Halaman

Senin, 11 Mei 2015

eskatologi mulla shadra



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Para pengaji dari kalangan failasuf dan teolog berpendapat dan setuju akan adanya kebangkitan kembali setelah mati, akan tetapi terjadi perbedaan pendapat mengenai apa yang bangkit, apakah jiwa ataukah jasad yang akan dibangkitan. Teolog dan ahli fiqh berpendapat bahwa kebangkitan hanya terjadi pada kebangkitan  jasmani, mengingat bahwa jiwa merupakan benda lembut yang mengaliri badan. Sementara itu mayoritas failasuf berpendapat bahwa kebangkitan terjadi pada jiwa. Di sisi lain, teosof dan para syaikh ahli makrifat berpendapat bahwa kebangkitan terjadi pada jasmani dan jiwa sekaligus.[1] Perdebatan tersebut muncul disebabkan karena banyaknya penjelasan mengenai Hari Kebangkitan, Hari Pembalasan di Hari Akhir di dalam al-Qur’ān[2] dan Ḥadīts, sehingga memunculkan persoalan mengenai kebangkitan jiwa atau jasad.
Menurut al-Fārābī jiwa-jiwa yang tidak mengalami kesempurnaan akan tetap pada tingkatnya sebagai materi bahkan dapat hancur bersama kehancuran materi tersebut, al-Fārābī mengatakan bahwa:
……..sesungguhnya jiwa mereka akan tetap dan tidak mengalami penyempurnaan dan untuk tetap ada membutuhkan materi sebagai keharusan, dan tidak tergambarkan padanya (orang-orang Jahiliyyah) gambaran dari objek-objek intelek pertama sama sekali. Jika materinya hancur yang selama ini menjadi dasar fundamen keberadaan mereka maka hancur pulalah daya-daya yang selama ini merupakan personalitas dirinya yang menjadikan dirinya sebagai sebuah identitas. Tinggallah padanya daya-daya yang tersisa. Dan jika materi ini hancur maka berubahlah dirinya menjadi sesuatu yang lain dengan forma materi tersebut dan berubah dari forma sebelumnya…hingga berubah menjadi materi padat dan tetap sebagai materi padat tersebut sebagai forma akhirnya”.[3]

Menurut al-Fārābī, pada saat jiwa manusia mencapai tingkat acquired intellect (pencapaian tingkat intelek tertinggi), maka dia adalah abadi atau kekal dalam arti bahwa dia mampu berada tanpa badan jasmani. Bahkan ketika belum terpisah dari raga pun, jiwa mampu merasakan kebahagiaan yang tertinggi dengan jiwa yang terus menerus hidup tak terbatas. Namun hanya acquired intellect inilah yang abadi, karena mereka tidak terdiri dari apa-apa kecuali pemikiran mereka. Bentuk keabadian seperti ini adalah benar-benar tanpa disertai dengan ingatan dan pengetahuan tentang individu-individu. Dia terbebas dari kesan-kesan indrawi yang biasa melekat pada manusia, dan dia tidak dapat dipengaruhi oleh mereka, dan dengan demikian maka dalam kehidupan yang akan datang, jiwa tidak dapat menahan kesan dan  ingatan apapun dari kehidupan yang sekarang ini untuk kehidupan yang akan datang.[4]
Ibn Sīnā kemudian memerluas pemikiran al-Fārābī tentang active intellect dalam hal-hal yang sangat pokok bahkan tentang keabadian jiwa. Menurut Ibn Sīnā baik materi maupun bentuk merupakan pancaran dari active intellect. Ini bukan karena kemurahan Tuhan, akan tetapi merupakan implikasi wajib dari hakikat active intellect. Dengan konteks pemikiran inilah, lalu dia menunjukkan keabadian jiwa manusia. Menurutnya, jiwa manusia adalah substansi yang tidak berbadan jasmani dan tidak dapat dibagi-bagi. Ketika mati, jiwa tidak terpecah dan hancur, karena jiwa diproduksi oleh active intellect. Oleh karena itu, kematian jasad tidak akan menyebabkan kematian jiwa.[5] Dan ketika dibangkitkan, jiwa akan dibangkitkan tanpa jasad, dia menolak adanya perpindahan jiwa, karena tidak mungkin jiwa akan berpindah kepada wadah yang lain yang bagaimanapun juga sudah pernah dihuni oleh jiwa-jiwa yang lain. Ia beranggapan akhirat adalah alam ruhani, maka menjadi satu kemustahilan bagi jasad yang bersifat materi untuk memasukinya. Setelah mati, jiwa-jiwa yang hidup terus dibentuk secara individual dan mereka dapat dibeda-bedakan berdasarkan hubungan mereka sebelumnya dengan susunan materi yang sangat berbeda serta pola tingkah laku yang berbeda pula.[6]
Pokok perbedaan pendapat antara al-Fārābī dan Ibn Sīnā dalam keabadian jiwa ini adalah, bagi al-Fārābī keabadian diperoleh ketika jiwa manusia mencapai tingkat acquired intellect dan active intellect. Tetapi Ibn Sīnā berpendapat bahwa jiwa manusia abadi karena memang ia terpancar dari active intellect, tanpa memandang proses menuju kesempurnaan yang dicapai oleh jiwa. Menurut Ibn Sīnā jiwa manusia adalah unit tersendiri dan memunyai wujud lepas dari badan. Setelah mati, yang dihidupkan kembali adalah jiwa sedangkan badan yang telah mati dan hancur tidak akan dihidupkan kembali. Jiwa manusia yang telah mencapai kesempurnaan akan lepas dari pengaruh jasmaniah dan akan mendapatkan kesenangan kelak di akhirat. Sedangkan jiwa yang terikat dengan jasmaniah dan terpengaruh oleh hawa nafsu, maka jiwa tersebut akan merasakan penyesalan dan kesengsaraan kelak di akhirat.[7]
Puncak benturan tersebut terjadi ketika secara terbuka al-Ghazālī menyerang keyakinan para failasuf lewat bukunya Tahāfut al-Falāsifāh dan Ibn Rusyd (520-595 H.) menyerang balik serangan al-Ghazālī ini dengan bukunya Tahāfut al-Tahāfūt. Di antara persoalan mendasar yang menjadi pusat serangan al-Ghazālī adalah persoalan keyakinan para failasuf tentang kebangkitan ruhaniah. Pandangan ini terutama berdasarkan pandangan Ibn Sīnā dan al-Fārābī. Bagi al-Ghazālī keyakinan yang seperti ini sangat bertentangan dengan prinsip al-Qurān yang secara khusus menyebutkan bahwa kebangkitan manusia tidak hanya jiwa akan tetapi juga meliputi fisik. Pandangan eskatologi para failasuf ini menegasikan kekuasaan Tuhan, bukankah Tuhan itu Maha Kuasa atas segala sesuatu termasuk sekedar menampilkan kembali fisik yang telah hancur ataupun mewujudkan yang baru?[8]
Al-Ghazālī berpendapat bahwa setelah kematian, jiwa dan badan akan dibangkitkan di Hari Akhir. Jasad manusia dibangkitkan dan disatukan kembali dengan jiwa untuk merasakan adzab neraka ataupun nikmat surgawi secara jasmani dan rohani.[9] Al-Ghazālī mengufurkan pandangan yang menganggap bahwa kebangkitan hanyalah jiwa saja pada Hari Akhirat.[10] Al-Ghazālī mengkritik para failasuf dengan mengatakan,
Dan lagi pula, kita katakan kepada para failasuf: menurut prinsip-prinsip anda, bukannya tidak masuk akal bahwa di sana ada unit-unit atau kesatuan-kesatuan yang aktual, yang dibedakan secara kualitatif, yang jumlahnya tidak terbatas; aku cuma berpikir tentang jiwa-jiwa manusia yang terlepas dari badannya setelah kematian. Karena itu adalah kenyataan yang tidak dapat disebut genap juga tidak dapat disebut ganjil. Bagaimana anda akan menolak orang yang menguatkan pendapat bahwa hal ini tidak masuk akal dengan cara yang sama seperti anda berpendapat bahwa hubungan antara kemauan yang abadi serta penciptaan yang bersifat temporal merupakan hal-hal yang benar-benar tidak masuk akal? Teori tentang jiwa seperti inilah yang diterima oleh Ibn Sīnā, dan teori ini mungkin adalah dari Aristoteles.”[11]

Sejarah kemudian mencatat efek dari konflik ini yang cukup signifikan. Serangan al-Ghazālī hampir sempurna sehingga orang takut berfalsafat dan khawatir dihukum kafir.[12] Konflik tersebut kemudian memunculkan fatwa-fatwa ekstrem terhadap para failasuf seperti yang dilakukan Ibn Ṣalāḥ.[13] Paling tidak efek yang terasa di kemudian adalah terciptanya jurang yang cukup dalam antara para teolog dengan para failasuf di samping pengaruh  al-Ghazālī yang semakin dominan di dunia Islam.
Namun demikian sekalipun serangan tehadap falsafat sangat luar biasa terjadi, pada sebagian wilayah Islam, falsafat terus hidup bahkan melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Ibn Rusyd, Suhrawardī yang mendirikan aliran Falsafat Isyrāqiyyah dan falsafat pada akhirnya melahirkan failasuf besar yaitu Mullā Ṣadrā yang mendirikan aliran falsafat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyyah.[14]
Ibn Rusyd menanggapi kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh al-Ghazālī. Ia sependapat dengan al-Ghazālī  bahwa pandangan Ibn Sīnā yang cenderung berpegang pada pemikiran Aristoteles adalah salah. Ibn Rusyd menjelaskan bahwa teori Ibn Sīnā adalah berbeda dari teori orang-orang kuno, maka di dalam menjawab terhadap sanggahan al-Ghazālī, dia tidak memertahankan teori itu, tetapi hanya menerangkan berbagai pendapat failasuf tentang hakikat dari ketidakterbatasan jiwa. Ia menjelaskan bahwa yang dibangkitkan ketika hari pembangkitan adalah jiwa saja. Maka Ibn Rusyd berpendapat bahwa seluruh jiwa menjadi satu setelah kematian nanti.[15]
            Ketika berbicara tentang bagaimana menyajikan masalah ini kepada orang awam, Ibn Rusyd mengusulkan penggunaan analogi antara tidur dan kematian. Pada saat kita tidur, meskipun tubuh kita tidak bisa merasakan apa-apa, tetapi jiwa kita tetap hidup. Ketika bermimpi saat tidur, terkadang kita merasakan kesenangan ataupun kesengsaraan yang tiada tara. Begitu juga yang terjadi setelah kematian kelak (akhirat), kebangkitan dan pembalasan dilakukan secara ruhaniah dan hanya dirasakan oleh jiwa. Oleh karena itu, hari kebangkitan dan pembalasan lebih mudah dipahami oleh orang awam dengan penggambaran jasmaniah.[16]
            Suhrawardī mendukung teori kebangkitan bersifat ruhaniah atau spiritual. Ia menjelaskan mengenai jiwa dengan konsep illuminasinya. Kondisi jiwa tergantung pada tingkat kemurnian dan pengetahuan yang telah ia capai dalam kehidupan. Suhrawardī kemudian membagi tingkatan jiwa menjadi tiga kategori.[17] Pertama, jiwa yang mencapai kemurnian dalam kehidupan. Jiwa ini akan menuju alam arketip untuk merasakan kenikmatan-kenikmatan indrawi yang berbeda dari kenikmatan dunia. Kedua, jiwa yang telah digelapkan oleh kejahatan dan kebodohan. Jiwa ini akan menuju alam labirin kosmik yang penuh dengan keterikatan dan ketergantungan, tempat kekuatan jahat, gelap dan jin. Ketiga, jiwa yang telah mencapai kesucian dan illuminasi pada waktu hidupnya (para wali). Jiwa ini akan melewati alam malakut untuk mendapatkan kebahagiaan transenden yang berasal dari kedekatan dengan Cahaya Tertinggi (Tuhan). Namun, konsep jiwa setelah kematian Suhrawardī hanya menjelaskan tingkatan jiwa tertinggi, yaitu kebersatuan dengan Cahaya Tertinggi. Ia tidak menjelaskan mengenai tahapan kehidupan jiwa setelah kematian badan.
Tak ada satu pun failasuf yang menjelaskan konsep eskatologi dan nasib jiwa setelah mati begitu terperinci sebagaimana Mullā Ṣadrā. Buku keempatnya  Asfār, yang sebagian besar berpijak kepada Ibn ‘Arabī, merupakan kajian terperinci dan terluas dalam falsafat Islam tentang perjalanan diri atau jiwa dari kelahiran hingga pertemuan akhirnya dengan Tuhan.[18] Mullā Ṣadrā lebih maju dalam menjawab permasalahan jiwa setelah mati dibandingkan dengan failasuf-failasuf sebelumnya. Ia menjawab dan menengahi perdebatan tersebut yang di- dasari oleh  argumentasi rasional dan berkesesuaian dengan doktrin teologis dan hasil intuitif irfani, sehingga pandangan eskatologi yang digagas Mullā Ṣadrā  mampu memberikan solusi bagi persoalan-persoalan  yang terjadi.
Menurut Mullā Ṣadrā, kematian tidak berarti lenyapnya kehidupan. Kehidupan akan terus berlangsung karena kematian hanyalah proses alami pemisah antara kehidupan pada tingkat duniawi dengan kehidupan pada tingkat akhirat. Dan di tahap inilah jiwa tidak membutuhkan lagi raga sebagai pakaiannya dan mencampakkannya untuk melangkah ke tahapan selanjutnya yang lebih tinggi dan nyata yaitu alam barzakh, namun alam ini berada di bawah level alam akhirat.
Mullā Ṣadrā mendukung pendapat yang mengatakan bahwa kebangkitan adalah ruhaniah seperti halnya Ibn Sīnā, Ibn Rusyd dan failasuf lainnya. Ia menolak pendapat Ibn Sīnā yang mendukung pendapat al-Fārābī bahwa jiwa setelah mati bebas dari alur reinkarnasi melekat pada badan-badan astralogis. Mullā Ṣadrā berpendapat bahwa badan-badan langit pun memiliki jiwa tersendiri. Ia juga menolak pandangan kaum teologis atomis yang menyatakan bahwa jasad yang telah mati dan hancur meninggalkan atom-atom di dunia yang nanti disatukan dengan kehendak Tuhan. Namun, ia juga menolak bahwa kebangkitan jiwa tak berjasad.[19] Mullā Ṣadrā mendukung teori evolusi perkembangan makhluk hidup dari kurang intens ke yang lebih intens, seperti perkembangan manusia dari embrio hingga menjadi manusia yang sempurna. Wujud kita sewaktu bayi berbeda ketika dewasa. Akan tetapi, orang-orang masih dapat mengenali identitas individu dengan perubahan-perubahan tersebut. Dengan kata lain, identitas terjadi bukan dari bentuk fisik, akan tetapi jiwalah yang bertugas memertahankan identitas tiap individu. Begitu juga setelah mati, jiwa akan tetap hidup membentuk badan yang lebih intens lagi dari badan ketika di dunia, jauh dari ruang dan waktu sampai akhirnya bersatu dengan Tuhan.[20] Ia berpendapat sebagai berikut,
Jiwa manusia memunyai beberapa derajat dan maqam, dari awal pembangkitan hingga akhir tujuannya; dan ia memiliki keadaan-keadaan esensial dan modus-modus keberadan tertentu. Pertama, dalam keadaan keterhubungan jiwa dan badan, jiwa merupakan substansi material. Kemudian jiwa menjadi lebih intens secara bergradasi dan berkembang melalui tahap-tahap yang berbeda dari aturan alaminya hingga ia hidup dengan dirinya sendiri dan bergerak dari dunia ini ke dunia lain, hingga kembali kepada Tuhannya.”[21]

Mullā Ṣadrā menjawab permasalahan ini menggunakan teori transendennya. Hakikat manusia pada intinya adalah transenden dan non materi. Hakikat transenden ini dinamakan sebagai jiwa, berbagai ketentuan materi seperti kematian atau kehancuran tidak berlaku baginya. Karenanya kematian tidak lebih bermakna lepasnya ruh dan jiwa dari kurungan raga dan berpindah pada alam yang lain, dan kebangkitan tidaklah bermakna kehidupan kembali jiwa dan ruh, akan tetapi keterikatan ruh dan jiwa pada raga yang baru kembali.
 Jiwa diciptakan bersama raga, tetapi kemudian menjadi kekal dan spiritual  melalui ruh, atau menggunakan terminologinya sendiri, nafs atau jiwa adalah jismāniyyah al-ḥudūts wa rūḥāniyyah al-baqā’(jasmani itu baru dan ruhani itu abadi). Pendakian vertikalnya melalui gerak trans-substansial ternyata tidak berhenti di dunia kini, tetapi terus berlanjut hingga setelah mati, karena jiwa mengarungi berbagai alam antara sesuai dengan amalan yang telah dilakukan dan modus wujudnya di dunia kini.[22]
Pandangan ini tentu menjadi pandangan yang sangat mendasar mengingat kebangkitan hanya bisa terjadi jika jiwa tetap ada. Untuk menjelaskan persoalan ini Mullā Ṣadrā terlebih dahulu menjelaskan keterikatan jiwa dengan raga. Mullā Ṣadrā menolak pandangan yang menyatakan bahwa kebersamaan antara jiwa dengan raga hanyalah kebersamaan kebetulan dan di antara keduanya tidak terjadi ikatan fundamental (dzātiyyah). Baginya ikatan di antara keduanya adalah ikatan keharusan (luzūmiyyāh) bukan kebersamaan kesetaraan dan bukan pula kebersamaan dua akibat untuk satu sebab dalam wujud. Keterikatan di antara keduanya tidak lain kecuali kebersamaan keharusan secara utuh seperti antara materi dengan forma. Bagi Mullā Ṣadrā raga membutuhkan jiwa tidak dalam kekhususannya akan tetapi secara mutlak dalam aktualisasinya, sedangkan jiwa membutuhkan raga bukan dari segi hakikat mutlak rasional akan tetapi dari segi keberadaan personalitas dan identitasnya serta kebaharuan kedirian jiwa. Dengan penjelasannya tersebut Mullā Ṣadrā mendudukkan posisi raga hanyalah sebagai reseptif semata. Ketergantungan raga menurutnya adalah ketergantungan mutlak yang tidak akan lenyap selama adanya jiwa bersamanya, dan tidak akan ada dengan ketiadaan jiwa.[23]
Dalam perdebatan sengit tentang kebangkitan setelah mati itu bersifat spiritual ataukah bersifat jasmani, Mullā Ṣadrā secara kategoris cenderung kepada kebangkitan jasmani walaupun ia menyatakan bahwa, setelah mati, individu dikaruniai raga halus (al-jism al-laṭīf ) yang dalam banyak hal sesuai dengan gugusan bintang Paracelsus. Karena itu, setelah mati, ia bukan hanya jiwa yang tidak beraga, melainkan memunyai raga yang teranyam dari perbuatan-perbuatan yang telah diamalkan di dunia kini. Jiwa juga memasuki dunia yang sesuai dengan sifat batinnya.[24]
Jasad yang dibangkitkan setelah mati bukanlah jasad yang semula di dunia telah hancur, akan tetapi jasad baru yang direfleksikan oleh jiwa. Mullā Ṣadrā menyebutkan ālam al-mitsāl adalah kehidupan jiwa setelah mati dan membentuk jasad baru. Ia juga menyebutkan bahwa jiwa adalah juga sebagai akal aktif. Sebagai akal aktif, ia dapat memroyeksikan jasad baru sesuai tabiat atau kebiasaan psikologis ketika di dunia. Mereka yang tidak dapat lepas dari keduniawian dan menuruti hawa nafsunya, maka akal aktif memandang dirinya sebagai binatang. Tabiat psikologisnya memroyeksikan dirinya sebagai binatang, seperti kera dan babi, kemudian muncul badan-badan nyata. Sebaliknya, mereka yang bebas dari hal-hal duniawi dan bersifat bendawi, akal aktif akan memandang dirinya sebagai wujud murni, tabiat psikologisnya memroyeksikan wujud nyata sebagai wujud murni. Proses pembentukan ini, seperti telah disebutkan, terjadi di alam imajinasi (ālam al-mitsāl) sehingga badan-badan yang terbentuk bukanlah badan-badan materi. Inilah yang ada di dalam al-Qur’ān yang menyebutkan adanya orang-orang yang diubah menjadi kera dan babi yang disebabkan oleh perbuatannya.[25]
Jiwa-jiwa akan merasakan kesengsaraan dan penyesalan atas perbuatannya sewaktu di dunia karena terikat materi. Sedangkan jiwa-jiwa yang telah menjadi wujud murni, yang tidak dikuasai oleh materi akan merasakan kenikmatan-kenikmatan yang melebihi kenikmatan dunia. Itulah yang dimaksud dengan kehidupan surgawi. Surga diartikan sebagai memberikan apa saja keinginan kita.[26]
Seperti yang disebutkan bahwa jiwa juga merupakan akal aktif, maka sebagai akal aktif, keinginan tertinggi atau puncak keinginan adalah keinginan untuk bertemu Tuhan bahkan menyatu denganNya, sebagaimana tujuan puncak para sufi yang tidak dikuasai oleh materi untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan. Itulah tingkatan surga tertinggi, yakni surga para nabi. Hal ini dikarenakan perbuatan mereka dekat dengan sifat-sifat Tuhan. Begitu juga jiwa manusia akan terus menaiki tangga-tangga surga dari terendah  hingga mencapai puncak surga tertinggi, bersanding dengan para nabi untuk bersatu dengan Tuhan. Sebaliknya, jiwa yang yang dikuasai oleh materi akan melewati tahap api penyucian. Di sinilah jiwa-jiwa akan dibakar sehingga jiwa merasakan kepedihan dan penderitaan yang tiada tara. Penyucian ini berlangsung hingga hilang sifat kebinatangannya dan memroyeksikan fisik baru yang murni dan kemudian menaiki tingkatan-tingkatan surga sampai puncak tertinggi yakni keinginan menyatu dengan Tuhan. Inilah yang dimaksud proses evaluasi secara terus menerus tanpa henti.
Secara singkat, alur gerak substansial evolusioner atau al-ḥarākah al-jauhariyyah dimulai dari Tuhan sebagai jiwa universal, kemudian embrio, janin, bayi, balita, remaja, dewasa, tua, mati, fisik tanpa materi dalam alam imajinasi, tingkatan-tingkatan surga dan kembali menyatu dengan Jiwa Universal.[27]

DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku-buku ;

Aziz Dahlan, Abdul. Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Djambatan, 2003.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2005.
al-Fārābī. Kitab Ara’ Ahl al-Madīnah al-Fadīlah. Beirut: Dar al-Masyriq, 2002.
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam.  Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Hossein Nasr, Seyyed. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Mujahid. Yogyakarta: IRCiSOD, 2006.
---------- dan Oliver  Leaman (ed.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku kedua),terj. Tim Mizan. Bandung: Penerbit  Mizan, 1996.
Labib, Muhsin. Para Filosoff Sebelum dan Sesudah Mullā Ṣadrā. Jakarta: al-Huda, 2005.
Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), terj. M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali, 1989.
Madjid, Nurcholish.  Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Muntahari, Murtadha. Filsafat Ḥikmah: Pengantar Pemikiran Ṣadrā, terj. Tim Mizan. Bandung: Mizan, 2002.
Nasution, Harun. Falsafat dan Mistisime dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 2010
Nazir, Moh. Metode Penelitian. Bandung: Penerbit Ghalia Indonesia, 1988.
Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mullā Ṣadrā.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Rahman, Fazlur. Falsafat Mullā Ṣadrā, terj. Munir A. Muin. Bandung: Penerbit Pustaka, 2000.
Ṣadrā, Mullā. Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
---------- Teosofi Islam: Manifestasi-manifestasi Illahi, terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Pustaka Hidayah, 2005.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktek. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Sibawaihi. Eskatologi al-Ghāzālī dan Fazlur  Rahman: Studi Komparatif Epistemologi Klasik- Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2004.
al-Walid, Kholid. Perjalanan Jiwa menuju Akhirat :  Filsafat Eskatologi Mullā Ṣadrā. Jakarta: Sadra Press, 2012.


Referensi Website ;
Bagir, Haidar,  “Pandangan Eskatologi Mullā Ṣadrā
al-Walid, Kholid,  “Prinsip-prinsip Eskatology Mullā Ṣadrā”,


[1] Mullā Ṣadrā, Teosofi Islam: Manifestasi-manifestasi Illahi, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2005), h.123.
[2]Q.s. Yāsīn dan Q.s. al-Ṭaqābun: 7.
[3] Al-Fārābī, Kitāb Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍīlah (Beirut: Dār al-Masyriq, 2002), h. 142.
[4] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), terj. M. Amin Abdullah, (Jakarta: Rajawali, 1989), h.135.
[5] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), h.138.
[6] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), h.140-145.
[7] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2010), h. 26.
[8] Haidar Bagir, “Pandangan Eskatologi Mullā Ṣadrā”, www.icasjakarta.wordpress.com, diakses pada hari Senin, 28 April 2014, pukul 23.13.
[9] Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 379.
[10] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 26.
[11] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, (Abad Pertengahan), h.143-144.
[12] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h.33.
[13] Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 27-28.
[14] Jalaluddin Rakhmat, “Hikmah Muta’aliyyah: Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd” dalam Mullā Ṣadrā,  Kearifan Puncak, terj. Dimitri Mahayana & Dedi Djuniardi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. vii.
[15] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), h.14.
[16] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, h. 26.
[17] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Mujahid, (Yogyakarta: IRCiSOD,2006), h. 136.
[18] Seyyed Hossein Nasr, “Mullā Ṣadrā: Ajaran- Ajarannya ” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver  Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku kedua),terj. Tim Mizan (Bandung: Penerbit  Mizan, 1996), h. 924.
[19] Seyyed Hossein Nasr, “Mullā Ṣadrā: Ajaran-Ajarannya”, h. 925.
[20] Fazlur Rahman, Filsafat Mullā Ṣadrā, terj. Munir A. Muin ( Bandung: Penerbit Pustaka, 2000), h. 337.
[21] Mullā Ṣadrā,  Kearifan Puncak, h. 179-180.
[22] Seyyed Hossein Nasr, “Mullā Ṣadrā: Ajaran-Ajarannya”, h. 925.
[23] Kholid al-Walid, “Prinsip-prinsip Eskatologi Mullā Ṣadrā”, www.kholidal-walid.wordpress.com, diakses pada hari  Senin, 21 April 2014 pukul 21.52.
[24] Seyyed Hossein Nasr, “Mullā Ṣadrā: Ajaran-Ajarannya”, h. 925.
[25] Q.s.  al-Māidah:  60.
[26] Fazlur Rahman, Filsafat Mullā Ṣadrā, h. 338.
[27] Fazlur Rahman, Filsafat Mullā Ṣadrā, h. 344.
[28] Moh. Nazir, Metode Penelitian (Bandung : Penerbit Ghalia Indonesia, 1988), h.111.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar