BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Para pengaji
dari kalangan failasuf dan teolog berpendapat dan setuju akan adanya
kebangkitan kembali setelah mati, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat
mengenai apa yang bangkit, apakah jiwa ataukah jasad yang
akan dibangkitan. Teolog
dan ahli fiqh berpendapat bahwa kebangkitan hanya terjadi pada
kebangkitan jasmani, mengingat bahwa jiwa merupakan benda
lembut yang mengaliri badan. Sementara itu mayoritas failasuf berpendapat bahwa
kebangkitan terjadi pada jiwa. Di sisi lain, teosof dan para syaikh ahli
makrifat berpendapat bahwa kebangkitan terjadi pada jasmani dan jiwa sekaligus.[1] Perdebatan tersebut muncul disebabkan karena banyaknya
penjelasan mengenai Hari Kebangkitan, Hari Pembalasan di Hari Akhir di dalam al-Qur’ān[2]
dan Ḥadīts, sehingga memunculkan persoalan
mengenai kebangkitan jiwa atau jasad.
Menurut al-Fārābī jiwa-jiwa yang tidak mengalami kesempurnaan akan tetap
pada tingkatnya sebagai materi bahkan dapat hancur bersama kehancuran materi
tersebut, al-Fārābī mengatakan bahwa:
“……..sesungguhnya jiwa mereka akan tetap
dan tidak mengalami penyempurnaan dan untuk tetap ada membutuhkan materi
sebagai keharusan, dan tidak tergambarkan padanya (orang-orang Jahiliyyah) gambaran dari
objek-objek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur yang selama ini
menjadi dasar fundamen keberadaan mereka maka hancur pulalah daya-daya yang
selama ini merupakan personalitas dirinya yang menjadikan dirinya sebagai
sebuah identitas. Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa. Dan jika materi
ini hancur maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma
materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya…hingga berubah menjadi materi
padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya”.[3]
Menurut
al-Fārābī, pada
saat jiwa manusia mencapai tingkat acquired
intellect (pencapaian tingkat intelek tertinggi), maka dia adalah abadi
atau kekal dalam arti bahwa dia mampu berada tanpa badan jasmani. Bahkan ketika
belum terpisah dari raga pun, jiwa mampu merasakan kebahagiaan yang tertinggi
dengan jiwa yang terus menerus hidup tak terbatas. Namun hanya acquired intellect inilah yang abadi,
karena mereka tidak terdiri dari apa-apa kecuali pemikiran mereka. Bentuk
keabadian seperti ini adalah benar-benar tanpa disertai dengan ingatan dan
pengetahuan tentang individu-individu. Dia terbebas dari kesan-kesan indrawi
yang biasa melekat pada manusia, dan dia tidak dapat dipengaruhi oleh mereka,
dan dengan demikian maka dalam kehidupan yang akan datang, jiwa tidak dapat
menahan kesan dan ingatan apapun dari
kehidupan yang sekarang ini untuk kehidupan yang akan datang.[4]
Ibn
Sīnā kemudian memerluas pemikiran al-Fārābī tentang active intellect dalam
hal-hal yang sangat pokok bahkan tentang keabadian jiwa. Menurut Ibn
Sīnā baik materi
maupun bentuk merupakan pancaran dari active
intellect. Ini bukan karena kemurahan Tuhan, akan tetapi merupakan
implikasi wajib dari hakikat active
intellect. Dengan konteks pemikiran inilah, lalu dia menunjukkan keabadian jiwa manusia. Menurutnya, jiwa manusia adalah substansi yang tidak berbadan
jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Ketika mati, jiwa tidak terpecah dan hancur, karena jiwa
diproduksi oleh active intellect.
Oleh karena itu, kematian jasad tidak akan menyebabkan kematian jiwa.[5]
Dan ketika dibangkitkan, jiwa akan dibangkitkan tanpa jasad, dia menolak
adanya perpindahan jiwa, karena tidak mungkin jiwa akan berpindah kepada wadah
yang lain yang bagaimanapun juga sudah pernah dihuni oleh jiwa-jiwa yang lain.
Ia beranggapan akhirat adalah alam ruhani, maka menjadi satu kemustahilan bagi
jasad yang bersifat materi untuk memasukinya. Setelah mati, jiwa-jiwa yang
hidup terus dibentuk secara individual dan mereka dapat dibeda-bedakan
berdasarkan hubungan mereka sebelumnya dengan susunan materi yang sangat
berbeda serta pola tingkah laku yang berbeda pula.[6]
Pokok perbedaan pendapat antara al-Fārābī dan Ibn Sīnā dalam keabadian jiwa ini adalah,
bagi al-Fārābī keabadian
diperoleh ketika jiwa manusia mencapai tingkat acquired intellect dan active
intellect. Tetapi Ibn Sīnā berpendapat bahwa jiwa manusia abadi karena memang ia
terpancar dari active intellect,
tanpa memandang proses menuju kesempurnaan yang dicapai oleh jiwa. Menurut Ibn
Sīnā jiwa manusia
adalah unit tersendiri dan memunyai wujud lepas dari badan. Setelah mati, yang
dihidupkan kembali adalah jiwa sedangkan badan yang telah mati dan hancur tidak
akan dihidupkan kembali. Jiwa manusia yang telah mencapai kesempurnaan akan
lepas dari pengaruh jasmaniah dan akan mendapatkan kesenangan kelak di akhirat.
Sedangkan jiwa yang terikat dengan jasmaniah dan terpengaruh oleh hawa nafsu,
maka jiwa tersebut akan merasakan penyesalan dan kesengsaraan kelak di akhirat.[7]
Puncak
benturan tersebut terjadi ketika secara terbuka al-Ghazālī menyerang keyakinan
para failasuf
lewat bukunya Tahāfut al-Falāsifāh dan Ibn Rusyd (520-595 H.) menyerang balik serangan
al-Ghazālī ini dengan bukunya Tahāfut al-Tahāfūt. Di antara persoalan
mendasar yang menjadi pusat serangan al-Ghazālī adalah persoalan keyakinan para
failasuf
tentang kebangkitan ruhaniah. Pandangan ini terutama berdasarkan pandangan Ibn
Sīnā dan al-Fārābī. Bagi al-Ghazālī keyakinan yang seperti ini sangat
bertentangan dengan prinsip al-Qur’ān
yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya jiwa akan
tetapi juga meliputi fisik. Pandangan eskatologi para failasuf ini menegasikan
kekuasaan Tuhan, bukankah Tuhan itu Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk
sekedar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru?[8]
Al-Ghazālī berpendapat bahwa setelah kematian, jiwa dan badan
akan dibangkitkan di Hari Akhir. Jasad manusia dibangkitkan dan disatukan
kembali dengan jiwa untuk merasakan adzab neraka ataupun nikmat surgawi secara
jasmani dan rohani.[9]
Al-Ghazālī mengufurkan pandangan yang menganggap bahwa
kebangkitan hanyalah jiwa saja pada Hari Akhirat.[10]
Al-Ghazālī mengkritik para failasuf dengan mengatakan,
Dan lagi pula, kita katakan kepada para failasuf:
menurut prinsip-prinsip anda, bukannya tidak masuk akal bahwa di sana ada unit-unit atau kesatuan-kesatuan yang aktual,
yang dibedakan secara kualitatif, yang jumlahnya tidak terbatas; aku cuma berpikir tentang jiwa-jiwa manusia yang terlepas dari badannya setelah
kematian. Karena itu
adalah kenyataan yang tidak dapat disebut genap juga tidak
dapat disebut ganjil. Bagaimana anda akan menolak orang yang menguatkan pendapat bahwa hal ini tidak masuk
akal dengan cara yang sama seperti anda berpendapat bahwa hubungan antara kemauan yang abadi serta penciptaan
yang bersifat temporal merupakan hal-hal yang benar-benar tidak masuk akal?
Teori tentang jiwa seperti inilah yang diterima oleh Ibn Sīnā, dan teori ini mungkin adalah dari Aristoteles.”[11]
Sejarah kemudian mencatat efek dari konflik ini yang cukup
signifikan. Serangan
al-Ghazālī hampir sempurna sehingga orang takut berfalsafat dan khawatir dihukum kafir.[12]
Konflik tersebut kemudian memunculkan fatwa-fatwa ekstrem terhadap para failasuf seperti yang dilakukan Ibn Ṣalāḥ.[13]
Paling tidak efek yang terasa di kemudian adalah terciptanya jurang yang cukup dalam
antara para teolog
dengan para failasuf di
samping pengaruh al-Ghazālī yang semakin dominan di dunia Islam.
Namun demikian sekalipun serangan tehadap falsafat sangat
luar biasa terjadi, pada sebagian wilayah Islam, falsafat terus hidup bahkan
melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Ibn Rusyd, Suhrawardī yang mendirikan aliran Falsafat Isyrāqiyyah
dan falsafat pada akhirnya melahirkan failasuf besar yaitu Mullā Ṣadrā
yang mendirikan aliran falsafat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah.[14]
Ibn Rusyd menanggapi kritikan-kritikan yang
dilontarkan oleh al-Ghazālī. Ia sependapat dengan al-Ghazālī bahwa
pandangan Ibn Sīnā yang cenderung berpegang pada pemikiran Aristoteles adalah salah. Ibn
Rusyd menjelaskan bahwa teori Ibn Sīnā adalah berbeda dari teori orang-orang kuno, maka di
dalam menjawab terhadap sanggahan al-Ghazālī, dia tidak memertahankan teori itu, tetapi hanya
menerangkan berbagai pendapat failasuf tentang hakikat dari ketidakterbatasan jiwa. Ia menjelaskan bahwa yang
dibangkitkan ketika hari pembangkitan adalah jiwa saja. Maka Ibn Rusyd
berpendapat bahwa seluruh jiwa menjadi satu setelah kematian nanti.[15]
Ketika berbicara tentang bagaimana
menyajikan masalah ini kepada orang awam, Ibn Rusyd mengusulkan penggunaan
analogi antara tidur dan kematian. Pada saat kita tidur, meskipun tubuh kita
tidak bisa merasakan apa-apa, tetapi jiwa kita tetap hidup. Ketika bermimpi
saat tidur, terkadang kita merasakan kesenangan ataupun kesengsaraan yang tiada
tara. Begitu juga yang terjadi setelah kematian kelak (akhirat), kebangkitan dan
pembalasan dilakukan secara ruhaniah dan hanya dirasakan oleh jiwa. Oleh karena
itu, hari kebangkitan dan pembalasan lebih mudah dipahami oleh orang awam
dengan penggambaran jasmaniah.[16]
Suhrawardī mendukung teori
kebangkitan bersifat ruhaniah atau spiritual. Ia menjelaskan mengenai jiwa
dengan konsep illuminasinya. Kondisi jiwa tergantung pada tingkat kemurnian dan
pengetahuan yang telah ia capai dalam kehidupan. Suhrawardī kemudian membagi
tingkatan jiwa menjadi tiga kategori.[17]
Pertama, jiwa yang mencapai kemurnian dalam kehidupan. Jiwa ini akan menuju alam arketip untuk merasakan
kenikmatan-kenikmatan indrawi yang berbeda dari kenikmatan dunia. Kedua, jiwa
yang telah digelapkan oleh kejahatan dan kebodohan. Jiwa ini akan menuju alam labirin kosmik yang penuh
dengan keterikatan dan ketergantungan, tempat kekuatan jahat, gelap dan jin.
Ketiga, jiwa yang telah mencapai kesucian dan illuminasi pada waktu hidupnya
(para wali). Jiwa ini akan melewati alam malakut untuk mendapatkan kebahagiaan
transenden yang berasal dari kedekatan dengan Cahaya Tertinggi (Tuhan). Namun,
konsep jiwa setelah kematian Suhrawardī hanya menjelaskan tingkatan jiwa
tertinggi, yaitu kebersatuan dengan Cahaya Tertinggi. Ia tidak menjelaskan mengenai
tahapan kehidupan jiwa setelah kematian badan.
Tak
ada satu pun failasuf yang menjelaskan konsep eskatologi dan nasib jiwa setelah
mati begitu terperinci sebagaimana Mullā Ṣadrā. Buku keempatnya Asfār, yang sebagian besar berpijak
kepada Ibn ‘Arabī, merupakan kajian terperinci dan terluas dalam falsafat Islam
tentang perjalanan diri atau jiwa dari kelahiran hingga pertemuan akhirnya
dengan Tuhan.[18]
Mullā Ṣadrā lebih maju dalam menjawab permasalahan jiwa setelah mati
dibandingkan dengan failasuf-failasuf sebelumnya. Ia menjawab dan menengahi
perdebatan tersebut yang di- dasari oleh
argumentasi rasional dan berkesesuaian dengan doktrin teologis dan hasil
intuitif irfani, sehingga pandangan eskatologi yang digagas Mullā Ṣadrā
mampu memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang terjadi.
Menurut
Mullā Ṣadrā, kematian tidak berarti lenyapnya kehidupan. Kehidupan akan terus
berlangsung karena kematian hanyalah proses alami pemisah antara kehidupan pada
tingkat duniawi dengan kehidupan pada tingkat akhirat. Dan di tahap inilah jiwa
tidak membutuhkan lagi raga sebagai pakaiannya dan mencampakkannya untuk
melangkah ke tahapan selanjutnya yang lebih tinggi dan nyata yaitu alam barzakh, namun alam ini
berada di bawah level alam akhirat.
Mullā
Ṣadrā mendukung
pendapat yang mengatakan bahwa kebangkitan adalah ruhaniah seperti halnya Ibn
Sīnā, Ibn Rusyd dan failasuf lainnya. Ia menolak pendapat Ibn
Sīnā yang mendukung
pendapat al-Fārābī bahwa jiwa setelah mati bebas
dari alur reinkarnasi melekat pada badan-badan astralogis. Mullā
Ṣadrā berpendapat
bahwa badan-badan langit pun memiliki jiwa tersendiri. Ia juga menolak
pandangan kaum teologis atomis yang menyatakan bahwa jasad yang telah mati dan
hancur meninggalkan atom-atom di dunia yang nanti
disatukan dengan kehendak
Tuhan. Namun, ia juga menolak bahwa kebangkitan jiwa tak berjasad.[19]
Mullā
Ṣadrā mendukung teori
evolusi perkembangan makhluk hidup dari kurang intens ke yang lebih intens,
seperti perkembangan manusia
dari embrio hingga menjadi manusia yang sempurna. Wujud kita sewaktu bayi
berbeda ketika dewasa. Akan tetapi, orang-orang masih dapat mengenali identitas
individu dengan perubahan-perubahan tersebut. Dengan kata lain, identitas
terjadi bukan dari bentuk fisik, akan tetapi jiwalah yang bertugas memertahankan
identitas tiap individu. Begitu juga setelah mati, jiwa akan tetap hidup
membentuk badan yang lebih intens lagi dari badan ketika di dunia, jauh dari
ruang dan waktu sampai akhirnya bersatu dengan Tuhan.[20]
Ia berpendapat sebagai berikut,
Jiwa manusia memunyai beberapa derajat dan maqam, dari
awal pembangkitan hingga akhir tujuannya; dan ia memiliki keadaan-keadaan
esensial dan modus-modus keberadan tertentu. Pertama, dalam keadaan
keterhubungan jiwa dan badan, jiwa merupakan substansi material. Kemudian jiwa
menjadi lebih intens secara bergradasi dan berkembang melalui tahap-tahap yang
berbeda dari aturan alaminya hingga ia hidup dengan dirinya sendiri dan
bergerak dari dunia ini ke dunia lain, hingga kembali kepada Tuhannya.”[21]
Mullā
Ṣadrā menjawab permasalahan ini
menggunakan teori transendennya. Hakikat manusia pada
intinya adalah transenden dan non materi. Hakikat transenden ini dinamakan
sebagai jiwa, berbagai ketentuan materi seperti kematian atau kehancuran tidak
berlaku baginya. Karenanya kematian tidak lebih bermakna lepasnya ruh dan jiwa
dari kurungan raga dan berpindah pada alam yang lain, dan kebangkitan tidaklah
bermakna kehidupan kembali jiwa dan ruh, akan tetapi keterikatan ruh dan jiwa
pada raga yang baru kembali.
Jiwa
diciptakan bersama raga, tetapi kemudian menjadi kekal dan spiritual melalui ruh, atau menggunakan terminologinya
sendiri, nafs atau jiwa adalah jismāniyyah al-ḥudūts wa rūḥāniyyah al-baqā’(jasmani itu baru dan ruhani itu abadi). Pendakian
vertikalnya melalui gerak trans-substansial ternyata tidak berhenti di dunia
kini, tetapi terus berlanjut hingga setelah mati, karena jiwa mengarungi
berbagai alam antara sesuai dengan amalan yang telah dilakukan dan modus
wujudnya di dunia kini.[22]
Pandangan ini tentu menjadi pandangan yang sangat mendasar mengingat
kebangkitan hanya bisa terjadi jika jiwa tetap ada. Untuk menjelaskan persoalan
ini Mullā
Ṣadrā terlebih dahulu menjelaskan
keterikatan jiwa dengan raga. Mullā Ṣadrā menolak
pandangan yang menyatakan bahwa kebersamaan antara jiwa dengan raga hanyalah
kebersamaan kebetulan dan di antara keduanya tidak terjadi ikatan fundamental (dzātiyyah).
Baginya ikatan di antara keduanya adalah ikatan keharusan (luzūmiyyāh)
bukan kebersamaan kesetaraan dan bukan pula kebersamaan dua akibat untuk satu
sebab dalam wujud. Keterikatan di antara
keduanya tidak lain kecuali kebersamaan keharusan secara utuh seperti antara
materi dengan forma. Bagi Mullā Ṣadrā raga membutuhkan jiwa tidak dalam
kekhususannya akan tetapi secara mutlak dalam aktualisasinya, sedangkan jiwa
membutuhkan raga bukan dari segi hakikat mutlak rasional akan tetapi dari segi
keberadaan personalitas dan identitasnya serta kebaharuan kedirian jiwa. Dengan
penjelasannya tersebut Mullā Ṣadrā mendudukkan posisi raga hanyalah
sebagai reseptif semata. Ketergantungan raga menurutnya adalah ketergantungan
mutlak yang tidak akan lenyap selama adanya jiwa bersamanya, dan tidak akan ada
dengan ketiadaan jiwa.[23]
Dalam perdebatan sengit tentang kebangkitan setelah
mati itu bersifat spiritual ataukah bersifat jasmani, Mullā
Ṣadrā secara
kategoris cenderung kepada kebangkitan jasmani walaupun ia menyatakan bahwa,
setelah mati, individu dikaruniai raga halus (al-jism
al-laṭīf ) yang dalam banyak hal sesuai dengan gugusan bintang
Paracelsus. Karena itu, setelah mati, ia bukan hanya jiwa yang tidak beraga,
melainkan memunyai raga yang teranyam dari perbuatan-perbuatan yang telah
diamalkan di dunia kini. Jiwa juga memasuki dunia yang sesuai dengan sifat
batinnya.[24]
Jasad yang dibangkitkan setelah mati bukanlah jasad
yang semula di dunia telah hancur, akan tetapi jasad baru yang direfleksikan
oleh jiwa. Mullā Ṣadrā menyebutkan ‘ālam al-mitsāl adalah kehidupan jiwa setelah mati dan membentuk
jasad baru. Ia juga menyebutkan bahwa jiwa adalah juga sebagai akal aktif. Sebagai
akal aktif, ia dapat memroyeksikan jasad baru sesuai tabiat atau kebiasaan
psikologis ketika di dunia. Mereka yang tidak dapat lepas dari keduniawian dan
menuruti hawa nafsunya, maka akal aktif memandang dirinya sebagai binatang.
Tabiat psikologisnya memroyeksikan dirinya sebagai binatang, seperti kera dan babi, kemudian muncul badan-badan nyata. Sebaliknya, mereka
yang bebas dari hal-hal duniawi dan bersifat bendawi, akal aktif akan memandang
dirinya sebagai wujud murni, tabiat psikologisnya memroyeksikan wujud nyata
sebagai wujud murni. Proses pembentukan ini, seperti telah disebutkan, terjadi di alam imajinasi (‘ālam
al-mitsāl)
sehingga
badan-badan yang terbentuk bukanlah badan-badan materi. Inilah yang ada di
dalam al-Qur’ān yang menyebutkan adanya orang-orang yang diubah menjadi kera
dan babi yang disebabkan oleh perbuatannya.[25]
Jiwa-jiwa akan merasakan kesengsaraan dan penyesalan
atas perbuatannya sewaktu di dunia karena terikat materi. Sedangkan jiwa-jiwa
yang telah menjadi wujud murni, yang tidak dikuasai oleh materi akan merasakan
kenikmatan-kenikmatan yang melebihi kenikmatan dunia. Itulah yang dimaksud
dengan kehidupan surgawi. Surga diartikan sebagai memberikan apa saja keinginan
kita.[26]
Seperti yang disebutkan bahwa
jiwa juga merupakan akal aktif, maka sebagai akal aktif, keinginan tertinggi
atau puncak keinginan adalah keinginan untuk bertemu Tuhan bahkan menyatu denganNya, sebagaimana tujuan puncak para sufi yang tidak dikuasai oleh materi untuk
mencapai kesatuan dengan Tuhan. Itulah tingkatan surga tertinggi, yakni surga
para nabi. Hal ini dikarenakan perbuatan mereka dekat dengan sifat-sifat Tuhan.
Begitu juga jiwa manusia akan terus menaiki tangga-tangga surga dari
terendah hingga mencapai puncak surga
tertinggi, bersanding dengan para nabi untuk bersatu dengan Tuhan. Sebaliknya,
jiwa yang yang dikuasai oleh materi akan melewati tahap api penyucian. Di sinilah jiwa-jiwa akan dibakar sehingga jiwa merasakan kepedihan dan
penderitaan yang tiada tara. Penyucian ini berlangsung hingga hilang sifat
kebinatangannya dan memroyeksikan fisik baru yang murni dan kemudian menaiki tingkatan-tingkatan surga sampai puncak tertinggi yakni keinginan menyatu dengan Tuhan. Inilah
yang dimaksud proses evaluasi secara terus menerus tanpa henti.
Secara singkat, alur gerak
substansial evolusioner atau al-ḥarākah al-jauhariyyah dimulai dari Tuhan sebagai jiwa universal, kemudian embrio, janin, bayi,
balita, remaja, dewasa, tua, mati, fisik tanpa materi dalam alam imajinasi, tingkatan-tingkatan surga dan kembali menyatu dengan Jiwa Universal.[27]
DAFTAR
PUSTAKA
Referensi Buku-buku
;
Aziz Dahlan, Abdul. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan, 2003.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Penerbit
Gramedia Pustaka Utama, 2005.
al-Fārābī. Kitab Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fadīlah. Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.
Hanafi. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Hossein Nasr, Seyyed. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Mujahid.
Yogyakarta:
IRCiSOD, 2006.
---------- dan Oliver
Leaman (ed.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku kedua),terj.
Tim Mizan. Bandung: Penerbit Mizan,
1996.
Labib, Muhsin. Para
Filosoff Sebelum dan Sesudah Mullā Ṣadrā.
Jakarta: al-Huda, 2005.
Leaman, Oliver. Pengantar
Filsafat Islam (Abad Pertengahan), terj. M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali, 1989.
Madjid, Nurcholish. Khazanah
Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Muntahari, Murtadha. Filsafat Ḥikmah: Pengantar Pemikiran Ṣadrā, terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan, 2002.
Nasution, Harun. Falsafat
dan Mistisime dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2010
Nazir, Moh. Metode Penelitian.
Bandung: Penerbit Ghalia Indonesia, 1988.
Nur,
Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Ṣadrā.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Rahman, Fazlur. Falsafat Mullā Ṣadrā, terj. Munir A.
Muin. Bandung: Penerbit Pustaka, 2000.
Ṣadrā, Mullā. Kearifan Puncak,
terj. Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
---------- Teosofi Islam:
Manifestasi-manifestasi Illahi, terj.
Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah, 2005.
Supriyadi,
Dedi. Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktek. Bandung:
Pustaka Setia, 2010.
Sibawaihi. Eskatologi
al-Ghāzālī dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistemologi
Klasik- Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004.
al-Walid,
Kholid. Perjalanan Jiwa menuju Akhirat
: Filsafat Eskatologi Mullā Ṣadrā. Jakarta: Sadra Press, 2012.
Referensi Website ;
Bagir, Haidar, “Pandangan Eskatologi Mullā Ṣadrā
al-Walid, Kholid, “Prinsip-prinsip Eskatology Mullā Ṣadrā”,
[1] Mullā Ṣadrā, Teosofi Islam: Manifestasi-manifestasi Illahi, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), h.123.
[4] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), terj. M. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1989),
h.135.
[8] Haidar Bagir, “Pandangan Eskatologi Mullā Ṣadrā”, www.icasjakarta.wordpress.com, diakses pada hari Senin, 28
April 2014, pukul 23.13.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar
Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
h. 379.
[14] Jalaluddin Rakhmat, “Hikmah
Muta’aliyyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd” dalam Mullā Ṣadrā, Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana
& Dedi Djuniardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. vii.
[17] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Mujahid, (Yogyakarta: IRCiSOD,2006), h. 136.
[18] Seyyed Hossein Nasr, “Mullā Ṣadrā:
Ajaran- Ajarannya ” dalam Seyyed Hossein
Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam (buku kedua),terj. Tim Mizan (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), h. 924.
[20] Fazlur Rahman, Filsafat Mullā Ṣadrā, terj. Munir A. Muin ( Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), h. 337.
[23] Kholid al-Walid, “Prinsip-prinsip Eskatologi Mullā Ṣadrā”, www.kholidal-walid.wordpress.com, diakses pada hari Senin, 21 April 2014 pukul 21.52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar