampai pada perilaku ataupun juga barang dan sifat apa saja yang bersifat baru dan kekinian.[1]
Dominasi yang terjadi dalam pola pikir masyarakat modern adalah model positivistik yang menggunakan ukuran sebuah kebenaran menggunakan kacamata pengetahuan empiris dan rasional. Positivisme akan menolak cara orang lama berfikir, dimana pengalaman yang sehari-hari dan perasaan religius saling meresapi, dan agama merupakan penafsiran dan pengertian yang benar.[2] Akibat dari cara berfikir ini menyebabkan adanya sekularisasi atas pemikiran dan perilaku manusia modern dalam berbagai hal, sehingga menurut mereka ilmu harus bersifat bebas nilai ( value free ). Disamping keadaan di atas, diakui bahwa keberhasilan dari modernisasi adalah mampu mempermudah manusia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.[3]
 Kenyataan di atas tidak dapat terelakkan juga berdampak pada dunia seni atau estetika. Masuknya pandangan sekuler ke dalam dunia seni selain menambah beraneka ragamnya hasil kreasi seniman, juga berdampak buruk terhadap eksistensi seni itu sendiri. Seni yang seharusnya sarat dengan makna-makna spiritual, mengemban pesan yang tinggi dengan media manifestasi masing-masing, menjadi tergradasi dan gersang makna. Yang ada hanyalah seni untuk seni atau dikenal dengan istilah l’art pour l’art [4] yang hanya memburu kebebasan material ekspresi dengan mengabaikan substansi makna dan pesan moral yang tinggi dalam ekspresi itu. Pandangan ini muncul abad 18 dalam khasanah falsafat seni Eropa dengan istilah disiniterestedness atau tanpa kepentingan atau tanpa kegunaan. Artinya adalah bahwa karya seni itu bebas dari kungkungan ruang dan waktu tertentu, atau konteks dan pengaruh tertentu, sehingga karya seni menemukan nilai universalnya melampaui batas-batas yang ada dan abadi.[5]
Dengan paham seni untuk seni sebagai konsep penciptaannya, seniman melemparkan selimut keagamaan keluar menuju alam cipta ekspresi pribadi yang luas, bebas, bahkan absolut. Penganut seni untuk seni menjauhkan diri dari apa yang berbau agama, karena menurut mereka agama tidak memberikan  kesempatan  istimewa  bagi  mereka  untuk  melukiskan  objek yang menarik dalam arti yang seluas-luasnya. Mereka menghendaki objek yang tak terbatas, sedangkan agama memberikan batasan tertentu dalam kehidupan berkesenian. Oleh karena itu, mereka lari ke alam bebas, dimana mereka  dapat  berbuat  merdeka  melukis  dan  mematung  sesuai keinginannya.
Dalam kaitannya dengan kenyataan di atas, hadir seorang pemikir kontemporer bernama Seyyed Hossein Nasr banyak memberikan kritik atas kenyataan manusia modern saat ini dari berbagai segi. Salah satu fokus kritiknya adalah masalah fenomena seni modern yang sedang berkembang pesat ke seluruh bagian masyarakat, termasuk masyarakat Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu juru bicara Islam di Barat yang gigih menyuarakan pemikiran Tradisionalisme Islam[6] untuk membentengi arus modernisasi yang telah merusak sendi-sendi tradisi luhur masyarakat, khususnya Islam. Sekularisasi seni saat ini juga dirasakan masyarakat Indonesia dengan berbagai fenomena bahwa seni tidak lagi mempunyai pesan dari Dunia Atas, melainkan hanya sebagai bahan hiburan yang temporal dan terkadang sebagai barang dagangan murahan tanpa memperhatikan tujuan seni sebagai medium antara materialisme dunia dan kerohanian yang kekal.
B.     Biografi Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7 April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang guru dan dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr. Sebutan dengan gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanan yang dianugerahkan oleh raja Syah Reza Pahlevi kepada keduanya.[7]
Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran Syi'ah tradisional yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syi'ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun telah terjadi revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syi'ah telah lama hidup di sana yang didukungoleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh. Pendidikan awal Nasr dijalani di Teheran ditambah dari orang tuanya yang menanamkan disiplin keagamaan secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang Al-Qur'an, syair-syair Persia klasik dan sufisme. Sebelum pidah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr memperoleh pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh secara informal dan formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya, terutama dari ayahnya.
Pada masa itu arus modernisasi Barat sudah sangat gencar menyerang dunia Timur. Secara sadar keadaan ini dipahami oleh Seyyed Valiullah Nasr untuk segera melakukan sesuatu. Hal yang harus dia lakukan adalah menyelamatkan puteranya agar tidak terkena imbasnya, sehingga beliau membekali Nasr dengan ilmu tradisional semenjak dini sebelum belajar ilmu lain. Selain itu keinginan membendung arus modernisasi ini harus dilakukan juga dengan mempelajarinya di dunia asalnya, maka dikirimlah Seyyed Hossein Nasr untuk belajar di Barat, yaitu di Amerika.
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan memasukkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey lulus pada tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology (MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal sesbagai seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang falsafat modern.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam bidang geologi yang fokus pada geofisika. Belum puas dengan hasil karyanya, beliau merencanakan untuk menulis disertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan dengan melanjutkan studinya di Harvard University pada tahun 1958, dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan dan falsafat dengan desertasi berjudul An Introduction to Islamic Cos mological Doctrine.
Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton. Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal dunia. Tetapi disertasi ini tidak boleh berhenti sehingga Nasr mendapatkan bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton Gibb dan Harry Wolfson.[8]  Disertasi itu selesai dengan judul "Conceptions of Nature in Islamic Thought" yang kemudian dipubilkasikan oleh Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines. Dengan selesainya disertasi ini Nasr mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25 tahun tepatnya pada tahun 1958.[9]
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan falsafat perennial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and the Perennial Philoshopy sebagai ungkapan yang paling mengagumkan dan paling lengkap dari philosophia perennis yang ada di dunia sekarang. Nasr sangat mengagumi Schuon, sehingga ia memberikan gelar padanya sebagai My Master.[10]
Selain itu pemikiran tradisionalis Nasr dipengaruhi oleh konsep tradisional dari A.K. Coomaraswamy, khususnya dalam studinya mengenai seni taradisional. Kerangka pikir dari Coomaraswamy mengilhami pemahaman Nasr tentang tradisionalisme khususnya mengenai studinya atas kesenian Islam. Khusus mengenai seni ini ia juga banyak terpengaruh oleh pandangan Titus Burckhard yang secara spesifik memberikan perhatian pada seni Islam. Keduanya dapat dikatakan sebagai rujukan utama Nasr dalam pembahasan masalah seni dan spiritualitas dalam Islam. [11]
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya ke Iran ia segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana. Kedalaman ilmunya memberikan satu tempat khusus baginya sebagai seorang tokoh baru di Iran. Nasr aktif dalam kegiatan akademis dan keagamaan, seperti keterlibatannya dalam diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi’ah di sana semisal Allamah Thabathaba’i, Muhammad Kazim ‘Assar dan Abu Hasana Rafi’i Wazwini.[12]
Sebagai pemikir yang memproklamirkan diri sebagai seorang tradisionalis perlu kiranya dilihat konsistensinya. Dalam hal ini perlu kiranya dipaparkan alur pemikirannya agar terlihat peta pemikirannya yang menyeluruh dan komprehensif. Untuk mengetahuinya perlu dipaparkan secara historis tahapan pemikiran yang telah dia lalui. Pemikiran Nasr dapat di bagi menjadi empat periode, yaitu perode 1960-an,1970-an, 1980-an dan 1990-an.[13]
Nasr menerbitkan karya yang fokus membicarakan Islam secara rinci yang banyak memaparkan sumber-sumber ajaran Islam dan cara memahaminya. Dipaparkan tentang urgensi Al-Qur’an sebagai wahyu sekaligus sumber pengetahuan, juga mengenai Hadits sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an. Penjelasannya lebih mendalam sampai bagaimana cara memahami keduanya melalui jalan spiritual yang dimulai dari Syari’ah, tariqat dan Haqiqah.[14]
Pada akhir 1980-an ia menulis buku yang berjudul Islamic Art and Spirituality (1987) sebagai penjelasan lebih rinci dari bab 8 pada buku Knowledge and Secred (1981). Karya ini mengulas keindahan dan kebesaran seni budaya Persia sebagai seni suci dan seni tradisional. Menurutnya seni suci adalah seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan kehidupan spiritual seperti seni kaligrafi dan seni baca Al-Qur’an serta seni arsitektur bernuansa geometris sedangkan seni tradisional adalah seni yang melukiskan prinsip-prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam tetapi dengan cara yang tidak langsung.[15] Ia menjelaskan prinsip keindahan berdasarkan teori seni metafisis Platonian, yang memandang wujud universal dan ideal. Secara khusus ia menjelaskan tentang cara menghayati karya seni suci dan seni tradisional melalui metode pendakian jalan spiritualitas (syari’ah, tariqat dan haqiqah).
Nasr banyak menghasilkan karya tulis, antara lain, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines (Disertasi, London Thames and Hudson Ltd., 1978); Idealis and Realities of Islam (London, George Alien & Unwim Ltd., 1966) yang berisi ceramah Nasr dalam perkuliahannya di America University of Beirut tahun 1964-1965, Islamic Studies,Essays on Law and society, The Sciences, and Philosophy and sufisme (Beirut, Librairie Du Liban Press, 1967); The Encounter of Man and Nature, the Spiritual Crisis of Man and Nature (London, George Alien & Unwim Ltd.,1968) yang berisi materi perkuliahan di The University of Chicago bulan Mei 1966, Science and Civilization in Islam (Harvard, Harvard University Press,1968), berisi tentang berbagai hal dari perspektif Islam, Sufi Essays (London, George Alien & Unwim, 1972) berisi kumpulan artikel tentang sufi dan sufisme yang   tersebar   dalam   berbagai   jurnal ilmiah, Islam and The Plight of Modern Man (London, Longman Press, 1975), Knowladge and the Sacred (Edinburg, Edinburg University Press, 1981) berisi obsesi Nasr membangun falsafat berlandaskan tradisi universal yang berlaku sepanjang zaman. Nasr, selain itu juga aktif menulis artikel untuk jurnal-jurnal ilmiah di berbagai negara, antara lain, journal Millawa Milla (Melbourne,   Australia), Journal Iran (terbit di London), Studies in Comparative Religion (London, Inggris), The Islamic Quartelly (London, Inggris), Hamdard  Islamicus,  dan  Word Spirituality.
C.    Sumber Seni Islam
Sebuah bangunan masjid dan gereja tidak akan disamakan oleh seseorang, meskipun misalnya, bahan bangunan masjid diambil dari gereja. Menurut Nasr, artinya cikal bakal seni Islam dan kekuatan-kekuatan serta prinsip-prinsip yang mendasarinya tidak mungkin digali dari kondisi sosio politik yang mengiringinya tetapi harus dihubungkan dengan pandangan dunia (world view) Islam sendiri.  Sumber seni Islam harus dicari di dalam realitas-realitas batin al-Qur’an dan hadist yang merupakan realitas-realitas dasar kosmos dan realitas spiritual, dan ini inilah yang merupakan sumber seni Islam, yang tanpa keduanya tidak akan muncul seni Islam. Al-Qur'an memberikan doktrin keesaan sedang Nabi memberikan manifestasi keesaan ini dalam keserbaragaman dan kesaksian dalam ciptaanNya. Keduanya memberikan daya kreativitas yang memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam. Menurut Nasr, kenyataannya seniman Islam senantiasa memperlihatkan rasa cinta dan kesetiaan yang istimewa kepada Nabi dan keluarganya.[16]
Nasr mengatakan bahwa Al-Qur’an berisi kumpulan petunjuk bagi manusia agar ia mampu memenuhi janjinya kepada Tuhan, sebagai pusat kehidupan Islam dan merupakan dunia bagi umat Muslim. Secara umum penegertian Al-Qur’an bagi Muslim adalah sebuah kitab kumpulan petunjuk bagi manusia yang berasal dari Allah yang diturunkan kepada Rasullullah Muhammad melalui malaikat Jibril.[17]
Nasr berpendapat bahwa kesucian Al-Qur’an menyebabkan semua yang terkait dengan bentuk Al-Qur’an juga suci. Bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an adalah bahasa suci umat Islam, karena ia terkait langsung dengan dzat Al-Qur’an yang memang turun dengan bahasa Arab. Kesucian bahasa Arab bukan karena tingginya sastra Arab yang dipakai. Kalau ini ukurannya, sebenarnya bahasa Arab masih kalah tinggi kesusasteraannya dengan bahasa Persia. Bahasa Arab sebagai bentuk nyata dari Al-Qur’an sama seperti tubuh Yesus sebagai tempat bersemayamnya Tuhan di dunia.[18] Sehingga semua ritus peribadatan dan segala ritus keislaman termasuk mengucapkan perkataan (doa) dengan bahasa Arab merupakan sebuah kewajiban khususnya dalam ibadah shalat.
Seni Islam, selain itu juga berdasarkan hikmah, yakni pengetahuan yang diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Seni Islam mewujudkan realitas-realitas yang ada dalam pembendaharaan Ghaib lewat bantuan ilmu pengetahuan  tentang  dunia  batin. Hal ini dapat dilihat antara lain, pada bangunan Masjid Syah di  Isfahan atau arsitektur masjid lainnya yang dibangun dengan pola geometri dan arabeska (kaligrafi tradisional) yang luar biasa, atau pada melodi-melodi musik Arab tradisional yang memberikan alunan musik yang sangat menawan, yang jika direnungkan secara mendalam pasti akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua itu digali dari keindahan dunia kasat mata. Demikian, sehingga karakter intelektual dari seni Islam tidak bisa dianggap sebagai hasil dari semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terestrial.
Seni Islam juga tidak meniru bentuk-bentuk lahir alam, tetapi memantulkan prinsip-prinsipnya, sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah karya yang hanya bisa diraih berdasarkan cara-cara tertentu. Oleh karena itu, seni Islam berbeda dengan seni Barat, jika di Barat seni hanya menonjolkan  bentuknya, ada yang impressionis dan ekspresionis, namun seni Islam mengutamakan pada makna yang ingin disampaikan kepada penikmat seni. Makna yang menunjukkan bukti keindahan dan kebesaran Tuhan. Namun kenyataannya, dimanapun kehidupan intelektual dan spiritual Islam mencapai puncak, kreativitas seni Islam juga mencapai kesempurnaan, sebaliknya ketika kehidupan spiritual Islam mengalami keruntuhan, kualitas seni Islam juga mengalami kemunduran. Kualitas seni mencapai puncaknya ketika seniman mampu mencapai puncak spritualnya, tidak hanya sekedar meniru alam. Semakin tinggi ia mencapai puncak spiritualnya, semakin tinggi pula kualitas seninya.
Seni Islam adalah buah dari spiritualitas Islam, merupakan hasil dari pengejawantahan keesaan pada bidang keragaman. la merefleksikan kandungan prinsip keesaan Ilahi, kebergantungan seluruh keanekaragaman kepada Yang Esa, kesementaraan dunia dan kualitas-kualitas positif dari eksistensi kosmos. Menurut  Nasr, namun demikian meski seni Islam diilhami spiritualitas Islam secara langsung, wujudnya tetap saja dibentuk oleh karakter-karakter sosial budaya yang meliputinya. Hanya saja karakter-karakter tersebut tidak sampai mengurangi kebenaran dan kandungan batin dan dimensi spiritual Islam yang menjadi sumber seni Islam.
D.    Klasifikasi Seni Islam
Berdasarkan uraian di atas, dimana seni Islam  bersumber dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek batin wahyu, Nasr mengklasifikasikan seni dalam tiga bagian. Pertama, seni suci, yaitu seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan kehidupan spiritual. Kedua, seni tradisional, yaitu seni yang menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara tidak langsung.[19]
Perbedaannya antara seni suci dengan seni tradisional bisa dilihat pada  contoh sebuah pedang. Pedang yang dibuat abad pertengahan, baik Islam maupun Kristen, tidak pernah digunakan secara langsung dalam acara ritual keagamaan meski merefleksikan prinsip ajaran Islam atau Kristen. Karena itu, ia masuk kategori seni tradisional. Berbeda dengan pedang Shinto di Kuil Se di Jepang. Pedang  Shinto  dikaitkan  langsung dengan ajaran agama tersebut dan merupakan obyek ritual yang bermakna tinggi dalam agama Shinto, sehingga dimasukkan dalam seni suci.
Ketiga, seni religius, yaitu seni yang subyek atau fungsinya bertema keagamaan, namun bentuk atau cara pelaksanaannya tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah lukisan-lukisan religius dan arsitektur Barat sejak renaissance dan beberapa lukisan religius di dunia Timur selama seabad atau dua abad lalu di bawah pengaruh seni Eropa.
Lebih lanjut penjelasan mengenai klasifikasi seni sebagai berikut:
1.    Seni Suci dan Seni Tradisional
Dalam pandangan Nasr, seni Islami dibedakan dalam dua wilayah, pertama adalah seni suci dan seni tradisional yang didefinisikan sebagai berikut:
… Seni suci adalah seni yang berhubungan langsung denga praktik-praktik utama agama dan kehidupan spiritual, yang mencakup seni-seni seperti kaligrafi, arsitektur masjid, dan tilawah Al-Qur’an. Seni tradisional Islam, bagaimanapun juga, meliputi setiap bentuk seni yang dapat dilihat dan didengar mulai dari seni pertamanan hingga puisi, seluruh bentuk seni tradisional yang juga melukiskan prinsip-prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam namun dalam cara yang lebih tidak langsung. Dalam beberapa hal, seni suci merupakan inti dari seni tradisional, yang secara langsung menggambarkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang justru terefleksikan secara tidak langsung dalam seni tradisional.[20]
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa seni tradisional tidak dapat dipisahkan dari pengetahuan suci yang didasarkan pada pengetahuan kosmik tentang kesucian dan kebatinan yang kemudian menjadi pusat dari seni tradisional, yang berfungsi sakramental dan seperti agama itu sendiri, dan sekaligus juga merupakan kebenaran dan kehadiran. Keduanya memiliki hubungan yang erat tapi masing-masing memiliki kadar spiritualitas yang berbeda.[21]
Seni suci, untuk memahami labih lanjut, menurut Nasr seorang mesti memahami pandangan masyarakat Islam tentang realitas, kosmik maupun metakosmik. Dalam pandangan falsafat Islam, realitas adalah multistruktur, yaitu memiliki berbagai tingkat eksistensi. Realitas berasal dari Yang Esa yang terdiri atas berbagai tingkat yang sesuai dengan kosmologi Islam, dapat diringkas sebagai alam malaikat, alam psikis, dan alam material. Manusia hidup dalam alam material namun sekaligus dikelilingi oleh seluruh tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Yang suci menandai suatu pemunculan dunia yang lebih tinggi dalam hal eksistensi psikis dan material, keabadian dunia temporal. Semua yang datang dari dunia spiritual adalah suci karena berperan sebagai sarana untuk kembalinya manusia menuju dunia spiritual.
Namun kemungkinan ini kembali ke dunia lebih tinggi tidak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, karena pada dasarnya hanya yang datang dari dunia spiritual itulah yang dapat bertindak sebagai sarana  untuk  kembali  ke dunia yang lebih tinggi. Karena itu, yang suci menandakan adanya keajaiban nilai spiritual dalam dunia material. la merupakan gema dari surga untuk mengingatkan manusia di bumi akan tempat asalnya, surga.
Seni suci Islam merupakan sebuah pusat dari dari perjalanan perenungan dan makna. Kandungan makna yang ada merupakan universalitas dari pesan-pesan material yang ditampilkan. Fungsinya mengandaikan fungsi agama bagi kehidupan manusia. Kedalaman dan keuniversalan makna menjadi sebuah pegangan hidup bagi yang menyaksikannya, yang membimbing menemui bentuk universal.
Seni tradisional didasarkan pada scientia sacra yang memandang Realiatas Tertinggi sebagai kemutlakan, ketakterbatasan dan kesempurnaan atau kebaikan, yang merefleksikan kesempurnaan dan kebaikan sumber, harmoni dan tatanan, yang juga terefleksi dalam kosmos dan merupakan jejak kemutlakan prinsip dalam manifestasi dan misteri dan kedalaman batin yang membukakan ketakterbatasan Ilahi itu sendiri.[22]
Dengan demikian seni tradisional Islam bukan sebuah seni kuno atau klasik yang dibuat orang-orang sebelum masa modern. Tapi ia lebih merupakan sebuah prinsip seni yang mendasarkan diri pada sebuah pandangan metafisis. Ia merupakan sebuah media yang memanifestasikan sebuah pegangan hidup yang membawa manusia kembali ke fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dari sini sebenarnya titik tolak Nasr menawarkan pandangannya yang segera berhubungan dengan pola-pola tasawuf yang selalu ia kumandangkan sebagai solusi terhadap manusia modern. Dengan seni tradisional manusia dapat melakukan pengembaraan spiritual menuju tercapainya kembali visi keilahian yang hilang. Seorang seniman yang memahami tasawuf akan mampu menghasilkan karya seni yang berdimensi spiritual pula. Memiliki nilai yang tinggi mencerminkan dunia dibalik yang fisik yang serba universal. Sedangkan para penyaksinya akan terbawa menuju dunia tersebut sehingga jiwanya tenang, gembira dan membangkitkan gairah spiritual.[23]
Agama sebagai institusi yang mengajarkan konsep ketuhanan dan ibadah menjadi sangat penting peranannya dalam menentukan arah dan tujuan seni agar sampai pada maksud yang dituju, yaitu keindahan dan kebenaran Mutlak. Tidak kecuali agama Islam harus berperan menjadi katalisator seni yang bernilai tinggi, yang menyejukkan hati dan jiwa, khususnya manusia modern, lebih khusus lagi bagi umat Islam dewasa ini.
2.    Seni Religius/Metafisis
Konsep seni Islami Seyyed Hossein Nasr sebenarnya dengan sangat jelas merujuk pada teori seni metafisis yang pertama kali dikenalkan oleh Plato (428-348 SM). Hal ini sebagai konsekuensi logis dari aliran falsafat Plato yang berpaham idealisme. Plato mendasarkan teoti seninya pada metafisikanya tentang kenyataan (reality), dan kenampakan.[24]Dalam perjalanan falsafatnya, Plato berpendapat bahwa kenyataan yang berada ditingkat paling tinggi adalah berupa kenyataan ilahiah yang berupa dunia ide atau bentuk Yang Sempurna.[25] Dengan demikian bentuk yang sempurna adalah sebuah Bentuk Yang Mutlak dan kebenarannya tidak dapat diragukan lagi. Bentuk Mutlak ini bersifat abadi dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Seorang seniman, menurut Plato, hanya meniru bentuk-bentuk yang ada pada dunia bawah yang rendah, sehingga seorang seniman adalah orang yang menyesatkan karena telah dua kali menjauh dari kenyataan yang sebenarnya. Pendapat ini kemudian disempurnakan oleh kaum Neo-Platonik yang banyak diadopsi oleh kaum sufi. Bahwa penampakan bentuk di dunia ini adalah sebuah cerminan dari dunia Atas atau Ide yang menjadi sebuah pintu masuk menuju ke Dunia Atas tersebut.
Dunia seni adalah dunia yang bergelut dengan pemahaman tentang kenyataan. Kenyataan yang Tertinggi dapat ditemukan dengan melakukan kegiatan pencurahan intelektual, bukan dengan rasio. Pengetahuan praktis manusia tidak dapat melihat sesuatu kenyatan yang tidak terlihat dan abadi, sehingga diperlukan perenungan dan kontemplasi serius guna menapaki perjalanan untuk mengetahui di Dunia Atas yang tidak terlihat secara empiris. Barangkali inilah yang menjadi ciri khas para pemikir tradisionalis yang lebih mengedepankan pandangan metafisis dan religiusitas. Nasr mengatakan bahwa hal inilah yang menjadi ciri khas Timur yang tidak dimiliki oleh masyarakat modern yang dipelopori Barat.
E.     Bentuk-Bentuk Seni Islam
Secara kongkret Nasr membicarakan beberapa bentuk seni yang ada. Nasr lebih mengedepankan bentuk kaligrafi, arabes dan geometri sebagai bentuk-bentuk pencapaian tertinggi dari seni Islam.[26] Adapun geometri yang disakralkan adalah geometri Pythagorean menurut Ibn Sina dan Al-Farabi yang memulai dari titik dan melahirkan garis-garis dan bentuk, yang hal ini merefleksikan dari Yang Satu mengalir ke yang banyak.[27] Dalam pandangan Nasr bentuk seni suci adalah seni plastis yang berupa seni kaligrafi, arsitektur masjid. Kemudian seni suara yang suci adalah pembacaan (tilawah) Al-Qur’an dan musik spiritual yang mengiringi tarian mistik (sama’) dalam tarekat Mawlawiyyah. Selain itu di kategorikan sebagai seni tradisional semisal Syair atau puisi-puisi sufi serta prosa-prosa sufi, atau seni pertunjukan dalam tradisi Syi’ah yang bernama ta’ziyah.[28]
Akan tetapi bentuk seni yang ditampilkan oleh Nasr semuanya adalah berasal dari tradisi Persia. Dia tidak memberikan porsi yang cukup bagi bentuk-bentuk seni di luar Persia. Hal ini diakuinya sendiri dikarenakan latar belakang kulturalnya sebagai orang Persia, sehingga kecenderungannya kepada seni Persia lebih tinggi dibandingkan seni dari luar Persia. Tetapi sayangnya ia mencapai kesimpulan yang tergesa-gesa karena mengatakan bahwa seni Persia adalah puncak kejayaan seni. Padahal jika dilihat perkembangan seni saat ini, banyak seni-seni yang memiliki nilai estetis yang tinggi, tidak kalah dibandingkan dengan nilai-nilai estetis pada karya seni di Persia.
Mengenai musik ia berpendapat bahwa mengetahui hakekat batin dari musik diperlukan sebuah upaya penghayatan dengan serius. Nasr mengambarkan cara penghayatan musik sebagai berikut:
Para penganut cinta (mahabbah) mendengarkan musik tanpa bantuan hawa nafsu mereka. Mereka yang menapak di atas jalan kerinduan (syawq) mendengarkan musik spiritual tanpa bantuanakal budi. Para pengikut gairah cinta (‘isyq) mendengarkan musik spiritual tanpa bantuan hati. Mereka yang digerakkan oleh kedekatan spiritual mendengarkan musik tanpa bantuan jiwa. Apabila mereka mendengarkan musik dengan semua cara tersebut maka mereka akan luput dari Tuhan. Apabila mereka mendengarkan musik dengan hawa nafsu, maka mereka akan menjadi orang yang tak beriman (zindiq). Apabila mereka mendengarkan dengan kekuatan akal (‘aql), maka mereka akan menjadi orang-orang terpuji. Apabila mereka mendengarkannya dengan hati, mereka akan menjadi perenung (muraqib); dan apabila mereka mendengarkannya dengan jiwa, mereka akan benar-benar hidup. Musik spiritual adalah audisi dan visi dari Kehadiran Tuhan atau hudhur.[29]
Didasarkan dengan pandangan metafisis seni di atas, tidak terelakkan lagi nilai-nilai tasawuf mempengaruhi bagaimana seni musik dibuat dan dihayati. Pengaruh ini terlihat pada musik Persia tradisional terutama berdasarkan kenyataan bahwa tasawuf menjadikan musik sebagai sarana menuju dunia transenden. Ada stratifikasi kemampuan dalam menghayati musik, yang pertama adalah orang awwam. Mereka mendengarkan musik spiritual dengan sifat dasarnya, yaitu sifat ketidaksempurnaan pada sebagain besar manusia yang dikuasai hawa nafsu (tabi’at) dan bukan primordial (fitrah) yang terdapat juga di hati setiap orang, yang biasanya tersembunyi di balik kebodohan, kelalaian, dan hawa nafsu dalam terminologi sufi. Kedua adalah kaum elit (khwash) yang mendengarkan musik dengan hatinya yang masih berupa pencarian. Sedangkan yang ketiga adalah kaum elitnya elit (khawas al-khawas) mendengarkan musik dengan jiwa dalam cinta.[30]
Nasr juga sampai pada perdebatan tentang hukum seni dalam Islam. Dia mengkritik pandangan Muslim modern yang mengatakan musik adalah dilarang atau haram. Pandangan yang demikian adalah pandangan yang hanya sepihak lewat kaca mata fiqhiyyah dan teologi semata, yang ini berada pada wilayah lahir, sehingga perlu melihat dengan kaca mata tasawuf agar dapat melihat batinnya.[31]
F.     Fungsi Spiritual Seni Islam
Seni Islam tidak berbeda dengan seni-seni lain yang mengandung banyak fungsi, seni Islam mengandung fungsi-fungsi khusus.[32] Menurut Nasr, seni suci Islam setidaknya mengandung empat pesan atau fungsi spiritual. Pertama, mengalirkan barakah sebagai akibat  hubungan batinnya dengan dimensi spiritual Islam. Tidak bisa diingkari, seorang Muslim yang modern sekalipun, akan mengalami perasaan kedamaian dan kegembiraan dalam lubuk hatinya, semacam  ketenangan psikologis, ketika memandang kaligrafi, duduk di atas karpet tradisional, mendengarkan dengan kusyuk bacaan tilawah Al-Qur'an atau beribadah di salah satu karya besar arsitektur Islam.[33]
Kedua, mengingatkan kehadiran Tuhan dimanapun manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat kepada Tuhan. Bahkan seni Islam yang pada dasarnya dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk ke   ruang batin wahyu Ilahi menjadi tangga bagi pendakian jiwa untuk menuju kepada Yang Tak Terhingga, dan bertindak sebagai sarana untuk mencapai Yang Maha Benar lagi Maha Mulia dan Maha Indah, sumber segala seni dan keindahan.[34]
Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam. Seni kaligrafi misalnya. Kaligrafi yang merupakan seni perangkaian titik-titik dan garis-garis pada berbagai bentuk dan irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindakan primordial dari pena Tuhan. la merupakan refleksi  duniawi atas firman Tuhan yang ada di Lauh Mahfuzh, yang menyuarakan sekaligus menggambarkan tanggapan jiwa manusia terhadap pesan Ilahi dan merupakan visualisasi atas realitas-realitas spiritual yang terkandung dalam wahyu Islam. Begitu pula dengan seni liturgi, tilawah Al-Qur'an, mengingatkan manusia akan keagungan  Tuhan.  Hal  senada  juga  terjadi dalam syair-syair, musik dan karya-karya sastra lainnya yang notabene lahir dari model teks suci Al-Qur'an. Keselarasan bait-bait syair dan irama musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme universal kosmik.
Ketiga, menjadi kriteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan sosial, kultural dan bahkan politik benar-benar asli Islami atau hanya menggunakan, simbol Islam sebagai slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi aslinya, mulai dari arsitektur sampai seni busana, seni Islami senantiasa menekankan keindahan dan ketakterpisahan darinya.[35]Keempat, sebagai kriteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual dan religius masyarakat Muslim. Saat ini banyak tokoh berbicara tentang Islamisasi pendidikan, sistem ekonomi maupun sistem masyarakat Islam sendiri, disamping banyak yang melakukan berbagai usaha konkret untuk mencapai tujuan tersebut. Semua itu bukan usaha yang mudah dan pasti menghadapi kendala dan tantangan yang berat.[36]


G.    Kesimpulan
Seni bukan untuk seni sendiri. Tidak ada  istilah  I'art  pour  I'art dalam seni Islam. Karya seni, bagi Nasr harus digali dan mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia untuk kembali kepada Tuhan. Inilah ciri khas pemikiran Nasr yang perennial.
Gagasan ini hampir sama dengan teori seni dan keindahan Iqbal. Bedanya, seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual sedangkan seni Iqbal adalah ekspresi kreativitas ego. Namun, lepas dari corak pemikirannya, cara pandang Nasr adalah suatu yang sangat positif, bisa digunakan sebagai jalan alternatif atas dampak negatif modernitas yang ternyata justru menjauhkan manusia dari spiritualitas, sehingga menimbulkan kekeringan.


DAFTAR PUSTAKA

Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Bagus, Lorens, Kamus Falsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Chittick, William C.,  The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993. Kuala Lumpur: tp, 1994.
Gie, The Liang, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: PUBIB, 2005.
Leaman, Oliver, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar. Bandung: Mizan, 2005.
Maksum, Ali Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono. Jakarta: Inisiasi Press,  2004.
-------,Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasim Wahid. Yogyakarta: Pusaka, 2001.
-------,Islam dan Falsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1995.
-------,Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo. Bandung: Mizan, 1994.
Permata, Ahmad Norma (ed.), Perenialisme: Melacak Jejak Falsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Safrudin, Irfan, Kritik Terhadap Modernisme: Studi Komparatif Pemikiran Jurgen Habermas dan Seyyed Hossein Nasr. Jakarta: PPKPP Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005.
Sumardjo, Jacob, Falsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB, 2000.


[1] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 5-6.
[2]  Irfan Safrudin, Kritik Terhadap Modernisme: Studi Komparatif Pemikiran Jurgen Habermas dan Seyyed Hossein Nasr, (Jakarta: PPKPP Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2005), h. 1.
[3] Loren Bagus, Kamus Falsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), h. 858.
[4] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: PUBIB, 2005), h. 37.
[5] Jakob Sumardjo, Falsafat Seni (Bandung: Penerbit ITB, 2000), h. 47.
[6] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),  h. ix.
[7] William C. Chittick, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993 (Kuala Lumpur: tp,1994), h. xiii.
[8] William C. Chittick, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, h. xiv.
[9] William C. Chittick, The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, h. xiv.
[10] Seyyed Hossein Nasr,”Kata Pengantar” dalam Islam dan Falsafat Perenial terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995), h. 7.
[11] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Sutejo (Bandung: Mizan, 1994), h. 15.
[12] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr, h. 49.
[13] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr, h. 53.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasim Wahid (Yogyakarta: Pusaka, 2001), h. 152.
[15] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 13-14.
[16] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 16.
[17] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, h. 23.
[18] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, h. 25.
[19] Seyyed Hossein Nasr,” Tentang Tradisi” dalam Ahmad Norma Permata (ed.), Perenialisme: Melacak Jejak Falsafat Abadi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 146-147.
[20] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam,h. 13.
[21] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Terj. Suharsono (Jakarta: Inisiasi Press,  2004), h. 267.
[22] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, h. 282.
[23] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[24] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h. 21.
[25] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h. 21.
[26] Abdul Hadi W.M.,”Seni Islam dan Akar-Akar Estetikanya” dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan , terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2005), h. 14.
[27]Abdul Hadi W.M.,”Seni Islam dan Akar-Akar Estetikanya” dalam  Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan, h. 15.
[28] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 89-94.
[29] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 169.
[30] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 174.
[31] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 168.
[32] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h. 47-52.
[33] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[34] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[35] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 218.
[36] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 218.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar