Halaman

Senin, 11 Mei 2015

etika nashiruddin al-thusi



A.    PENDAHULUAN
          Diskursus etika akan selalu menjadi hal yang menarik, penting dan sesuatu yang niscaya di tengah realitas kehidupan manusia kontemporer yang semakin kompleks. Hal ini didasarkan oleh beberapa alasan : pertama,  setiap orang  hidup dalam masyarakat yang semakin plural, tidak terkecuali dalam bidang moral. kedua, realitas kehidupan masyarakat yang semakin termodernisasi. Kondisi ini tidak jarang telah meniscayakan munculnya  pandangan –pandangan baru dalam bidang moral. Ketiga, etika menjadi sesuatu yang  niscaya bagi kaum agama yang disatu pihak menemukannnya dasar pijakannnya dalam iman mereka dan dilain pihak mereka berpartisipasi secara percaya diri dengan realitas masyarakat yang sedang berubah.[1]
            Dinamika realitas kehidupan komtemporer seperti tersebut diatas, tidak jarang telah menghadapkan manusia dalam satu posisi  dilematis dari segi moral baik bagi bagi individu maupun bagi kelompok masyarakat tertentu..[2]
            Etika dalam Islam merupakan misi kenabian yang paling utama setelah pengesaan Allah Swt (al-tauhīd). Dalam hal ini Rasulullāh SAW pernah bersabda,
إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق
Bahwasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.”
Dalam tataran khazanah keilmuan Islam kaitannya dengan falsafat, etika biasanya disebut dengan falsafat praktis. Ia menempati bagian penting dalam diskursus pemikiran Islam klasik. Falsafat praktis itu sendiri berbicara tentang segala sesuatu bagaimana seharusnya yang berdasar kepada falsafat teoritis, yakni pembahasan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.[3]
Kajian tentang etika memiliki keunikan tersendiri dan disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga gairah para ilmuwan muslim untuk membahas lebih terperinci pada bidang ilmu yang sangat krusial dalam Islam ini, melahirkan banyak karya yang dapat dijadikan sumber rujukan primer maupun sekunder.
Dalam makalah ini penulis mencoba mendiskripsikan kosep etika berpijak pada pemikiran Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī.
B.     DEFINISI ETIKA
          Seperti halnya dengan banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” pun berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos  dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti tempat  tinggal yang biasa. padang rumput; kandang , kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adat kebiasaan. Dan arti inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya  istilah “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Kita yang cukup dekat dengan  etika adalah moral. Kata terakhir ini berasal dari bahasa lain mos  (jamak: mores) yang juga memiliki makna : kebiasaan, adat.[4]
            Sebagai cabang pemikiran falsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua; obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan dari suatu tindakan  bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik, menurut paham ini, bukan karena kita senang melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Aliran subyektivisme, berpandangan bahwa tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subjek tertentu. Subjek disini bisa saja berupa sujektivisme kolektif, yaitu masyarakat.[5]
            Ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan dalam kaitannya mempelajari atau menyelidiki tingkah laku moral, yaitu; pertama,  etika deskriptif dalam arti melukiskan tingkah  laku moral  dalm arti luas, misalnya adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang apa baik buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yag terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan  atau subkultur- subkultur tertentu, dan dalam suatu periode sejarah  dan sebagainya . Pada saat sekarang etika deskriptif dijalankan oleh ilmu-ilmu social, seperti antropolog budaya, psikologi, sosiologi, sejarah dan sebagainyal.[6]
            Kedua, etika normative, merupakan bagian penting dari etika dan bidang dimana berlangsung  diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral.  Disini para ahli yang bersangkutan  tidak bertindak sebagai penonton  netral, seperti halnya etika deskriptif, tapi ia melibatkan  diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Ia tidak lagi   membatasi diri dengan   fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, tetapi menolak prostitusi sebagai sutu lembaga yang bertentangan dengan martabat wanita, biarpun dalam praktek belum tentu dapat diberantas secara tuntas.
          Ketiga ,  Mataetika, dari sudut pandang etimologis awalan meta (dari bahasa Yunani) berarti melebihi , melampaui. Ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas disini bukan moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan kita dibidang moralitas. Mataetika  seolah-olah bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa etis” atau bahasa yang di pergunakan dibidang moral.
Secara umumnya diketahui bahwa disiplin kajian etika berasal dari pemikiran metafisika alam ini. Di dalam kehidupan ada dua kuasa yang mendominasi makhluk yaitu qudrah Tuhan (kekuatan dan pengawalan Tuhan)   dan ikhtiyārīy (usaha dan kegigihan) pada manusia. Dengan unsur ikhtiyārīy inilah adanya nilai etika dan moral manusia. Dengan adanya panduan al-Qur’ān, manusia menjadi mudah memahami teori moral dan etika tanpa perlu bersusah payah mencari hakikat kebenaran disiplin ilmu ini.
Secara praktis, dalam kajian keilmuan Islam, falsafat etika merupakan kajian keilmuan mengenai tabi’at atau tingkah laku lahiriah manusia yang timbul dari bathiniahnya. Bidang ini memikirkan tentang akhlak atau tingkah laku  manusia, misalnya, adakah perbedaan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk? Jika ada, apakah perbedaannya? Tindakan mana yang betul dan tindakan mana yang salah? Adakah nilai mutlak, atau perbandingannya? Bagaimana seseorang itu harus hidup? Dengan kata lain, bahwa Falsafat etika adalah kajian untuk mencari hakikat nilai-nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan pertimbangan pemikirannya.[7]
Beberapa sumber otoritatif yang merupakan produk dari diskursus keilmuan Islam tentang akhlak atau etika sangat banyak, mulai dari yang berdasarkan kepada
pemikiran-pemikiran falsafat Yunani dan tradisi parepatetik Islam, etika yang
berdasarkan otoritas wahyu, sampai sintesa dari kedua corak tersebut. Hal ini menunjukan bahwa betapa luasnya khazanah kajian Islam tentang etika.
C.     BIOGRAFI TOKOH
Nama lengkapnya adalah Khuwaja Naṣīr al-Dīn Abu Ja’fār Muhammad Ibn Muhammad Ibn Hasān. Ia seorang sarjana yang mahir dalam bidang ilmu pengetahuan matematika, astronomi, dan politik. Sesuai nama panggilannya Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī karena ia dilahirkan di kota Tus pada tahun 597 H/1201 M. Ayahnya bernama Muhammad bin Hasān, yang mendidik al-Ṭūsī sejak pendidikan dasar. Kemudian dia mempelajari fiqih, ilmu hikmah, dan ilmu kalam, serta isyaratnya Ibn Sīnā  dan matematika.[8]
Ia lahir pada awal abad ke 13 M. ketika dunia Islam tengah mengalami masa-masa sulit. Karena pada masa itu tentara mongol yang begitu kuat menginvansi wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya dibantai habis oleh tentara Mongol dengan sangat kejam.[9]
Di  masa mudanya,  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī meninggalkan Thus menuju Naisyafur guna menambah lagi ilmunya, yang berstatus sebagai pusat intlektual dunia Islam bagian timur. Diantara sarjana-sarjana yang pernah menjadi guru adalah fārid al-Dīn Damad Nisyapuri. Yang merupakan penerus Ibn Sīnā , sehingga Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī bertalian langsung dengan guru falsafat Peripatetik dengan mengkaji karya Ibn Sīnā  yaitu al-Isyārat wa al-Tanbihāt. Ia belajar matematika kepada Kamal Ibn al-Dīn Ibn Yunus al-Nisyri dan mempelajari beragam subjek kepada sejumlah sarjana terkemuka lainnya. Serbuan Mongol atas Kurasan pada awal abad ketujuh terjadi pada saat al-Ṭūsī menyelesaikan pendidikannya di Nisyapur, yang menjadi tempat yang kian rawan ditempati. Ketika seorang pangeran Ismail yaitu Naṣīr al-Dīn Abd al Rāhīm Ibn Mansūr, mengundang  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī untuk bergabung dengannya di istananya, ia segera menerima dan menemukan tempat perlindungan dikaum Ismailiyah pada periode ini ia mengembangkan dan menterjamahkan kitab al-Tharah Abu Ali Miskawaih al Razi menjadi akhlak an-Nashiri atas nama penguasa dan pelindungnya. Pada tahun 1255 M, Hulagu menyerbu Persia pada tahun 1256 M, ia mengalahkan penguasa Ismā’ili Rukhn al-Dīn khursiyyāh, dan menduduki benteng Alamut, yang didalami  al-Ṭūsī, yang singkatnya ia menjadi seorang tawanan. Peran  al-Ṭūsī yang menyebabkan penguasa Ismā’ili menyerah secara damai kepada Hulagu, menjadikannya sangat berharga bagi panglima perang Mongol itu.[10]
Di masa kehidupannya, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī dikenal sebagai Ilmuwan yang serba bisa (multi talenta). Sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan modern sungguh tidak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuwan Muslim dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan beragam ilmu astronomi, biologi, kimia, matematika, falsafat, kedokteran, hingga ilmu agama Islam. Sebagai seorang ilmuwan yang amat kondang pada zamannya ia memiliki banyak nama, antara lain; Muhaqqiq al-Ṭūsī, Khuwaja  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, dan Khuwaja Naṣīr.
Di masa itu juga ia belajar matematika dan astronomi kepada Kamal al-Dīn Yunus (w.639H/1242M). Kemudian ia berkorespondensi dengan al-Qaysari, menantu dari Ibn ‘Arābi, dan kelihatannya ajaran mistis yang disebarkan oleh para master sufi di masanya tidak dapat diterima oleh akalnya dan dalam suatu kesempatan yang tepat, ia menyusun buku sendiri tentang falsafat sufisme berjudul “Awsaf al-Ashraf: The Attributes of the Illustrious/Noble”.
Perkembangan intelektual al-Ṭūsī tidak dapat dipisahkan dari drama perjalanan hidupnya dan dari bencana invasi Mongol ke wilayah Timur Islam. 
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī juga bertolak ke Hilah pusat pendidikan penting di Irak, tempat ia mengunjungi Muhaqqiq Hili, seorang fakih Syī’ah terkemuka. Sekembalinya ke Maraghah, pada tahun 1259 M, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī  membentuk Observatiorium Maraqah, yakni suatu majelis yang hebat yang terdiri atas orang-orang pandai dan terpelajar dengan membuat rencana khusus untuk pengajaran ilmu-ilmu falsafat. Observatorium Maraqah mulai beroperasi pada tahun 1262 M. Pembangunan dan operasional observatorium itu melibatkan sarjana dari Persia dan dibantu oleh ahli astronomi dari Cina. Teknologi yang digunakan di Observatorium itu terbilang canggih pada zamannya.
Beberapa peralatan dan teknologi penguak luar angkasa yang digunakan di Observatorium itu ternyata merupakan penemuan  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, salah satunya adalah ’kuadran azimuth’. Selain itu, dia juga membangun perpustakaan di Observatorium itu. Koleksi bukunya terbilang lengkap, terdiri atas beragam ilmu pengetahuan.[11]
Sepanjang kehidupannya, al-Ṭūsī merupakan penulis yang produktif dalam bidang matematika dan ilmu alam. Ia membawa kemajuan di bidang matematika trigonometri dan astronomi. Hasil dari upaya kerasnya di bidang intelektual ini menunjukkan hasil dengan didirikannya observatorium di Maraqah. Hasil dari observasi dan perhitungan astronomis menghasilkan tabel yang terkenal yang dinamakan Zij-e Ilkhani. Sebelum di Maraqah, ilmu rasional telah diperoleh segelintir orang dengan atau tanpa perlindungan pribadi, sekolah-sekolah Islam mencurahkan hampir seluruh perhatiannya kepada hukum dan melepaskan diri dari aktivitas falsafat. Lingkungan obsevatorium dan pelembagaan ilmu rasional menciptakan kebutuhan akan materi pengajaran, dan ia sendiri menjadi penulis dari resensi teks ilmiah seperti halnya ringkasan dari teks teologi, logika dan falsafat, jelas dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran. Pengaruh  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī yang terus bertahan dapat dilihat dari aktivitasnya yang berkelanjutan dalam ilmu rasional Islam Timur, seperti halnya dalam penyerapan yang terjadi secara bertahap ke dalam pendidikan religius, yang mana pada gilirannya mempengaruhi perkembangan teologi, secara khusus di antara para sarjana Syī’ah.[12]
Pada tahun 1257 M.  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī melakukan perjalanan ke Khurasan. Dalam perjalanan ini, bergabung pula seorang failasuf terkemuka lainnya, Quthb al-Dīn al-Sairāzī. Didalam perjalanan resmi terakhirnya ke Bagdad pada tahun 1273 M,  Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī jatuh sakit. Failasuf tersebut meninggal karena sakit pada hari senin 18 Dzulhijah 672 H/25 Juni 1274 M. Kemudian dimakamkan didekat Mūsā al Kazhim, imam Syī’ah ketujuh.[13]
Beberapa karya tulisnya di antara lain adalah :
1.      Tajrīd al-’Aq āid, Karya utama dalam ilmu Kalam (Filsafat Islam skolastik).
2.      Al-Tadhkīrah fi’ilm al-hay’ah, Sebuah memoar di bidang Ilmu Astronomi.
3.      Akhlāqī Naṣiri,  Karya di bidang etika.
4.      al-Risālah al-Asturlābiyah, Risalah tentang astrolabe.
5.      Zij-i ilkhani (Ilkhanic Tables), Risalah astronomi yang utama.
6.      Sharh al-ishārat , komentar terhadap “Ishārah” karya Ibn Sīnā .
Beberapa karyanya yang dicantumkan dalam Sayr wa Sulūk antara lain adalah :
1.       Aqaz wa Anjām
2.       Tawallā wa Tabarrā
3.       Matlūb al-Mu’minīn
4.        Rawdāyi Taslīm
5.       Risālah Jabr wa Qādar
6.       Al-Dustūr wa Da’wāt al-Mu’minīn li al-Hudūr
7.       Mujārati al-Ṭūsī
8.       Jawāb bi Kiyā Shah Amīr
9.       Risālah dar Ni’māt hā, kuṣi ha wa ladhdhat hā[14]
D.    INTEGRALITAS PEMIKIRAN  NAṢĪR AL-DĪN AL-ṬŪSĪ
Abad 13 adalah masa kritis kekhalifahan Islam, sehingga sangat sedikit pemikiran politik yang berkembang. Bahkan sulit menemukan pemikir yang orisinal pada periode pasca-mongol tersebut. Akan tetapi Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī, seorang pemikir cemerlang yang memainkan peran intelektual dan pemikiran pemerintahan pada masanya. Dia mempelajari falsafat Yunani dan falsafat Islam seperti karya-karya Aristoteles, al-Fārabī, Ibn Sīnā dan sebagainya. Dia juga dikenal ahli dalam bidang teologi dan fikih yang sangat berpengaruh di Nisyapur, sebuah kota yang menjadi pusat peradaban yang berpengaruh.
Ia juga dikenal sebagai seorang astrolog handal serta menguasai matematika. Walaupun keahliannya ini menjadikannya tidak bebas dan dipaksa bekerja hampir dua puluh tahun sebagai astrolog di sebuah benteng Alamut dibawah kekuasaan dinasti Ismā’iliyah. Menurut Antony Black, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī tidak pernah menjadi pengikut Ismā’iliyah, kendati ide-ide Ismā’iliyah muncul dalam karyanya.
Dalam pemikiran agama, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī mengadopsi ajaran-ajaran neo-Platonik Ibn Sīnā  dan Suhrawardī, yang keduanya ia sebut, demi alasan-alasan taktis, “orang bijak” bukan sebagai failsuf. Akan tetapi, berbeda dengan Ibn Sīnā , ia berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, akan tetapi sebagaimana doktrin Syī’ah, manusia membutuhkan pengajaran yang otortatif, sekaligus falsafat. Ini menunjukkan kecenderungan teologi mistisnya.
Dalam pemikiran, Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī cenderung menyintesiskan ide-ide Arisatoteles dan tradisi Iran. Ia menggabungkan falsafat dengan genre nasihat kepada Raja, sehingga ia tetap memelihara hubungan antara Syī’ah dan falsafat. Buku etikanya disajikan sebagai sebuah karya falsafat praktis. Karya ini membahas persoalan individu, keluarga, dan komunitas kota, provinsi, desa atau kerajaan. Pembahasan bagian I menggunakan etika Miskawaih, bagian II menggunakan ide Bryson dan Ibn Sīnā , dan bagian III menggunakan pemikiran Al-Farābī. (Akhlāqi  Naṣīri).
 Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī bermaksud menyatukan falsafat dan fikih berdasarkan pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk pada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh seorang nabi atau imam, pada hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fikih. Keduanya dibagi lagi menjadi norma-norma untuk individu, keluarga, dan penduduk desa atau kota. Menurutnya falsafat mempunyai kebenaran-kebenaran yang tetap sedangkan fikih ataupun hukum Tuhan mungkin berubah karena revolusi atau keadaan, perbedaan zaman dan bangsa serta terjadinya peralihan dinasti. Dia menafsirkan negara atau dinasti seperti dawlah menurut pandangan Ismā’iliyah, hal ini terlihat dari pandangannya tentang perubahan pada hukum Tuhan oleh nabi-nabi, penasiran fuqaha dan juga para imam. Sehingga ia menganggap syariat sebagai suatu tatanan hukum yang tidak mutlak dan final, sebagaimana diyakini kalangan Sunni.[15]
E.     PEMIKIRAN ETIKA
Ada dua karya utama  al-Ṭūsī dalam bidang etika, Akhlāqi Muhtaṣāmi (Muhtashamean Ethics) dan Akhlāqi Naṣīri (The Nasirean Ethics), keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Yang pertama diangkat dari aturan Ismā’ili dari Quhistan. Naṣīr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān yang mempersiapkan garis besar dan menyetujui isi tetapi meminta  al-Ṭūsī mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik. Disamping itu, kitab ‘Adāb al-Muta’allimīn juga merupakan salah satu karyanya di bidang etika. Menurutnya, karya ini sangat perlu karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal baginya etika adalah prasyarat keberhasilan belajar.
Sebagai tambahan bagi kedua karya di bidang etika yang terkenal di atas, sedikitnya ada empat risalah utama yang ditulis  al-Ṭūsī sebagai karya di bidang etika. Dan kesemuanya menggambarkan karakter Ismā’iliyah.
Tujuan dari filsafat etika al-Ṭūsī  ini adalah untuk menemukan cara hidup untuk mencapai sebuah kebahagiaan. Agar bisa mencapai kebaikan maka dalam hal ini manusia dituntut untuk sering berbuat baik, menempatkan kebaikan di atas keadilan dan cinta. Untuk mendapatkan kebahagiaan, hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi, seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku.
Ia mengutip dari Plato, bahwa yang termasuk perbuatan baik menyangkut kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Keempat hal ini termasuk pada trinitas jiwa yang meliputi akal, kemarahan, dan hasrat. Namun al-Ṭūsī dalam menempatkan kebajikan-kebajikan itu bukan berasal dari teori Plato, melainkan pendapat al-Ṭūsī  sependapat dengan Ibn Miskawaih. Ia menempatkan kebajikan di atas keadilan, dan cinta sebagai sumber alam kesatuan, di atas kebajikan.
Sebagaimana keadaan dari perbuatan baik, selalu di usik dengan perbuatan jahat. Aristoteles memandang kejahatan sebagai suatu kebaikan yang sudah terlalu berlebihan, baik eksesnya maupun kerusakannya. Berbeda halnya denga Ibn Miskawaih, setelah ia menyebutkan kejahatan satu demi satu hingga sampai kedelapan terlalu kelihaian dan kebodohan , gegabah dan pengecut, pemanjaan dan pemantangan , kelaliman dan penderitaan. Berdasarkan pola Aristoteles ini, al-Ṭūsī menggambarkan sebab-sebab dan cara-cara menghilangkan rasa takut dan sedih. Namun, Ibn Miskawaih tidak menjelaskan pakah rasa takut dan sedih itu membentuk keberlebihan atau kekurangan, kemarahan, dan hasrat. Maka masalah ini al-Ṭūsī mengkaji dan menemukan masalahnya.[16]
Selain dari kebaikan dan kejahatan, satu hal lagi yang mempengaruhi etika adalah penyakit. Penyakit yang dimaksud dalam hal ini adalah penyakit moral manusia, dimana penyakit ini merupakan penyimpangan jiwa dari keseimbangan. Menurut al-Ṭūsī, penyakit moral ini bisa disebabkan oleh salah satu dari tiga sebab, yakni; keberlebihan, keberkurangan, dan ketakwajaran akal, kemarahan atau hasrat.[17]
Dari teori tiga sebab ini, al-Ṭūsī menggunakannya dengan cara menggolongkan penyakit-penyakit fatal menjadi tiga golongan penyakit-penyakit fatal akal teoritis yang terbagi menjadi tiga karakter, yaitu:[18]
1.       Kebingungan
Kebingungan disebabkan oleh ketidakmampuan jiwa untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan dikarenakan adanya bukti yang saling bertentangan dan argumentasi yang kacau, untuk dan terhadap suatu masalah yang kontroversial. Untuk menghilangkan kebingungan, maka Tusi menyarankan agar orang yang bingung disadarkan bahwa keterdirian dan pembagian, penegasan dan penyangkalan, itu semua bertentangan dengan sifat eksklusif, tidak dapat bermaujud dalam satu benda pada waktu yang sama, sehingga dia mungkin bisa teryakinkan bahwa jika suatu hal benar, ia tidak mungkin salah, dan jika salah, ia tidak mungkin benar. Setelah dia memahami prinsip bukti diri ini, dia bisa diberi pelajaran mengenai aturan-aturan silogisme untuk memudahkan penemuan kekeliruan dalam argumentasi.
2.       Kebodohan Sederhana
Kebodohan sederhana terdapat pada kekurangtahuan manusia akan suatu hal tanpa mengira bahwa dia mengetahuinya. Kebodohan semacam itu merupakan suatu keadaan yang bisa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal kalau merasa puas dengan keadaan begitu. Penyakit itu bisa disembuhkan dengan jalan menunjukkan kepada si pasien fakta bahwa pengakakanlah, dan bukannya penampilan lahiriah, yang membuat manusia berhak disebut manusia, dan bahwa manusia yang bodoh itu tidak lebih baik dibandingkan binatang; bahkan lebih buruk dari itu sebab binatang masih bisa dimaklumi karena ia tak memiliki nalar.
3.       Kebodohan Fatal
Kebodohan fatal adalah kekurangtahuan manusia kan sutau hal dan dia merasa mengetahui hal itu. Walaupun dia bodoh, dia tidak tahu bahwa dia memang bodoh. Menurut Ath Tusi, penyakit ini adalah penyakit yang hampir tak dapat disembuhkan, tetapi dengan upaya keras dalam bidang matematika barangkali penyakit ini bisa ditekan kefatalannya menjadi kebodohan bersama.
Pandangan al-Ṭūsī secara keseluruhan, ia menganggap bahwa manusia adalah makhluk sosial, maka untuk memperkuat sikap daripada manusia itu sendiri, manusia mesti mencapai sebuah watak yang baik terhadap sesamanya samapi batas sempurna. Kesempurnaan ini disebutnya dengan perdaban. Manusia hidup saling membutuhkan maka sangat mustahil manusia bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
Mengenai kemarahan, al-Ṭūsī menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan. Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidakwajaran kekuatan. al-Ṭūsī telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazālī yang membedakan antara cemburu dengan iri. al-Ṭūsī menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.
Al-Ṭūsī menggolongkan etika menjadi dua bagian: prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan bagian pertama dibagi menjadi tujuh bab. Subjek etika adalah jiwa manusia karena ia merupakan sumber perbuatan baik dan jahat. Jiwa manusia adalah substansi abstrak dari esensi yang melahirkan konsepsi tentang intelligibles. Ia memberikan argument cermat untuk membuktikan eksistensi jiwa, substansialitas, ia bukan raga atau bersifat fisik. Jiwa memahami melalui esensinya dan bertindak melalui alat-alatnya, dan akhirnya jiwa tidak saja di cerap melalui persepsi indrawi mana pun. Jiwa manusia yang disebut jiwa rasional tetap hidup meskipun raga sudah mati. Sesungguhnya raga adalah alat bagi jiwa dan bukan tempat atau ruang jiwa yang dipahami sebagian orang.
Jiwa terbagi menjadi tiga, yakni tumbuhan, hewan, dan manusia, yang masing-masing mempunyai daya. Hanya manusialah yang mempunyai daya rasional. Manusia adalah mahluk yang paling mulia, tahap tertinggi dari keseluruhan tahap perjalanan jiwa dari jiwa tumbuhan dan hewan. Nabi dan wali adalah manusia yang paling mulia. Manusia secara potensial bisa mencapai kesempurnaan atau jatuh dalam kehinaan. Ada dua jenis kesempurnaan, dari segi pengetahuan maupun perbuatan. Tujuan akhir pengetahuan adalah kedamain dan kepastian dalam tauhid. Tujuan puncak perbuatan manusia adalah mencapai keselarasan dan keseimbangan dalam urusan individu dan komunal., kesempurnaan dalam pengetahuan dan perbuatan secara dialektis saling terkait dan bergantung satu sama lain. Setelah menguasai dua sisi ini, manusia menjadi khalifah. Al-Tusi melancarkan serangan sengit atas orang-orang yang tujuan hidupnya adalah untuk mengejar kenikmatan material, dengan memfungsikan daya berfikir dan akal untuk memfasilitasi kenikmatan fisik itu. Mereka menundukan jiwa yang luhur.
Namun, dari sudut pandang lain, jiwa dibagi menjadi tiga, yaitu jiwa binatang yang merupakaan jiwa terendah., jiwa biadab yang merupakan maqam, jiwa malaikat yang merupakan jiwa terluhur. Jiwa ini terdapat pada diri manusia secara serentak. Al-Ṭūsī menyinggung tiga jiwa ini sesuai tiga istilah dalam al-Qur’ān. Pertama, sesuai dengan Nafsu amarah atau jiwa syahwat, kedua, sesuai dengan nafsu lawwāmah atau jiwa yang pencela, dan ketiga, sesuai dengan nafsu muṭmainnah atau jiwa yang tenang.  Jiwa syahwat mendorong dan mendesak pada pemenuhan keinginan yang bersifat seksualitas, terutama pada jiwa pencela, setelah menyembunyikan sesuatu yang tak terelakan sebagai kekurangan manusia, mereka mencela melalui teguran, perbuatan itu sebagai sesuatu yang tak bernilai dimata kebijaksanaan, dan mengenai jiwa yang tenang, ia tidak menghasilkan apa-apa, kecuali amalan yang elok dan perbuatan yang baik.[19]
Risalah tentang etika, ia membahas tujuan-tujuan cabang filsafat ini. Ia percaya bahwa akhlak individui dapat diubah, bahwa akhlak manusia dapat berubah melalui pendidikan. Namun, tindakan untuk mengubah akhlak seseorang adalah suatu seni, dan dalam pengertian itulah ia merupakan seni paling mulia. Pada dasarnya ada tiga jenis kebajikan yang dapat dicapai manusia, yang masing-masing berhubungan dengan satu dan tiga jiwa manuisa diatas.[20]
Mengenai kecenderungan moral manusia, al-Ṭūsī menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”. Dia menyimpulkan bahwa kesejahteraan manusia membutuhkan dua hal.  Pertama, pengaturan dunia materi oleh akal, melalui seni dan ketrampilan. Kedua, ia membutuhkan pendidikan, disiplin dan kepemimpinan. Menurutnya manusia pada awal penciptaanya diadaptasikan dengan dua keadaan ini, yaitu fisik dan intelektual, sehingga diperlukan para nabi dan filsuf, imam, pembimbing, tutor dan instruktu untuk terus membimbing manusia menuju kebaikan.

F.      KESIMPULAN
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī adalah seorang filsuf yang multi talenta, dia menguasai ilmu pengetahuan di berbaga bidang, dia adalah seorang fakih, astronom dan astrolog, ahli matematika, dan tentunya menguasai bidang politik. Sebagaimana kita ketahui bahwa dia hidup dalam masa peralihan kekuasaan antara Ismā’iliyah menuju dinasti Mongol. Hal ini secara tidak langsung sangat mempengaruhi pemikirannya .
Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī adalah seorang yang berdamai dengan pemerintahan yang ada, khususnya yang cenderung pada pandangan Syī’ah, terutama Imamiyah. Walaupun terkesan seorang praktisi, tetapi kemampuannya di dalam segala hal, termasuk pemerintahan tidak diragukan lagi. Kecenderungan akan pandangan-pandangan Syī’ah lebih berkembang pada masa Dinasti Mongol, karena kecakapan mereka dalam pemerintahan. Hal ini menjadikannya sebagai seorang pemikir politik idealis yang telah berhasil mensintesiskan pandangan banyak pemikir sebelumnya, seperti Aristoteles, Neo-Platonis, Al Farābī dan juga Ibn Sīnā.
Ada dua karya utama  al-Ṭūsī dalam bidang etika, Akhlāqi Muhtaṣāmi (Muhtashamean Ethics) dan Akhlāqi Naṣīri (The Nasirean Ethics), keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Yang pertama diangkat dari aturan Ismā’ili dari Quhistan. Naṣīr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān yang mempersiapkan garis besar dan menyetujui isi tetapi meminta  al-Ṭūsī mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik. Disamping itu, kitab ‘Adāb al-Muta’allimīn juga merupakan salah satu karyanya di bidang etika. Menurutnya, karya ini sangat perlu karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal baginya etika adalah prasyarat keberhasilan belajar.
Mengenai kecenderungan moral manusia, al-Ṭūsī menyatakan bahwa sebagian manusia menurut fitrahnya baik, sedangkan yang lain baik menurut hukum agama”.


DAFAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Amin Abdullah, M. , Antara Al Ghazali Dan Kant Falsafat Etika Islam, Bandung: Mizan, 2002.
Bertens, K. ,Etika,  (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Hossein Nasr, Seyyed dan Olifer Leaman, Ensiklopedi tematis falsafat Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2003.
Magnis-suseno, Franz, Etik,  Dasar Masalah-Masalah Pokok Falsafat Moral, Jogjakarta Kanisius, 2001.
Mustofa, A., Falsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004.
Nasution, Hasyimsyah,  Falsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
S. Suriasumantri, Jujun, Falsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 2005.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Falsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Syarif, M.M. ,  History of Muslim Philosophy, Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963.

 

Referensi Website :

www.sriulyaninasution.wordpress.com





[1]   Franz Magnis-suseno, Etik,  Dasar Masalah-Masalah Pokok Falsafat Moral, (Jogjakarta Kanisius, 2001), h. 15.
[2] Jujun S. Suriasumantri, Falsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 2005), h. 246.
[3] M. Amin Abdullah, Antara Al Ghazali Dan Kant Falsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), h.15.
[4]K. Bertens Etika,  (Jakarta. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 4.
[5] K. Bertens, Etika, h.235.
[6] K. Bertens, Etika, h. 15-16.
[7] http://wikipedia.com  ,etika islam,  diakses pada tanggal 16/16/20014, pukul9:26 WIB.
[8] A. Mustofa, Falsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hlm. 311
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Falsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2009),  hlm. 246
[10] Seyyedd Hossein Nasr dan Olifer Leaman, Ensiklopedi tematis falsafat Islam, (Bandung: Mizan Pustaka, 2003),h . 768.
[11] M.M. Syarif,  History of Muslim Philosophy, (Wisbaden: Otto Horossowitz, 1963), h. 236.
[12] Hasyimsyah Nasution,  Falsafat Islam,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h.130.
[13] Hasyimsyah Nasution,  Falsafat Islam,h.171.

[14] Sri Mulyani Nasution, Khawajah Nasiruddin Al-Tusi (Naṣīr Al-Dīn Al-Ṭūsī), www.sriulyaninasution.wordpress.com, diakses pada tanggal 23/06/201, pukul 10:7 WIB.

[15] Abduh, “Nashiruddin al-Tushi, tokoh sosio-politik”,  www.damaiduniaku.blogspot.com , diakses pada tanggal 23/06/2014, pukul 10:24 WIB.
[16] A. Mustofa., Filsafat Islam, h. 315.
[17] M.M. Syarif, History of Muslim Philosophy,h.214.
[18] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, h. 253-254.
[19] Seyyed Hossein Nasr dan Olifer Leaman, Ensiklopedi tematis filsafat Islam. h. 817.
[20] Seyyed Hossein Nasr dan Olifer Leaman, Ensiklopedi tematis filsafat Islam. h. 818

Tidak ada komentar:

Posting Komentar