A. PENDAHULUAN
Diskursus
etika akan selalu menjadi hal yang menarik, penting dan sesuatu yang niscaya di
tengah realitas kehidupan manusia kontemporer yang semakin kompleks. Hal ini
didasarkan oleh beberapa alasan : pertama,
setiap orang hidup dalam masyarakat yang semakin plural,
tidak terkecuali dalam bidang moral. kedua,
realitas kehidupan masyarakat yang semakin termodernisasi. Kondisi ini
tidak jarang telah meniscayakan munculnya
pandangan –pandangan baru dalam bidang moral. Ketiga, etika menjadi sesuatu yang
niscaya bagi kaum agama yang disatu pihak menemukannnya dasar
pijakannnya dalam iman mereka dan dilain pihak mereka berpartisipasi secara
percaya diri dengan realitas masyarakat yang sedang berubah.[1]
Dinamika
realitas kehidupan komtemporer seperti tersebut diatas, tidak jarang telah
menghadapkan manusia dalam satu posisi
dilematis dari segi moral baik bagi bagi individu maupun bagi kelompok
masyarakat tertentu..[2]
Etika dalam Islam merupakan
misi kenabian yang paling utama setelah pengesaan Allah Swt (al-tauhīd).
Dalam hal ini Rasulullāh SAW pernah bersabda,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
“Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak yang baik.”
Dalam tataran khazanah
keilmuan Islam kaitannya dengan falsafat, etika biasanya disebut dengan falsafat
praktis. Ia menempati bagian penting dalam diskursus pemikiran Islam klasik. Falsafat
praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu bagaimana seharusnya yang
berdasar kepada falsafat teoritis, yakni pembahasan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya.[3]
Kajian tentang etika memiliki keunikan
tersendiri dan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga gairah para ilmuwan
muslim untuk membahas lebih terperinci pada bidang ilmu yang sangat krusial
dalam Islam ini, melahirkan banyak karya yang dapat dijadikan sumber rujukan
primer maupun sekunder.
Dalam makalah ini penulis mencoba
mendiskripsikan kosep etika berpijak pada pemikiran Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī.
B.
DEFINISI ETIKA
Seperti
halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika”
pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam bentuk tunggal
mempunyai banyak arti tempat tinggal
yang biasa. padang rumput; kandang , kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan,
sikap, cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Dan arti inilah menjadi latar
belakang bagi terbentuknya istilah
“etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Kita yang cukup dekat dengan
etika adalah moral. Kata terakhir ini berasal dari bahasa lain mos (jamak: mores)
yang juga memiliki makna : kebiasaan, adat.[4]
Sebagai
cabang pemikiran falsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua; obyektivisme dan
subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan dari suatu
tindakan bersifat obyektif, terletak
pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut
faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, menurut paham ini,
bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak
masyarakat melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita
untuk berbuat begitu. Aliran subyektivisme, berpandangan bahwa tindakan disebut
baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek
disini bisa saja berupa sujektivisme kolektif, yaitu masyarakat.[5]
Ada tiga
pendekatan yang dapat dilakukan dalam kaitannya mempelajari atau menyelidiki
tingkah laku moral, yaitu; pertama, etika deskriptif dalam arti melukiskan
tingkah laku moral dalm arti luas, misalnya adat kebiasaan,
anggapan-anggapan tentang apa baik buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan
atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yag terdapat
pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur- subkultur tertentu, dan dalam
suatu periode sejarah dan sebagainya .
Pada saat sekarang etika deskriptif dijalankan oleh ilmu-ilmu social, seperti antropolog
budaya, psikologi, sosiologi, sejarah dan sebagainyal.[6]
Kedua, etika normative, merupakan bagian
penting dari etika dan bidang dimana berlangsung diskusi-diskusi yang paling
menarik tentang masalah-masalah moral.
Disini para ahli yang bersangkutan
tidak bertindak sebagai penonton
netral, seperti halnya etika deskriptif, tapi ia melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang
perilaku manusia. Ia tidak lagi
membatasi diri dengan fungsi
prostitusi dalam suatu masyarakat, tetapi menolak prostitusi sebagai sutu
lembaga yang bertentangan dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum
tentu dapat diberantas secara tuntas.
Ketiga
, Mataetika, dari sudut pandang
etimologis awalan meta (dari bahasa
Yunani) berarti melebihi , melampaui. Ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa
yang dibahas disini bukan moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan
kita dibidang moralitas. Mataetika
seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu
pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang di pergunakan dibidang moral.
Secara umumnya diketahui bahwa disiplin
kajian etika berasal dari pemikiran metafisika alam ini. Di dalam kehidupan ada
dua kuasa yang mendominasi makhluk yaitu qudrah Tuhan (kekuatan dan
pengawalan Tuhan) dan ikhtiyārīy (usaha dan kegigihan)
pada manusia. Dengan unsur ikhtiyārīy inilah adanya nilai etika dan
moral manusia. Dengan adanya panduan al-Qur’ān, manusia menjadi mudah memahami
teori moral dan etika tanpa perlu bersusah payah mencari hakikat kebenaran disiplin
ilmu ini.
Secara praktis, dalam kajian keilmuan Islam,
falsafat etika merupakan kajian keilmuan mengenai tabi’at atau tingkah laku
lahiriah manusia yang timbul dari bathiniahnya. Bidang ini memikirkan tentang
akhlak atau tingkah laku manusia, misalnya, adakah perbedaan antara
perbuatan baik dan perbuatan buruk? Jika ada, apakah perbedaannya? Tindakan
mana yang betul dan tindakan mana yang salah? Adakah nilai mutlak, atau
perbandingannya? Bagaimana seseorang itu harus hidup? Dengan kata lain, bahwa Falsafat
etika adalah kajian untuk mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang
berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh
kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya.[7]
Beberapa sumber otoritatif yang merupakan produk dari
diskursus keilmuan Islam tentang akhlak atau etika sangat banyak, mulai dari
yang berdasarkan kepada
pemikiran-pemikiran falsafat Yunani dan tradisi parepatetik Islam, etika yang
berdasarkan otoritas wahyu, sampai sintesa dari kedua corak tersebut. Hal ini menunjukan bahwa betapa luasnya khazanah kajian Islam tentang etika.
pemikiran-pemikiran falsafat Yunani dan tradisi parepatetik Islam, etika yang
berdasarkan otoritas wahyu, sampai sintesa dari kedua corak tersebut. Hal ini menunjukan bahwa betapa luasnya khazanah kajian Islam tentang etika.
C. BIOGRAFI
TOKOH
Nama lengkapnya
adalah Khuwaja Naṣīr al-Dīn Abu Ja’fār Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasān. Ia
seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi,
dan politik. Sesuai nama panggilannya Naṣīr al-Dīn
al-Ṭūsī karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya
bernama Muhammad bin Hasān, yang mendidik al-Ṭūsī sejak pendidikan dasar.
Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibn
Sīnā dan matematika.[8]
Ia lahir pada
awal abad ke 13 M. ketika dunia Islam tengah
mengalami masa-masa sulit. Karena pada masa itu tentara mongol yang begitu kuat
menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan
dan penduduknya dibantai habis oleh tentara Mongol dengan sangat kejam.[9]
Di masa mudanya, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī meninggalkan Thus menuju
Naisyafur guna menambah lagi ilmunya, yang berstatus sebagai pusat intlektual
dunia Islam bagian timur. Diantara sarjana-sarjana yang pernah menjadi guru
adalah fārid al-Dīn Damad Nisyapuri. Yang merupakan penerus Ibn Sīnā , sehingga
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī bertalian langsung dengan guru falsafat Peripatetik dengan
mengkaji karya Ibn Sīnā yaitu al-Isyārat wa al-Tanbihāt. Ia belajar
matematika kepada Kamal Ibn al-Dīn Ibn Yunus al-Nisyri dan mempelajari beragam
subjek kepada sejumlah sarjana terkemuka lainnya. Serbuan Mongol atas Kurasan
pada awal abad ketujuh terjadi pada saat al-Ṭūsī menyelesaikan pendidikannya di
Nisyapur, yang menjadi tempat yang kian rawan ditempati. Ketika seorang
pangeran Ismail yaitu Naṣīr al-Dīn Abd al Rāhīm Ibn Mansūr, mengundang Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī untuk bergabung dengannya
di istananya, ia segera menerima dan menemukan tempat perlindungan dikaum Ismailiyah
pada periode ini ia mengembangkan dan menterjamahkan kitab al-Tharah Abu Ali Miskawaih al Razi menjadi akhlak an-Nashiri atas nama penguasa dan pelindungnya. Pada tahun 1255
M, Hulagu menyerbu Persia pada tahun 1256 M, ia mengalahkan penguasa Ismā’ili
Rukhn al-Dīn khursiyyāh, dan menduduki benteng
Alamut, yang didalami al-Ṭūsī, yang singkatnya
ia menjadi seorang tawanan. Peran al-Ṭūsī yang menyebabkan penguasa Ismā’ili menyerah
secara damai kepada Hulagu, menjadikannya sangat berharga bagi panglima perang
Mongol itu.[10]
Di masa
kehidupannya, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dikenal sebagai Ilmuwan yang serba bisa
(multi talenta). Sumbangannya terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama hidupnya,
ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam
ilmu astronomi, biologi, kimia, matematika, falsafat, kedokteran, hingga ilmu
agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang pada zamannya ia
memiliki banyak nama, antara lain; Muhaqqiq al-Ṭūsī, Khuwaja Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, dan Khuwaja Naṣīr.
Di masa itu juga ia belajar matematika dan astronomi kepada
Kamal al-Dīn Yunus (w.639H/1242M). Kemudian ia
berkorespondensi dengan al-Qaysari, menantu dari Ibn ‘Arābi, dan kelihatannya
ajaran mistis yang disebarkan oleh para master sufi di masanya tidak dapat
diterima oleh akalnya dan dalam suatu kesempatan yang tepat, ia menyusun buku
sendiri tentang falsafat sufisme berjudul “Awsaf
al-Ashraf: The Attributes of the Illustrious/Noble”.
Perkembangan intelektual al-Ṭūsī tidak dapat dipisahkan dari
drama perjalanan hidupnya dan dari bencana invasi Mongol ke wilayah Timur
Islam.
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī juga bertolak ke Hilah pusat pendidikan
penting di Irak, tempat ia mengunjungi Muhaqqiq Hili, seorang fakih Syī’ah
terkemuka. Sekembalinya ke Maraghah, pada tahun 1259
M, Naṣīr
al-Dīn al-Ṭūsī membentuk
Observatiorium Maraqah, yakni suatu majelis yang hebat yang terdiri atas
orang-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk
pengajaran ilmu-ilmu falsafat. Observatorium Maraqah mulai beroperasi pada
tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana
dari Persia dan dibantu oleh ahli astronomi dari Cina. Teknologi
yang digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya.
Beberapa
peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang
digunakan di Observatorium itu ternyata merupakan penemuan Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, salah satunya adalah
’kuadran azimuth’. Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di Observatorium
itu. Koleksi bukunya terbilang lengkap, terdiri atas beragam ilmu pengetahuan.[11]
Sepanjang kehidupannya, al-Ṭūsī merupakan penulis yang
produktif dalam bidang matematika dan ilmu alam. Ia membawa kemajuan di bidang
matematika trigonometri dan astronomi. Hasil dari upaya kerasnya di bidang
intelektual ini menunjukkan hasil dengan didirikannya observatorium di Maraqah.
Hasil dari observasi dan perhitungan astronomis menghasilkan tabel yang
terkenal yang dinamakan Zij-e Ilkhani.
Sebelum di Maraqah, ilmu rasional telah diperoleh segelintir orang dengan atau
tanpa perlindungan pribadi, sekolah-sekolah Islam mencurahkan hampir seluruh
perhatiannya kepada hukum dan melepaskan diri dari aktivitas falsafat.
Lingkungan obsevatorium dan pelembagaan ilmu rasional menciptakan kebutuhan
akan materi pengajaran, dan ia sendiri menjadi penulis dari resensi teks ilmiah
seperti halnya ringkasan dari teks teologi, logika dan falsafat, jelas
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran. Pengaruh Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī yang terus bertahan dapat
dilihat dari aktivitasnya yang berkelanjutan dalam ilmu rasional Islam Timur,
seperti halnya dalam penyerapan yang terjadi secara bertahap ke dalam
pendidikan religius, yang mana pada gilirannya mempengaruhi perkembangan teologi,
secara khusus di antara para sarjana Syī’ah.[12]
Pada tahun 1257 M. Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī melakukan perjalanan ke
Khurasan. Dalam perjalanan ini, bergabung pula seorang failasuf terkemuka
lainnya, Quthb al-Dīn al-Sairāzī. Didalam perjalanan resmi terakhirnya ke
Bagdad pada tahun 1273 M, Naṣīr al-Dīn
al-Ṭūsī jatuh sakit. Failasuf tersebut meninggal karena sakit pada hari senin
18 Dzulhijah 672 H/25 Juni 1274 M. Kemudian dimakamkan didekat Mūsā al Kazhim,
imam Syī’ah ketujuh.[13]
Beberapa karya
tulisnya di antara lain adalah :
1. Tajrīd
al-’Aq
āid, Karya utama dalam
ilmu Kalam (Filsafat Islam skolastik).
2. Al-Tadhkīrah
fi’ilm al-hay’ah, Sebuah memoar di bidang Ilmu
Astronomi.
3. Akhlāqī Naṣiri, Karya di bidang etika.
4. al-Risālah al-Asturlābiyah,
Risalah tentang astrolabe.
5. Zij-i ilkhani
(Ilkhanic Tables), Risalah astronomi
yang utama.
6. Sharh al-ishārat
, komentar terhadap “Ishārah” karya Ibn
Sīnā .
Beberapa
karyanya yang dicantumkan dalam Sayr wa
Sulūk antara lain adalah :
1. Aqaz wa Anjām
2. Tawallā wa Tabarrā
3. Matlūb al-Mu’minīn
4. Rawdāyi Taslīm
5. Risālah Jabr wa Qādar
6. Al-Dustūr wa Da’wāt
al-Mu’minīn li al-Hudūr
7. Mujārati al-Ṭūsī
8. Jawāb bi Kiyā Shah Amīr
D. INTEGRALITAS
PEMIKIRAN NAṢĪR AL-DĪN AL-ṬŪSĪ
Abad
13 adalah masa kritis kekhalifahan Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran
politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir yang orisinal pada
periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, seorang
pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan
pada masanya. Dia mempelajari falsafat Yunani dan falsafat Islam seperti
karya-karya Aristoteles, al-Fārabī, Ibn Sīnā dan
sebagainya. Dia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat
berpengaruh di Nisyapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang
berpengaruh.
Ia juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Ismā’iliyah. Menurut Antony Black, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī tidak pernah menjadi pengikut Ismā’iliyah, kendati ide-ide Ismā’iliyah muncul dalam karyanya.
Ia juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Ismā’iliyah. Menurut Antony Black, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī tidak pernah menjadi pengikut Ismā’iliyah, kendati ide-ide Ismā’iliyah muncul dalam karyanya.
Dalam
pemikiran agama, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn
Sīnā dan Suhrawardī, yang keduanya ia
sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” bukan sebagai failsuf. Akan
tetapi, berbeda dengan Ibn Sīnā , ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak
bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syī’ah, manusia membutuhkan
pengajaran yang otortatif, sekaligus falsafat. Ini menunjukkan kecenderungan
teologi mistisnya.
Dalam
pemikiran, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī cenderung menyintesiskan ide-ide
Arisatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan falsafat dengan genre nasihat
kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara
Syī’ah dan falsafat. Buku etikanya disajikan sebagai sebuah karya falsafat
praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota,
provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih,
bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sīnā , dan
bagian III menggunakan pemikiran Al-Farābī. (Akhlāqi Naṣīri).
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī bermaksud menyatukan
falsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja
didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip
baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat
merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam,
pada hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi
menjadi norma-norma untuk individu, keluarga, dan penduduk desa atau kota.
Menurutnya falsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih
ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan
zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Dia menafsirkan negara
atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismā’iliyah, hal ini terlihat
dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran
fuqaha dan juga para imam. Sehingga ia menganggap syariat sebagai suatu tatanan
hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.[15]
E. PEMIKIRAN
ETIKA
Ada dua karya
utama al-Ṭūsī dalam bidang etika, Akhlāqi Muhtaṣāmi (Muhtashamean Ethics) dan Akhlāqi Naṣīri (The Nasirean Ethics),
keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Yang pertama diangkat dari aturan Ismā’ili
dari Quhistan. Naṣīr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān yang mempersiapkan garis besar dan
menyetujui isi tetapi meminta al-Ṭūsī
mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik.
Disamping itu, kitab ‘Adāb al-Muta’allimīn
juga merupakan salah satu karyanya di bidang etika. Menurutnya, karya ini
sangat perlu karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu
disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal baginya etika
adalah prasyarat keberhasilan belajar.
Sebagai tambahan
bagi kedua karya di bidang etika yang terkenal di atas, sedikitnya ada empat
risalah utama yang ditulis al-Ṭūsī
sebagai karya di bidang etika. Dan kesemuanya menggambarkan karakter Ismā’iliyah.
Tujuan dari
filsafat etika al-Ṭūsī ini adalah untuk
menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai
kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik,
menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta. Untuk mendapatkan kebahagiaan,
hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya
serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi, seorang bisa
dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang
berlaku.
Ia mengutip dari
Plato, bahwa yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian,
kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang
meliputi akal, kemarahan, dan hasrat. Namun al-Ṭūsī dalam menempatkan
kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori Plato, melainkan pendapat al-Ṭūsī sependapat dengan Ibn Miskawaih. Ia
menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan,
di atas kebajikan.
Sebagaimana
keadaan dari perbuatan baik, selalu di usik dengan perbuatan jahat. Aristoteles
memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik
eksesnya maupun kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibn Miskawaih, setelah ia
menyebutkan kejahatan satu demi satu hingga sampai kedelapan terlalu kelihaian
dan kebodohan , gegabah dan pengecut, pemanjaan dan pemantangan , kelaliman dan
penderitaan. Berdasarkan pola Aristoteles ini, al-Ṭūsī menggambarkan
sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Namun, Ibn Miskawaih
tidak menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau
kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka masalah ini al-Ṭūsī mengkaji dan
menemukan masalahnya.[16]
Selain dari
kebaikan dan kejahatan, satu hal lagi yang mempengaruhi etika adalah penyakit.
Penyakit yang dimaksud dalam hal ini adalah penyakit moral manusia, dimana
penyakit ini merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut al-Ṭūsī,
penyakit moral ini bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yakni;
keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.[17]
Dari teori tiga
sebab ini, al-Ṭūsī menggunakannya dengan cara menggolongkan penyakit-penyakit
fatal menjadi tiga golongan penyakit-penyakit fatal akal teoritis yang terbagi
menjadi tiga karakter, yaitu:[18]
1. Kebingungan
Kebingungan
disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan
kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi
yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk
menghilangkan kebingungan, maka Tusi menyarankan agar orang yang bingung
disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, itu
semua bertentangan dengan sifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam satu
benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu
hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika salah, ia tidak mungkin benar.
Setelah dia memahami prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai
aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.
2. Kebodohan
Sederhana
Kebodohan
sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira
bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang
bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal
kalau merasa puas dengan keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan
jalan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakakanlah, dan bukannya
penampilan lahiriah, yang membuat manusia berhak disebut manusia, dan bahwa
manusia yang bodoh itu tidak lebih baik dibandingkan binatang; bahkan lebih
buruk dari itu sebab binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki
nalar.
3. Kebodohan
Fatal
Kebodohan
fatal adalah kekurangtahuan manusia kan sutau hal dan dia merasa mengetahui hal
itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Ath
Tusi, penyakit ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi
dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan
kefatalannya menjadi kebodohan bersama.
Pandangan
al-Ṭūsī secara keseluruhan, ia menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial,
maka untuk memperkuat sikap daripada manusia itu sendiri, manusia mesti
mencapai sebuah watak yang baik terhadap sesamanya samapi batas sempurna.
Kesempurnaan ini disebutnya dengan perdaban. Manusia hidup saling membutuhkan
maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mengenai kemarahan, al-Ṭūsī
menganggap
bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari
segi berlebihan. Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan
hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan akibat kekurangan, dan kesedihan
serta cemburu itu merupakan ketidakwajaran kekuatan. al-Ṭūsī telah mendefinisikan cemburu
sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki
nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan
al-Ghazālī yang membedakan antara cemburu dengan iri. al-Ṭūsī menganggap masyarakat sebagai latar
belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk
sosial dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduk dan patuh yang
menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.
Al-Ṭūsī menggolongkan etika menjadi dua bagian:
prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan bagian pertama dibagi menjadi tujuh bab.
Subjek etika adalah jiwa manusia karena ia merupakan sumber perbuatan baik dan
jahat. Jiwa manusia adalah substansi abstrak dari esensi yang melahirkan
konsepsi tentang intelligibles. Ia memberikan argument cermat untuk membuktikan
eksistensi jiwa, substansialitas, ia bukan raga atau bersifat fisik. Jiwa
memahami melalui esensinya dan bertindak melalui alat-alatnya, dan akhirnya
jiwa tidak saja di cerap melalui persepsi indrawi mana pun. Jiwa manusia yang
disebut jiwa rasional tetap hidup meskipun raga sudah mati. Sesungguhnya raga
adalah alat bagi jiwa dan bukan tempat atau ruang jiwa yang dipahami sebagian
orang.
Jiwa terbagi menjadi tiga, yakni tumbuhan, hewan, dan
manusia, yang masing-masing mempunyai daya. Hanya manusialah yang mempunyai
daya rasional. Manusia adalah mahluk yang paling mulia, tahap tertinggi dari
keseluruhan tahap perjalanan jiwa dari jiwa tumbuhan dan hewan. Nabi dan wali
adalah manusia yang paling mulia. Manusia secara potensial bisa mencapai
kesempurnaan atau jatuh dalam kehinaan. Ada dua jenis kesempurnaan, dari segi
pengetahuan maupun perbuatan. Tujuan akhir pengetahuan adalah kedamain dan kepastian
dalam tauhid. Tujuan puncak perbuatan manusia adalah mencapai keselarasan dan
keseimbangan dalam urusan individu dan komunal., kesempurnaan dalam pengetahuan
dan perbuatan secara dialektis saling terkait dan bergantung satu sama lain.
Setelah menguasai dua sisi ini, manusia menjadi khalifah. Al-Tusi melancarkan
serangan sengit atas orang-orang yang tujuan hidupnya adalah untuk mengejar
kenikmatan material, dengan memfungsikan daya berfikir dan akal untuk
memfasilitasi kenikmatan fisik itu. Mereka menundukan jiwa yang luhur.
Namun, dari sudut pandang lain, jiwa dibagi menjadi tiga,
yaitu jiwa binatang yang merupakaan jiwa terendah., jiwa biadab yang merupakan
maqam, jiwa malaikat yang merupakan jiwa terluhur. Jiwa ini terdapat pada diri
manusia secara serentak. Al-Ṭūsī menyinggung tiga jiwa ini sesuai
tiga istilah dalam al-Qur’ān. Pertama,
sesuai dengan Nafsu amarah atau jiwa
syahwat, kedua, sesuai dengan nafsu lawwāmah atau jiwa yang pencela, dan ketiga, sesuai dengan nafsu muṭmainnah atau jiwa yang tenang.
Jiwa syahwat mendorong dan mendesak pada pemenuhan keinginan yang bersifat
seksualitas, terutama pada jiwa pencela, setelah menyembunyikan sesuatu yang
tak terelakan sebagai kekurangan manusia, mereka mencela melalui teguran,
perbuatan itu sebagai sesuatu yang tak bernilai dimata kebijaksanaan, dan
mengenai jiwa yang tenang, ia tidak menghasilkan apa-apa, kecuali amalan yang
elok dan perbuatan yang baik.[19]
Risalah tentang etika, ia membahas tujuan-tujuan cabang
filsafat ini. Ia percaya bahwa akhlak individui dapat diubah, bahwa akhlak manusia
dapat berubah melalui pendidikan. Namun, tindakan untuk mengubah akhlak
seseorang adalah suatu seni, dan dalam pengertian itulah ia merupakan seni
paling mulia. Pada dasarnya ada tiga jenis kebajikan yang dapat dicapai manusia,
yang masing-masing berhubungan dengan satu dan tiga jiwa manuisa diatas.[20]
Mengenai
kecenderungan moral manusia, al-Ṭūsī menyatakan bahwa sebagian manusia menurut
fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. Dia menyimpulkan
bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan dua hal. Pertama,
pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, ia membutuhkan pendidikan,
disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya
diadaptasikan dengan dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga
diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktu untuk
terus membimbing manusia menuju kebaikan.
F. KESIMPULAN
Naṣīr
al-Dīn al-Ṭūsī adalah
seorang filsuf yang multi talenta, dia menguasai ilmu pengetahuan di berbaga
bidang, dia adalah seorang fakih, astronom dan astrolog, ahli matematika, dan
tentunya menguasai bidang politik. Sebagaimana kita ketahui bahwa dia hidup
dalam masa peralihan kekuasaan antara Ismā’iliyah menuju dinasti Mongol. Hal ini
secara tidak langsung sangat mempengaruhi pemikirannya .
Naṣīr
al-Dīn al-Ṭūsī adalah
seorang yang berdamai dengan pemerintahan yang ada, khususnya yang cenderung
pada pandangan Syī’ah, terutama Imamiyah. Walaupun terkesan seorang praktisi,
tetapi kemampuannya di dalam segala hal, termasuk pemerintahan tidak diragukan
lagi. Kecenderungan akan pandangan-pandangan Syī’ah lebih berkembang pada masa
Dinasti Mongol, karena kecakapan mereka dalam pemerintahan. Hal ini
menjadikannya sebagai seorang pemikir politik idealis yang telah berhasil
mensintesiskan pandangan banyak pemikir sebelumnya, seperti Aristoteles,
Neo-Platonis, Al Farābī dan juga Ibn Sīnā.
Ada dua karya
utama al-Ṭūsī dalam bidang etika, Akhlāqi Muhtaṣāmi (Muhtashamean Ethics) dan Akhlāqi Naṣīri (The Nasirean Ethics),
keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Yang pertama diangkat dari aturan
Ismā’ili dari Quhistan. Naṣīr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān yang mempersiapkan garis
besar dan menyetujui isi tetapi meminta
al-Ṭūsī mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di
bidang politik. Disamping itu, kitab ‘Adāb
al-Muta’allimīn juga merupakan salah satu karyanya di bidang etika.
Menurutnya, karya ini sangat perlu karena banyak orang mendapat kesulitan dalam
menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal
baginya etika adalah prasyarat keberhasilan belajar.
Mengenai
kecenderungan moral manusia, al-Ṭūsī menyatakan bahwa sebagian manusia menurut
fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.
DAFAR
PUSTAKA
Referensi
Buku :
Amin Abdullah, M. , Antara
Al Ghazali Dan Kant Falsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Bertens,
K. ,Etika, (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hossein Nasr, Seyyed dan Olifer Leaman,
Ensiklopedi tematis falsafat Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2003.
Magnis-suseno, Franz, Etik,
Dasar Masalah-Masalah Pokok Falsafat Moral, Jogjakarta Kanisius,
2001.
Mustofa,
A., Falsafat Islam, Bandung: Pustaka
Setia, 2004.
Nasution,
Hasyimsyah, Falsafat Islam, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
S. Suriasumantri, Jujun,
Falsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta
Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Supriyadi,
Dedi, Pengantar Falsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarif,
M.M. , History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963.
Referensi Website :
www.sriulyaninasution.wordpress.com
[1] Franz Magnis-suseno, Etik, Dasar Masalah-Masalah
Pokok Falsafat Moral, (Jogjakarta Kanisius, 2001), h. 15.
[2] Jujun
S. Suriasumantri, Falsafat Ilmu, Sebuah
Pengantar Populer, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 246.
[3] M.
Amin Abdullah, Antara Al Ghazali Dan Kant Falsafat Etika Islam,
(Bandung: Mizan, 2002), h.15.
[4]K. Bertens Etika, (Jakarta. Gramedia
Pustaka Utama, 2004), h. 4.
[9] Dedi
Supriyadi, Pengantar Falsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.
246
[10] Seyyedd
Hossein Nasr dan Olifer Leaman, Ensiklopedi tematis falsafat Islam, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2003),h . 768.
[11] M.M.
Syarif, History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963),
h. 236.
[12]
Hasyimsyah Nasution, Falsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999), h.130.
[13]
Hasyimsyah Nasution, Falsafat Islam,h.171.
[14] Sri Mulyani Nasution, Khawajah Nasiruddin Al-Tusi (Naṣīr Al-Dīn Al-Ṭūsī), www.sriulyaninasution.wordpress.com, diakses pada tanggal 23/06/201, pukul 10:7 WIB.
[15] Abduh,
“Nashiruddin al-Tushi, tokoh sosio-politik”,
www.damaiduniaku.blogspot.com
, diakses pada tanggal 23/06/2014, pukul 10:24 WIB.
[17] M.M.
Syarif, History of Muslim Philosophy,h.214.
[18] Dedi
Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam,
h. 253-254.
[19]
Seyyed Hossein Nasr dan Olifer Leaman, Ensiklopedi
tematis filsafat Islam. h. 817.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar