A.
Latar Belang Masalah
Dalam
perkembangan sejarah kesenian semenjak zaman
prasejarah
sampai yang mutakhir seperti sekarang
ini, kepercayaan atau agama senantiasa
merupakan sumber inspirasi
yang amat besar bagi seniman
dalam berkarya.
Agama adalah pembangkit daya cipta yang luar biasa untuk
mewujudkan
segala
sesuatu yang
bernilai
seni. Akan
tetapi
pada
pertengahan abad
18
M
yaitu
permulaan abad
yang dipengaruhi
oleh pikiran dan cita-cita yang romantis dan materialis, maka
sifat keagamaan dalam kesenian mulai hendak
ditinggalkan orang.
Revolusi industri yang
terjadi di Inggris pada abad ke 18 telah membuktikan sebuah kemenangan akal
yang diidam-idamkan para pemikir dengan paradigK.MR M Nma antroposentris yang mengandaikan sebuah
kebebasan manusia dalam berkehendak, berkreasi, dan menggunakan akalnya untuk
berfikir. Manusia tidak lagi terkungkung dengan tradisi yang irasional dalam
menjalankan roda kehidupan, tetapi menjadi sebuah entitas yang rasional dan
optimis dapat mengatasi segala masalah dengan akalnya.
Keadaan di atas sering kali disebut dengan sebutan
era modern, sebuah era di mana tata hidup dan perilaku manusia baik budaya dan
peradabannya yang mencakup konsep bangsa, sistem politik, ekonomi, negara,
kota, lembaga (sekolah, rumah sakit dan lain-lain), sampai pada perilaku
ataupun juga barang dan sifat apa saja yang bersifat baru dan kekinian.[1]
Dominasi yang terjadi dalam
pola pikir masyarakat modern adalah model positivistik yang menggunakan ukuran
sebuah kebenaran menggunakan kacamata pengetahuan empiris dan rasional.
Positivisme akan menolak cara orang lama berfikir, dimana pengalaman yang sehari-hari
dan perasaan religius saling meresapi, dan agama merupakan penafsiran dan
pengertian yang benar.[2]
Akibat dari cara berfikir ini menyebabkan adanya sekularisasi atas pemikiran
dan perilaku manusia modern dalam berbagai hal, sehingga menurut mereka ilmu
harus bersifat bebas nilai ( value free ). Disamping keadaan di atas,
diakui bahwa keberhasilan dari modernisasi adalah mampu mempermudah manusia
dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.[3]
Kenyataan di atas tidak dapat terelakkan juga
berdampak pada dunia seni atau estetika. Masuknya pandangan sekuler ke dalam
dunia seni selain menambah beraneka ragamnya hasil kreasi seniman, juga
berdampak buruk terhadap eksistensi seni itu sendiri. Seni yang seharusnya
sarat dengan makna-makna spiritual, mengemban pesan yang tinggi dengan media
manifestasi masing-masing, menjadi tergradasi dan gersang makna. Yang ada
hanyalah seni untuk seni atau dikenal dengan istilah l’art pour l’art [4]
yang hanya memburu kebebasan material ekspresi dengan mengabaikan substansi
makna dan pesan moral yang tinggi dalam ekspresi itu. Pandangan ini muncul abad
18 dalam khasanah falsafat seni Eropa dengan istilah disiniterestedness
atau tanpa kepentingan atau tanpa kegunaan. Artinya adalah bahwa karya seni itu
bebas dari kungkungan ruang dan waktu tertentu, atau konteks dan pengaruh
tertentu, sehingga karya seni menemukan nilai universalnya melampaui
batas-batas yang ada dan abadi.[5]
Dengan paham seni untuk seni sebagai konsep penciptaannya, seniman melemparkan
selimut keagamaan
keluar menuju alam
cipta ekspresi pribadi yang luas, bebas,
bahkan
absolut.
Penganut seni untuk seni
menjauhkan diri dari apa yang berbau agama, karena
menurut mereka agama tidak memberikan
kesempatan
istimewa bagi mereka untuk melukiskan objek
yang menarik dalam arti yang
seluas-luasnya. Mereka menghendaki objek yang tak
terbatas, sedangkan agama memberikan batasan tertentu dalam
kehidupan berkesenian. Oleh
karena
itu,
mereka lari ke alam bebas,
dimana mereka dapat berbuat
merdeka
melukis
dan mematung sesuai
keinginannya.
Dalam kaitannya dengan
kenyataan di atas, hadir seorang pemikir kontemporer bernama Seyyed Hossein
Nasr banyak memberikan kritik atas kenyataan manusia modern saat ini dari
berbagai segi. Salah satu fokus kritiknya adalah masalah fenomena seni modern
yang sedang berkembang pesat ke seluruh bagian masyarakat, termasuk masyarakat
Islam. Seyyed Hossein Nasr merupakan salah satu juru bicara Islam di Barat yang
gigih menyuarakan pemikiran Tradisionalisme Islam[6]
untuk membentengi arus modernisasi yang telah merusak sendi-sendi tradisi luhur
masyarakat, khususnya Islam. Sekularisasi seni saat ini juga dirasakan
masyarakat Indonesia dengan berbagai fenomena bahwa seni tidak lagi mempunyai
pesan dari Dunia Atas, melainkan hanya sebagai bahan hiburan yang temporal dan
terkadang sebagai barang dagangan murahan tanpa memperhatikan tujuan seni
sebagai medium antara materialisme dunia dan kerohanian yang kekal.
B. Biografi Seyyed Hossein
Nasr
Seyyed Hossein Nasr lahir di kota Teheran, Iran, pada tanggal 7
April 1933. Ayahnya seorang ulama terkenal di Iran dan juga seorang guru dan
dokter pada masa dinasti Qajar bernama Seyyed Valiullah Nasr. Sebutan dengan
gelar Seyyed adalah sebutan kebangsawanan yang dianugerahkan oleh raja Syah
Reza Pahlevi kepada keduanya.[7]
Latar belakang keagamaan keluarga Nasr adalah penganut aliran
Syi'ah tradisional yang memang menjadi aliran teologi Islam yang banyak dianut
oleh penduduk Iran. Dominasi paham Syi'ah di Iran bertahan sampai sekarang, walaupun
telah terjadi revolusi di sana. Hal ini disebabkan karena paham Syi'ah telah
lama hidup di sana yang didukungoleh banyak ulama terkenal dan berpengaruh. Pendidikan awal Nasr dijalani di
Teheran ditambah
dari
orang tuanya yang menanamkan
disiplin keagamaan secara ketat, kemudian di Qum dalam bidang Al-Qur'an, syair-syair Persia klasik
dan sufisme. Sebelum
pidah ke Amerika untuk belajar formal ilmu modern pada umur 13 tahun, Nasr
memperoleh pendidikan tradisional di Iran. Pendidikan tradisional ini diperoleh
secara informal dan formal. Pendidikan informalnya dia dapat dari keluarganya,
terutama dari ayahnya.
Pada masa itu arus modernisasi Barat sudah sangat gencar menyerang
dunia Timur. Secara sadar keadaan ini dipahami oleh Seyyed Valiullah Nasr untuk
segera melakukan sesuatu. Hal yang harus dia lakukan adalah menyelamatkan
puteranya agar tidak terkena imbasnya, sehingga beliau membekali Nasr dengan
ilmu tradisional semenjak dini sebelum belajar ilmu lain. Selain itu keinginan
membendung arus modernisasi ini harus dilakukan juga dengan mempelajarinya di
dunia asalnya, maka dikirimlah Seyyed Hossein Nasr untuk belajar di Barat,
yaitu di Amerika.
Obsesi Valiullah Nasr agar Hossein Nasr menjadi orang yang
memperjuangkan kaum tradisional dan nilai-nilai ketimuran dimulai dengan
memasukkan Hossein Nasr ke Peddie School di Hightstown, New Jersey lulus pada
tahun 1950. Kemudian melanjutkan ke Massacheusetts Institute of Technology
(MIT). Di institusi pendidikan ini Nasr memperoleh pendidikan tentang ilmu-ilmu
fisika dan matematika teoritis di bawah bimbingan Bertrand Russel yang dikenal
sesbagai seorang filosof modern. Nasr banyak memperoleh pengetahuan tentang falsafat
modern.
Pada tahun 1956 Nasr berhasil meraih gelar Master di MIT dalam
bidang geologi yang fokus pada geofisika. Belum puas dengan hasil karyanya,
beliau merencanakan untuk menulis disertasi tentang sejarah ilmu pengetahuan
dengan melanjutkan studinya di Harvard University pada
tahun 1958, dalam bidang sejarah ilmu pengetahuan
dan falsafat dengan
desertasi berjudul An Introduction to Islamic
Cos mological Doctrine.
Dalam menyusun disertasinya Nasr dibimbing oleh George Sarton.
Akan tetapi sebelum disertasi ini selesai ditulisnya, George Sarton meninggal
dunia. Tetapi disertasi ini tidak boleh berhenti sehingga Nasr mendapatkan
bimbingan berikutnya oleh tiga orang professor, yaitu Bernard Cohen, Hammilton
Gibb dan Harry Wolfson.[8] Disertasi itu selesai dengan judul "Conceptions
of Nature in Islamic Thought" yang kemudian dipubilkasikan oleh
Harvard University Press pada tahun 1964 dengan judul An Introduction to
Islamic Cosmological Doctrines. Dengan selesainya disertasi ini Nasr
mendapat gelar Philosophy of Doctor (Ph.D) dalam usia yang cukup muda yaitu 25
tahun tepatnya pada tahun 1958.[9]
Pemikiran yang sangat mempengaruhi Nasr adalah pandangan falsafat
perennial. Diantara para tokohnya yang paling berpengaruh atasnya adalah
Frithjof Schuon seorang perenialis sebagai peletak dasar pemahaman eksoterik
dan esoterik Islam. Nasr sangat memuji karya Schuon yang berjudul Islam and
the Perennial Philoshopy sebagai ungkapan yang paling mengagumkan dan
paling lengkap dari philosophia perennis yang ada di dunia sekarang.
Nasr sangat mengagumi Schuon, sehingga ia memberikan gelar padanya sebagai
My Master.[10]
Selain itu pemikiran tradisionalis Nasr dipengaruhi oleh konsep
tradisional dari A.K. Coomaraswamy, khususnya dalam studinya mengenai seni
taradisional. Kerangka pikir dari Coomaraswamy mengilhami pemahaman Nasr tentang
tradisionalisme khususnya mengenai studinya atas kesenian Islam. Khusus
mengenai seni ini ia juga banyak terpengaruh oleh pandangan Titus Burckhard yang
secara spesifik memberikan perhatian pada seni Islam. Keduanya dapat dikatakan
sebagai rujukan utama Nasr dalam pembahasan masalah seni dan spiritualitas
dalam Islam. [11]
Seyyed Hossein Nasr kembali ke Iran tahun 1958 setelah
menyelesaikan program doktornya di Harvard University. Sekembalinya ke Iran ia
segera bergabung dengan kegiatan-kegiatan akademis di sana. Kedalaman ilmunya
memberikan satu tempat khusus baginya sebagai seorang tokoh baru di Iran. Nasr
aktif dalam kegiatan akademis dan keagamaan, seperti keterlibatannya dalam
diskusi-diskusi dengan para tokoh Syi’ah di sana semisal Allamah Thabathaba’i,
Muhammad Kazim ‘Assar dan Abu Hasana Rafi’i Wazwini.[12]
Sebagai pemikir yang memproklamirkan diri sebagai seorang tradisionalis
perlu kiranya dilihat konsistensinya. Dalam hal ini perlu kiranya dipaparkan
alur pemikirannya agar terlihat peta pemikirannya yang menyeluruh dan
komprehensif. Untuk mengetahuinya perlu dipaparkan secara historis tahapan
pemikiran yang telah dia lalui. Pemikiran Nasr dapat di bagi menjadi empat
periode, yaitu perode 1960-an,1970-an, 1980-an dan 1990-an.[13]
Nasr menerbitkan karya yang fokus membicarakan Islam secara rinci
yang banyak memaparkan sumber-sumber ajaran Islam dan cara memahaminya. Dipaparkan
tentang urgensi Al-Qur’an sebagai wahyu sekaligus sumber pengetahuan, juga
mengenai Hadits sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an. Penjelasannya
lebih mendalam sampai bagaimana cara memahami keduanya melalui jalan spiritual
yang dimulai dari Syari’ah, tariqat dan Haqiqah.[14]
Pada akhir 1980-an ia menulis buku yang berjudul Islamic Art
and Spirituality (1987) sebagai penjelasan lebih rinci dari bab 8 pada buku
Knowledge and Secred (1981). Karya ini mengulas keindahan dan kebesaran
seni budaya Persia sebagai seni suci dan seni tradisional. Menurutnya seni suci
adalah seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan
kehidupan spiritual seperti seni kaligrafi dan seni baca Al-Qur’an serta seni
arsitektur bernuansa geometris sedangkan seni tradisional adalah seni yang
melukiskan prinsip-prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam tetapi dengan
cara yang tidak langsung.[15]
Ia menjelaskan prinsip keindahan berdasarkan teori seni metafisis Platonian,
yang memandang wujud universal dan ideal. Secara khusus ia menjelaskan tentang
cara menghayati karya seni suci dan seni tradisional melalui metode pendakian
jalan spiritualitas (syari’ah, tariqat dan haqiqah).
Nasr banyak
menghasilkan karya tulis, antara lain, An
Introduction to Islamic
Cosmological Doctrines (Disertasi, London Thames and Hudson Ltd.,
1978); Idealis and Realities of Islam
(London, George Alien & Unwim Ltd., 1966) yang berisi ceramah Nasr dalam
perkuliahannya di
America University of
Beirut tahun 1964-1965, Islamic
Studies,Essays on Law and
society, The Sciences,
and Philosophy and sufisme (Beirut, Librairie Du Liban Press, 1967); The
Encounter of Man
and Nature, the
Spiritual Crisis of
Man
and Nature (London,
George
Alien & Unwim Ltd.,1968) yang berisi materi perkuliahan di The
University of Chicago bulan Mei 1966,
Science and Civilization in Islam (Harvard, Harvard
University Press,1968), berisi tentang berbagai hal dari perspektif Islam,
Sufi Essays (London, George Alien & Unwim, 1972) berisi kumpulan artikel tentang sufi dan
sufisme
yang tersebar dalam
berbagai jurnal ilmiah, Islam and The Plight of
Modern Man (London, Longman Press, 1975),
Knowladge and the Sacred (Edinburg,
Edinburg University Press, 1981)
berisi
obsesi Nasr membangun falsafat berlandaskan tradisi universal yang berlaku sepanjang zaman. Nasr,
selain itu juga aktif menulis artikel untuk jurnal-jurnal ilmiah di
berbagai negara, antara lain, journal Millawa Milla (Melbourne, Australia),
Journal Iran (terbit di London), Studies
in Comparative Religion
(London, Inggris), The Islamic Quartelly (London, Inggris),
Hamdard Islamicus,
dan Word
Spirituality.
C.
Sumber Seni Islam
Sebuah
bangunan masjid dan gereja tidak akan
disamakan oleh seseorang,
meskipun misalnya, bahan bangunan masjid diambil dari gereja. Menurut Nasr, artinya cikal bakal seni Islam dan
kekuatan-kekuatan
serta
prinsip-prinsip yang mendasarinya tidak mungkin
digali dari kondisi
sosio politik yang mengiringinya tetapi
harus dihubungkan dengan pandangan dunia (world view) Islam sendiri.
Sumber seni Islam
harus
dicari di dalam
realitas-realitas batin
al-Qur’an dan hadist yang merupakan realitas-realitas dasar
kosmos dan realitas spiritual,
dan ini inilah yang merupakan sumber seni
Islam, yang tanpa keduanya tidak akan
muncul seni Islam. Al-Qur'an memberikan doktrin keesaan sedang
Nabi
memberikan manifestasi keesaan ini dalam keserbaragaman dan kesaksian
dalam ciptaanNya. Keduanya memberikan daya
kreativitas yang memungkinkan seseorang menciptakan seni Islam. Menurut Nasr, kenyataannya seniman Islam
senantiasa memperlihatkan rasa cinta dan kesetiaan yang istimewa kepada Nabi
dan keluarganya.[16]
Nasr
mengatakan bahwa Al-Qur’an berisi kumpulan petunjuk bagi manusia agar ia mampu
memenuhi janjinya kepada Tuhan, sebagai pusat kehidupan Islam dan merupakan
dunia bagi umat Muslim. Secara umum penegertian Al-Qur’an bagi Muslim adalah
sebuah kitab kumpulan petunjuk bagi manusia yang berasal dari Allah yang
diturunkan kepada Rasullullah Muhammad melalui malaikat Jibril.[17]
Nasr
berpendapat bahwa kesucian Al-Qur’an menyebabkan semua yang terkait dengan
bentuk Al-Qur’an juga suci. Bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur’an adalah
bahasa suci umat Islam, karena ia terkait langsung dengan dzat Al-Qur’an yang
memang turun dengan bahasa Arab. Kesucian bahasa Arab bukan karena tingginya
sastra Arab yang dipakai. Kalau ini ukurannya, sebenarnya bahasa Arab masih
kalah tinggi kesusasteraannya dengan bahasa Persia. Bahasa Arab sebagai bentuk nyata
dari Al-Qur’an sama seperti tubuh Yesus sebagai tempat bersemayamnya Tuhan di
dunia.[18]
Sehingga semua ritus peribadatan dan segala ritus keislaman termasuk
mengucapkan perkataan (doa) dengan bahasa Arab merupakan sebuah kewajiban khususnya
dalam ibadah shalat.
Seni Islam,
selain itu juga berdasarkan hikmah, yakni pengetahuan yang
diilhami oleh nilai-nilai spiritual. Seni
Islam mewujudkan realitas-realitas yang
ada dalam pembendaharaan Ghaib lewat
bantuan ilmu pengetahuan
tentang dunia batin. Hal ini dapat dilihat antara lain, pada
bangunan Masjid Syah di Isfahan atau arsitektur masjid lainnya yang dibangun
dengan
pola geometri dan arabeska (kaligrafi tradisional) yang luar biasa, atau pada
melodi-melodi musik
Arab
tradisional yang
memberikan alunan
musik yang sangat menawan, yang jika
direnungkan secara mendalam pasti akan
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa semua
itu
digali dari keindahan
dunia kasat mata. Demikian, sehingga karakter intelektual dari seni Islam
tidak bisa dianggap
sebagai hasil dari semacam rasionalisasi, melainkan dari suatu penglihatan intelektual akan pola-pola dasar dari dunia terestrial.
Seni Islam
juga tidak meniru bentuk-bentuk
lahir alam, tetapi
memantulkan prinsip-prinsipnya, sehingga ia bukan empirisme, tetapi sebuah
karya yang hanya bisa diraih berdasarkan
cara-cara tertentu.
Oleh karena itu, seni Islam berbeda dengan seni Barat, jika di Barat seni hanya
menonjolkan bentuknya, ada yang impressionis dan ekspresionis, namun seni Islam mengutamakan pada makna yang ingin
disampaikan kepada penikmat seni. Makna yang menunjukkan bukti keindahan dan
kebesaran Tuhan. Namun kenyataannya, dimanapun kehidupan
intelektual dan spiritual Islam mencapai puncak,
kreativitas seni Islam juga mencapai kesempurnaan, sebaliknya
ketika kehidupan
spiritual Islam mengalami keruntuhan, kualitas seni Islam juga mengalami kemunduran.
Kualitas seni mencapai puncaknya ketika seniman mampu mencapai puncak
spritualnya, tidak hanya sekedar meniru alam. Semakin tinggi ia mencapai puncak
spiritualnya, semakin tinggi pula kualitas seninya.
Seni Islam
adalah buah dari spiritualitas Islam, merupakan hasil dari pengejawantahan keesaan pada bidang keragaman. la
merefleksikan kandungan
prinsip keesaan Ilahi, kebergantungan
seluruh keanekaragaman kepada
Yang Esa, kesementaraan dunia dan
kualitas-kualitas
positif dari eksistensi kosmos.
Menurut Nasr, namun demikian meski seni Islam
diilhami spiritualitas Islam secara langsung, wujudnya
tetap
saja
dibentuk oleh karakter-karakter sosial budaya yang meliputinya. Hanya saja karakter-karakter tersebut tidak sampai mengurangi kebenaran dan kandungan batin dan
dimensi spiritual Islam yang
menjadi sumber seni Islam.
D.
Klasifikasi
Seni Islam
Berdasarkan uraian di atas,
dimana seni Islam bersumber dan berkaitan dengan aspek spiritual atau aspek
batin wahyu,
Nasr
mengklasifikasikan
seni dalam tiga bagian. Pertama, seni suci,
yaitu
seni yang berhubungan langsung dengan praktek-praktek utama agama dan
kehidupan spiritual. Kedua, seni tradisional, yaitu seni yang
menggambarkan prinsip-prinsip agama dan spiritual tetapi dengan cara
tidak langsung.[19]
Perbedaannya antara seni suci dengan seni tradisional bisa dilihat
pada contoh sebuah pedang.
Pedang yang dibuat abad
pertengahan, baik Islam maupun Kristen, tidak pernah digunakan
secara langsung dalam acara
ritual keagamaan meski
merefleksikan prinsip ajaran Islam atau Kristen. Karena
itu, ia masuk kategori seni tradisional. Berbeda dengan pedang
Shinto di Kuil Se di Jepang. Pedang
Shinto dikaitkan
langsung dengan ajaran agama tersebut dan
merupakan obyek ritual yang bermakna tinggi
dalam agama Shinto, sehingga
dimasukkan dalam seni suci.
Ketiga,
seni religius,
yaitu seni yang subyek atau fungsinya bertema keagamaan, namun
bentuk atau cara pelaksanaannya
tidak bersifat tradisional. Masuk dalam kategori ini adalah
lukisan-lukisan religius dan arsitektur Barat
sejak renaissance dan beberapa lukisan religius di dunia Timur selama seabad
atau dua abad lalu di bawah pengaruh seni Eropa.
Lebih lanjut penjelasan
mengenai klasifikasi seni sebagai berikut:
1. Seni
Suci dan Seni Tradisional
Dalam
pandangan Nasr, seni Islami dibedakan dalam dua wilayah, pertama adalah seni
suci dan seni tradisional yang didefinisikan sebagai berikut:
… Seni suci adalah seni yang berhubungan langsung denga praktik-praktik
utama agama dan kehidupan spiritual, yang mencakup seni-seni seperti kaligrafi,
arsitektur masjid, dan tilawah Al-Qur’an. Seni tradisional Islam,
bagaimanapun juga, meliputi setiap bentuk seni yang dapat dilihat dan didengar
mulai dari seni pertamanan hingga puisi, seluruh bentuk seni tradisional yang
juga melukiskan prinsip-prinsip wahyu Islam dan spiritualitas Islam namun dalam
cara yang lebih tidak langsung. Dalam beberapa hal, seni suci merupakan inti
dari seni tradisional, yang secara langsung menggambarkan prinsip-prinsip dan
norma-norma yang justru terefleksikan secara tidak langsung dalam seni
tradisional.[20]
Lebih lanjut ia menyatakan bahwa seni tradisional tidak dapat
dipisahkan dari pengetahuan suci yang didasarkan pada pengetahuan kosmik
tentang kesucian dan kebatinan yang kemudian menjadi pusat dari seni
tradisional, yang berfungsi sakramental dan seperti agama itu sendiri, dan
sekaligus juga merupakan kebenaran dan kehadiran. Keduanya memiliki hubungan
yang erat tapi masing-masing memiliki kadar spiritualitas yang berbeda.[21]
Seni suci, untuk memahami labih
lanjut, menurut Nasr seorang mesti memahami pandangan masyarakat Islam tentang realitas,
kosmik maupun metakosmik. Dalam pandangan falsafat Islam, realitas adalah multistruktur, yaitu
memiliki berbagai tingkat eksistensi. Realitas berasal dari Yang
Esa yang terdiri atas berbagai tingkat yang sesuai
dengan
kosmologi Islam, dapat diringkas
sebagai alam malaikat,
alam psikis, dan alam material. Manusia
hidup dalam alam material namun sekaligus
dikelilingi
oleh seluruh tingkat eksistensi yang lebih
tinggi. Yang
suci menandai suatu pemunculan
dunia yang lebih tinggi
dalam hal eksistensi psikis dan material,
keabadian dunia temporal.
Semua yang
datang dari dunia spiritual adalah
suci karena berperan sebagai
sarana untuk kembalinya
manusia menuju dunia spiritual.
Namun kemungkinan ini kembali ke
dunia lebih tinggi tidak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas, karena pada dasarnya hanya yang datang dari dunia spiritual itulah yang
dapat bertindak sebagai sarana untuk
kembali ke dunia
yang lebih tinggi. Karena
itu, yang suci menandakan adanya keajaiban nilai spiritual dalam dunia material. la
merupakan gema dari surga untuk mengingatkan
manusia di bumi akan tempat asalnya,
surga.
Seni suci Islam merupakan sebuah pusat dari dari perjalanan
perenungan dan makna. Kandungan makna yang ada
merupakan universalitas dari pesan-pesan material yang ditampilkan. Fungsinya
mengandaikan fungsi agama bagi kehidupan manusia. Kedalaman dan keuniversalan
makna menjadi sebuah pegangan hidup bagi yang menyaksikannya, yang membimbing
menemui bentuk universal.
Seni tradisional didasarkan pada scientia sacra yang
memandang Realiatas Tertinggi sebagai kemutlakan, ketakterbatasan dan
kesempurnaan atau kebaikan, yang merefleksikan kesempurnaan dan kebaikan
sumber, harmoni dan tatanan, yang juga terefleksi dalam kosmos dan merupakan
jejak kemutlakan prinsip dalam manifestasi dan misteri dan kedalaman batin yang
membukakan ketakterbatasan Ilahi itu sendiri.[22]
Dengan demikian seni tradisional Islam bukan sebuah seni kuno atau
klasik yang dibuat orang-orang sebelum masa modern. Tapi ia lebih merupakan
sebuah prinsip seni yang mendasarkan diri pada sebuah pandangan metafisis. Ia
merupakan sebuah media yang memanifestasikan sebuah pegangan hidup yang membawa
manusia kembali ke fitrahnya sebagai makhluk ciptaan Allah.
Dari sini sebenarnya titik tolak Nasr menawarkan pandangannya yang
segera berhubungan dengan pola-pola tasawuf yang selalu ia kumandangkan sebagai
solusi terhadap manusia modern. Dengan seni tradisional manusia dapat melakukan
pengembaraan spiritual menuju tercapainya kembali visi keilahian yang hilang.
Seorang seniman yang memahami tasawuf akan mampu menghasilkan karya seni yang
berdimensi spiritual pula. Memiliki nilai yang tinggi mencerminkan dunia
dibalik yang fisik yang serba universal. Sedangkan para penyaksinya akan
terbawa menuju dunia tersebut sehingga jiwanya tenang, gembira dan
membangkitkan gairah spiritual.[23]
Agama sebagai institusi yang mengajarkan konsep ketuhanan dan
ibadah menjadi sangat penting peranannya dalam menentukan arah dan tujuan seni
agar sampai pada maksud yang dituju, yaitu keindahan dan kebenaran Mutlak. Tidak
kecuali agama Islam harus berperan menjadi katalisator seni yang bernilai
tinggi, yang menyejukkan hati dan jiwa, khususnya manusia modern, lebih khusus
lagi bagi umat Islam dewasa ini.
2. Seni Religius/Metafisis
Konsep seni
Islami Seyyed Hossein Nasr sebenarnya dengan sangat jelas merujuk pada teori
seni metafisis yang pertama kali dikenalkan oleh Plato (428-348 SM). Hal ini
sebagai konsekuensi logis dari aliran falsafat Plato yang berpaham idealisme.
Plato mendasarkan teoti seninya pada metafisikanya tentang kenyataan (reality),
dan kenampakan.[24]Dalam
perjalanan falsafatnya, Plato berpendapat bahwa kenyataan yang berada ditingkat
paling tinggi adalah berupa kenyataan ilahiah yang berupa dunia ide atau bentuk
Yang Sempurna.[25] Dengan demikian bentuk
yang sempurna adalah sebuah Bentuk Yang Mutlak dan kebenarannya tidak dapat
diragukan lagi. Bentuk Mutlak ini bersifat abadi dan tidak terikat oleh ruang
dan waktu.
Seorang
seniman, menurut Plato, hanya meniru bentuk-bentuk yang ada pada dunia bawah
yang rendah, sehingga seorang seniman adalah orang yang menyesatkan karena
telah dua kali menjauh dari kenyataan yang sebenarnya. Pendapat ini kemudian
disempurnakan oleh kaum Neo-Platonik yang banyak diadopsi oleh kaum sufi. Bahwa
penampakan bentuk di dunia ini adalah sebuah cerminan dari dunia Atas atau Ide
yang menjadi sebuah pintu masuk menuju ke Dunia Atas tersebut.
Dunia
seni adalah dunia yang bergelut dengan pemahaman tentang kenyataan. Kenyataan
yang Tertinggi dapat ditemukan dengan melakukan kegiatan pencurahan
intelektual, bukan dengan rasio. Pengetahuan praktis manusia tidak dapat
melihat sesuatu kenyatan yang tidak terlihat dan abadi, sehingga diperlukan
perenungan dan kontemplasi serius guna menapaki perjalanan untuk mengetahui di
Dunia Atas yang tidak terlihat secara empiris. Barangkali inilah yang menjadi
ciri khas para pemikir tradisionalis yang lebih mengedepankan pandangan
metafisis dan religiusitas. Nasr mengatakan bahwa hal inilah yang menjadi ciri
khas Timur yang tidak dimiliki oleh masyarakat modern yang dipelopori Barat.
E. Bentuk-Bentuk Seni
Islam
Secara kongkret Nasr membicarakan beberapa bentuk seni yang ada.
Nasr lebih mengedepankan bentuk kaligrafi, arabes dan geometri sebagai bentuk-bentuk
pencapaian tertinggi dari seni Islam.[26]
Adapun geometri yang disakralkan adalah geometri Pythagorean menurut Ibn Sina
dan Al-Farabi yang memulai dari titik dan melahirkan garis-garis dan bentuk,
yang hal ini merefleksikan dari Yang Satu mengalir ke yang banyak.[27]
Dalam pandangan Nasr bentuk seni suci adalah seni plastis yang berupa seni
kaligrafi, arsitektur masjid. Kemudian seni suara yang suci adalah pembacaan (tilawah)
Al-Qur’an dan musik spiritual yang mengiringi tarian mistik (sama’)
dalam tarekat Mawlawiyyah. Selain itu di kategorikan sebagai seni tradisional
semisal Syair atau puisi-puisi sufi serta prosa-prosa sufi, atau seni pertunjukan
dalam tradisi Syi’ah yang bernama ta’ziyah.[28]
Akan tetapi bentuk seni yang ditampilkan oleh Nasr semuanya adalah
berasal dari tradisi Persia. Dia tidak memberikan porsi yang cukup bagi
bentuk-bentuk seni di luar Persia. Hal ini diakuinya sendiri dikarenakan latar
belakang kulturalnya sebagai orang Persia, sehingga kecenderungannya kepada
seni Persia lebih tinggi dibandingkan seni dari luar Persia. Tetapi sayangnya
ia mencapai kesimpulan yang tergesa-gesa karena mengatakan bahwa seni Persia
adalah puncak kejayaan seni. Padahal jika dilihat perkembangan seni saat ini,
banyak seni-seni yang memiliki nilai estetis yang tinggi, tidak kalah
dibandingkan dengan nilai-nilai estetis pada karya seni di Persia.
Mengenai musik ia berpendapat bahwa mengetahui hakekat batin dari
musik diperlukan sebuah upaya penghayatan dengan serius. Nasr mengambarkan cara
penghayatan musik sebagai berikut:
Para penganut cinta (mahabbah) mendengarkan musik tanpa
bantuan hawa nafsu mereka. Mereka yang menapak di atas jalan kerinduan (syawq)
mendengarkan musik spiritual tanpa bantuanakal budi. Para pengikut gairah cinta
(‘isyq) mendengarkan musik spiritual tanpa bantuan hati. Mereka yang
digerakkan oleh kedekatan spiritual mendengarkan musik tanpa bantuan jiwa.
Apabila mereka mendengarkan musik dengan semua cara tersebut maka mereka akan
luput dari Tuhan. Apabila mereka mendengarkan musik dengan hawa nafsu, maka
mereka akan menjadi orang yang tak beriman (zindiq). Apabila mereka
mendengarkan dengan kekuatan akal (‘aql), maka mereka akan menjadi
orang-orang terpuji. Apabila mereka mendengarkannya dengan hati, mereka akan
menjadi perenung (muraqib); dan apabila mereka mendengarkannya dengan
jiwa, mereka akan benar-benar hidup. Musik spiritual adalah audisi dan visi
dari Kehadiran Tuhan atau hudhur.[29]
Didasarkan dengan pandangan
metafisis seni di atas, tidak terelakkan lagi nilai-nilai tasawuf mempengaruhi
bagaimana seni musik dibuat dan dihayati. Pengaruh ini terlihat pada musik
Persia tradisional terutama berdasarkan kenyataan bahwa tasawuf menjadikan
musik sebagai sarana menuju dunia transenden. Ada stratifikasi kemampuan dalam
menghayati musik, yang pertama adalah orang awwam. Mereka mendengarkan
musik spiritual dengan sifat dasarnya, yaitu sifat ketidaksempurnaan pada
sebagain besar manusia yang dikuasai hawa nafsu (tabi’at) dan bukan
primordial (fitrah) yang terdapat juga di hati setiap orang, yang
biasanya tersembunyi di balik kebodohan, kelalaian, dan hawa nafsu dalam
terminologi sufi. Kedua adalah kaum elit (khwash) yang mendengarkan
musik dengan hatinya yang masih berupa pencarian. Sedangkan yang ketiga adalah
kaum elitnya elit (khawas al-khawas) mendengarkan musik dengan jiwa
dalam cinta.[30]
Nasr juga sampai pada
perdebatan tentang hukum seni dalam Islam. Dia mengkritik pandangan Muslim
modern yang mengatakan musik adalah dilarang atau haram. Pandangan yang
demikian adalah pandangan yang hanya sepihak lewat kaca mata fiqhiyyah
dan teologi semata, yang ini berada pada wilayah lahir, sehingga perlu melihat
dengan kaca mata tasawuf agar dapat melihat batinnya.[31]
F. Fungsi Spiritual Seni
Islam
Seni Islam
tidak berbeda dengan seni-seni
lain yang mengandung banyak fungsi, seni Islam mengandung fungsi-fungsi khusus.[32] Menurut Nasr, seni
suci Islam setidaknya mengandung
empat
pesan atau fungsi
spiritual. Pertama, mengalirkan barakah sebagai akibat
hubungan batinnya dengan dimensi spiritual Islam. Tidak bisa diingkari, seorang Muslim yang
modern
sekalipun, akan mengalami
perasaan kedamaian dan kegembiraan dalam
lubuk hatinya, semacam
ketenangan psikologis, ketika memandang kaligrafi, duduk
di atas karpet tradisional, mendengarkan
dengan
kusyuk bacaan tilawah
Al-Qur'an atau beribadah di
salah satu karya besar arsitektur
Islam.[33]
Kedua, mengingatkan
kehadiran
Tuhan
dimanapun
manusia berada. Bagi seseorang yang senantiasa ingat
kepada
Tuhan. Bahkan seni Islam
yang pada dasarnya dilandasi wahyu Ilahi adalah penuntun manusia untuk masuk
ke
ruang batin wahyu Ilahi menjadi
tangga bagi pendakian jiwa untuk menuju kepada Yang Tak Terhingga, dan
bertindak sebagai sarana untuk mencapai Yang
Maha Benar lagi Maha Mulia dan Maha
Indah, sumber segala seni dan keindahan.[34]
Kenyataan tersebut terjadi dalam semua bentuk seni Islam.
Seni kaligrafi misalnya. Kaligrafi
yang merupakan seni perangkaian titik-titik dan
garis-garis pada berbagai
bentuk dan irama yang tiada habisnya merangsang ingatan akan tindakan primordial dari pena Tuhan. la merupakan refleksi duniawi atas firman Tuhan yang ada di Lauh Mahfuzh,
yang
menyuarakan sekaligus
menggambarkan tanggapan
jiwa manusia terhadap pesan Ilahi
dan
merupakan visualisasi atas
realitas-realitas spiritual yang terkandung
dalam wahyu Islam. Begitu pula dengan seni liturgi, tilawah Al-Qur'an, mengingatkan
manusia akan keagungan Tuhan. Hal
senada juga
terjadi dalam syair-syair, musik dan
karya-karya sastra lainnya
yang notabene lahir dari model teks
suci Al-Qur'an. Keselarasan bait-bait syair dan
irama musik menghubungkan diri dengan keselarasan dan ritme universal
kosmik.
Ketiga,
menjadi kriteria untuk menentukan apakah sebuah gerakan sosial,
kultural dan
bahkan politik benar-benar asli Islami atau
hanya menggunakan, simbol Islam sebagai
slogan untuk mencapai tujuan tertentu. Sepanjang sejarah dan dengan kedalaman serta keluasan manifestasi aslinya, mulai dari
arsitektur sampai seni busana, seni Islami senantiasa menekankan keindahan dan ketakterpisahan darinya.[35]Keempat, sebagai kriteria untuk menentukan tingkat hubungan intelektual
dan religius masyarakat Muslim. Saat ini
banyak tokoh
berbicara tentang Islamisasi pendidikan, sistem ekonomi
maupun sistem masyarakat Islam sendiri, disamping
banyak yang melakukan berbagai usaha
konkret untuk
mencapai tujuan tersebut.
Semua itu bukan usaha yang mudah dan pasti
menghadapi kendala dan tantangan yang berat.[36]
G.
Kesimpulan
Seni
bukan untuk seni sendiri. Tidak
ada istilah I'art
pour
I'art dalam seni Islam. Karya seni, bagi Nasr harus
digali dan
mengekspresikan dimensi-dimensi spiritual, merefleksikan prinsip-prinsip tauhid, sehingga ia mampu mengingatkan dan menuntun manusia untuk kembali
kepada Tuhan. Inilah ciri khas pemikiran Nasr yang
perennial.
Gagasan ini hampir sama dengan teori seni dan keindahan Iqbal. Bedanya,
seni Nasr merupakan ekspresi dimensi spiritual sedangkan
seni Iqbal adalah ekspresi kreativitas ego.
Namun,
lepas dari corak
pemikirannya, cara
pandang Nasr adalah suatu yang sangat positif, bisa digunakan sebagai
jalan
alternatif atas dampak negatif modernitas yang
ternyata justru menjauhkan manusia
dari spiritualitas, sehingga
menimbulkan kekeringan.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran
Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Bagus, Lorens, Kamus Falsafat. Jakarta: Gramedia, 2000.
Chittick, William C., The Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr
from 1958 through April 1993. Kuala Lumpur: tp, 1994.
Gie, The Liang, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
PUBIB, 2005.
Leaman, Oliver,
Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar.
Bandung: Mizan, 2005.
Maksum, Ali Tasawuf
Sebagai Pembebasan Manusia Modern: Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme
Islam” Sayyed Hossein Nasr. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Nasr, Seyyed
Hossein, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, terj. Suharsono. Jakarta:
Inisiasi Press, 2004.
-------,Islam antara Cita dan Fakta, terj. Abdurrahman Wahid dan Hasim Wahid. Yogyakarta: Pusaka,
2001.
-------,Islam dan Falsafat Perenial, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1995.
-------,Spiritualitas
dan Seni Islam, terj. Sutejo. Bandung: Mizan, 1994.
Permata, Ahmad Norma (ed.), Perenialisme:
Melacak Jejak Falsafat Abadi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996.
Safrudin, Irfan,
Kritik Terhadap Modernisme: Studi Komparatif Pemikiran Jurgen Habermas dan
Seyyed Hossein Nasr. Jakarta: PPKPP Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji, 2005.
Sumardjo, Jacob, Falsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB,
2000.
[1] A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi
Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003), h. 5-6.
[2] Irfan Safrudin,
Kritik Terhadap Modernisme: Studi Komparatif Pemikiran Jurgen Habermas dan
Seyyed Hossein Nasr, (Jakarta: PPKPP Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan
Haji, 2005), h. 1.
[3] Loren Bagus, Kamus Falsafat (Jakarta: Gramedia,
2000), h. 858.
[4] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:
PUBIB, 2005), h. 37.
[5] Jakob Sumardjo, Falsafat Seni (Bandung: Penerbit ITB,
2000), h. 47.
[6] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.
ix.
[7] William C. Chittick, The
Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993
(Kuala Lumpur: tp,1994), h. xiii.
[8] William C. Chittick, The
Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, h.
xiv.
[9] William C. Chittick, The
Complete Bibliografi Seyyed Hossein Nasr from 1958 through April 1993, h.
xiv.
[10] Seyyed Hossein Nasr,”Kata Pengantar” dalam Islam dan Falsafat
Perenial terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1995), h. 7.
[11] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam,
terj. Sutejo (Bandung: Mizan, 1994), h. 15.
[12] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr, h. 49.
[13] Ali Maksum, Tasawuf Sebagai Pembebasan Manusia Modern:
Telaah Signifikansi Konsep “Tradisionalisme Islam” Sayyed Hossein Nasr, h. 53.
[14] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta,
terj. Abdurrahman Wahid dan Hasim Wahid (Yogyakarta: Pusaka, 2001), h. 152.
[15] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 13-14.
[16] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 16.
[17] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, h. 23.
[18] Seyyed Hossein Nasr, Islam antara Cita dan Fakta, h. 25.
[19] Seyyed Hossein Nasr,” Tentang Tradisi” dalam Ahmad
Norma Permata (ed.), Perenialisme: Melacak Jejak Falsafat Abadi
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), h. 146-147.
[20] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam,h. 13.
[21] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas
Agama-Agama, Terj. Suharsono (Jakarta: Inisiasi Press, 2004), h. 267.
[22] Seyyed Hossein Nasr, Intelegensi dan Spiritualitas
Agama-Agama, h. 282.
[23] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[24] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h.
21.
[25] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h.
21.
[26] Abdul Hadi W.M.,”Seni Islam dan Akar-Akar Estetikanya”
dalam Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsir Seni dan Keindahan
, terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan, 2005), h. 14.
[27]Abdul
Hadi W.M.,”Seni Islam dan Akar-Akar Estetikanya” dalam Oliver Leaman, Estetika Islam:
Menafsir Seni dan Keindahan, h.
15.
[28] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 89-94.
[29] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 169.
[30] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 174.
[31] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 168.
[32] The Liang Gie, Falsafat Seni: Sebuah Pengantar, h.
47-52.
[33] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[34] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 214.
[35] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 218.
[36] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, h. 218.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar