etika
A.
PENDAHULUAN
Kata-kata seperti etika,
etis,dan moral tidak terdengar dalam ruang kuliah saja dan tidak menjadi
monopoli kaum cendekiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung hal-hal
seperti itu. Memang benar, dalam obrolan dipasar atau ditengah
penumpang-penumpang opelet kata-kata itu jarang sekali muncul. Tapi jika
membuka surat kabar atau majalah, hampir setiap hari kita menemui kata-kata
tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan penegasan Rasulullah SAW bahwa
kehadirannya dimuka bumi ini missi utamanya adalah menyempurnakan akhlak yang
mulia.
Berfikir adalah sebuah aktivitas awal yang menggerakkan
seluruh aktivitas kemanusiaan. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang
mengabdikan dirinya pada pergulatan keilmuan dan pemikiran yang tiada henti.
Walaupun pandangan sinis sering diarahkan kepada kaum filosof sebagai kelompok
yang hanya duduk dikursi dan menteorikan dunia hayalan, tetapi kehadiran para
filosof telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan didunia ini.
Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas yang dia lihat utamanya dalam
konsep-konsepnya tentang etika.
B.
PENGERTIAN ETIKA DAN
PEMBAGIANNYA
Di dalam etika Islam banyak sekali ditemukan dalam sumber
yang sangat luas mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga kalam, Fakhry membagi etika
Islam menjadi empat, yaitu : moralitas scriptural, etika teologis, etika
filosofis, dan etika religius. Ada beberapa pandangan dari beberapa filosof
Muslim mengenai masalah filsafat yaitu, hakikat kebaikan manusia dan hubunganya
dengan tatanan politik.[1]
Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik,
atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian. Dari segi
etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin Ethicos
yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang
dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah
suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika sering diidentikan dengan moral (atau moralitas). Namun,
meskipun sama-sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral
memiliki perbedaan pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai
baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika
berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan,
etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik dan buruk. Dalam filsafat
terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.[2]
Etika juga merupakan salah satu kajian filsafat yang mempelajari
pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah
kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika,
filsafat moral atau filsafat susila. Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah
penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang
baik dan buruk. Etika adalah penyelidikan filsafat bidang moral. Etika
tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia
itu berlaku benar. Etika juga merupakan filsafat praktis manusia. etika
adalah cabang dari aksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang
menitikberatkan pada pencarian salah dan benar dalam pengertian
lain tentang moral.
Etika membatasi
dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral? Ini merupakan
bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tetapi di samping
itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua
cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas
yang harus dilakukan.[3]
Selain itu
etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya ialah
teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-buruk,
yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh
Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.[4]
Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan
dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada
kebaikan.
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:
1.
Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang
penilaian perbuatan seseorang.
2.
Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang
dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat
kebajikan.
3.
Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan
yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Etika sebagai filsafat, berarti mencari keterangan yang
benar, mencari ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk bagi tingkah laku
manusia. Serta mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana susial itu, tindakan
manakah yang paling dianggap baik. Dalam filsafat, masalah baik dan buruk (good and
evil) dibicarakan dalam etika. Tugas
etika tidak lain berusaha untuk hal yang baik dan yang
dikatakan buruk. Sedangkan tujuan
etika, agar setiap manusia mengetahui dan menjalankan perilaku,
sebab perilaku yang baik bukan untuk dirinya saja, tetapi juga penting bagi
orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara, dan yang
terpenting bagi Tuhan yang Maha Esa. Kebaikan itu
sendiri –menurut ibn Sina- sangat erat kaitannya dengan kesenangan. Kebaikan
itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal. Kebaikan terbaik berkaitan
dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian kejahatan merupakan sejenis
ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup
ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu yang diinginkan dan
mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara bertindak menurut
kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat dekat dengan
sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan arahnya itu ia
mencapai kebahagiaan abadi.
Sedangkan
menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan itu merupakan
sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan aliran pragmatisme
mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan adalah yang berguna
secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme yang mengajarkan bahwa
yang baik adalah yang berguna.
Menurut Bertens tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi
pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini
disebut juga sebagai system nilai dalam hidup manusia perseorangan
atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang jawa, etika agama Buddha.
2.
Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud
disini adalah kode etik. Misalnya, Kode Etik Advokat Indonesia.
3.
Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Arti
etika disini sama dengan filsafat moral.
C.
SEJARAH ETIKA
Secara historis
etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan
kebudayaan Yunani 2.500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang
baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali
norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
Tempat pertama
kali disusunnya cara-cara hidup yang baik dalam suatu sistem dan dilakukan
penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Menurut
Poespoproddjo, kaum Yunani sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu
menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan,
hukum, tata kehidupan dan lain-lainnya. Bangsa Yunani mulai bertanya apakah
miliknya, hasil pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena
tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kamudian
diajukanlah pertanyaan mengapa begitu? Kemudian diselidikinya semua perbuatan
dan lahirlah cabang baru dari filsafat yaitu etika.[5]
Jejak-jejak pertama sebuah etika
muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia
lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke
daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di sekitar Pytagoras
terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun.
Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas.
Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa
(soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu
menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama
dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan
indrawi dan dirohanikan.
Seratus tahun
kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa
dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi,
yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak.
Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka
pengertian hedonistik.
Sokrates
(469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi
karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam
dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama
sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri.
Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih
jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya
sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang
sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan
sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya.
Plato (427 SM)
tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles
(384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian bernada etika.
Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang hidup
yang baik. Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi
filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern
paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada
mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika
otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak
hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam
kalangan sufi Muslim. Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran
filsafat Yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak
mempelajari filsafat Yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai
filsafat etika. Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang
berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena
dengan nama Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat
Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga
dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi
masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari
hidup ramai. Semboyannya adalah “hidup dalam kesembunyian“.
Etika Epikurean
bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros
menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini
adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar
bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.
Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur daripada
jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara
keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan).
Tokoh-tokoh
filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya
disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang
disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada
masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti
Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya) banyak dipengaruhi dari
pemikiran tokoh filsafat Yunani.
D.
PROBLEMATIKA
FILSAFAT ETIKA
Persoalan
moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia merupakan persoalan
utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang muncul, antara lain
adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang
pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia menghadapi pemanasan global,
bagaimana harus memlihara perdamaian secara bersama-sama dalam masyarakat yang
sangat plural. Semua itu masuk ke dalam problematika etika yang perlu
dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada pada saat ini bahwa kemajuan
teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari pada pemahaman terhadap
nilai-nilai.
Menurut K.
Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri
antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis baru
yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang
nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu
setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Franz magnis
Suseno, 1993: 15).
Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di
dalamnya di bidang moralitas.
Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang
berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai
semua segi kehidupan.
Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering
dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing dalam
air keruh.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agamawan.
Pribadi-pribadi
manusia selalu mengadakan pertimbangan terhadap tingkah laku mereka sendiri dan
tingkah laku orang lain. Terdapat tindakan-tindakan yang disetujui dan
dinamakan benar atau tidak. Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak disetujui
dinamakan salah atau jahat. Pertimbangan moral berhadapan dengan tindakan
manusia, yang bebas. Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang pelakunya tidak
dapat mengontrol perbuatannya, tidak dihubungkan dengan pertimbangan moral,
karena seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya
yang tidak dikehendaki.
Dari paparan di
atas jelas bahwa persoalan etika adalah sebagai berikut: Pertama,
terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics),
yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan
perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa
bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan
tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku
moral seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika
normatif). Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap
prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan
menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan
dengan pengertian praktis. Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan
hidup dengan benar, atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H.
Titus, 1984: 140).
Oleh karena itu lingkup persoalan
etika dapat dijelaskan sebagai berikut:[6]
1.
Etika
Deskriptif
Etika deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika
deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak,
predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan
dilapangan penelitian. Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di
dalam masyarakat. Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam
pengertian luas, seperti dalam adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang
baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Etika deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang
berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap
tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika
deskriptif hanya melukiskan tentang suatu nilai dan tidak
memberikan penilaian.
2.
Etika
Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar
yang dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau
kelompok orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang
tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang
hanya melibatkan dari luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika
normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku
manusia.
3.
Etika praktis
Etika praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis
yang dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus
diperbuat dalam tindakannya sehari-hari.
4.
Etika Individual dan Etika Sosial
Adalah etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di
samping membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan
hubungan pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang
lain. Etika individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari
perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang
dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar.[7]
E.
FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT
Permasalah etika di dunia barat tak kunjung
mencapai titik akhir. Dapat dilihat dari perseteruan antara Socrates dengan
kaum sofis di zama Yunani kuno kemudian dilanjutkan dengan pertentagan antara
kaum sofis modern dengan Immanuel Kant. Adapun masalah yang dipertentangkan
adalah masalah relatifnya segala apa yang ada.
Kant mamu menghentikan gerak laju relativisme dan
memprovorsikan sains dan agama pada tempatnya. Menurutnya ukuran kebenaran
sains dan agama tidak boleh diukur dengan filsafat, melainkan agama diukur
dengan agama da sains diukur dengan sains. Namun sepanjang kebenaran sains dan
agama diserahka kepada filsafat, maka sepanag itu pul ukurannya menjadi nisbi.
Segalanya dipandang sebagai hal yang relatif, tak menentu dan tidak mempunyai
kepastian. Oleh karena itu, menurut kant agama harus diukur dengan agama, sains
diukur dengan sains. Kant berusaha menghilangkan relativisme, menurutnya
penggunaan logika tanpa batas dapat merusak segalanya.
Dalam hal etika, Kant menganut aliran deontologi.
Filsafat etika Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dipandang dan diketahui
dengan kata hati. Melakukan kewaiban merupakan perbuatan norma baik. Bagi Kant
pula, hukum moral hanya berlaku dengan kata hati, dengan artian kata hati ini
menjadi syarat kehidupan moral. Supaya moral baik, maka seseorang harus berbuat
dengan rasa wajib. Kant melihat , sebagaimana alam ini berjalan dengan tertib
maka begitu pula dengan moral, harus berjalan dengan tertib pula.
Dari sini lahirlah pemikirannya mengenai perbuatan
baik yang harus muncul sebagai kewajiban berbuat baik sebagaimana seorang anak
kepada orang tuanya. Kant berpendapat bahwa dengan menaga keharmonisan hubungan
alam termasuk perbuatan manusia dengan Tuhan, maka dapat tercapai kebahagiaan.
F.
PARA TOKOH
ETIKA ISLAM DAN
PEMIKIRANNYA
1.
Al-Kindi
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi
mengenai filsafat atau cita filsafat.[8]
Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat
dijangkau oleh kemampuan manusia[9].
Yang dimaksud dengan definisi ini adalah agar manusia memiliki keutamaan yang
sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud
adalah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk
memperoleh keutamaan. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain
adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi
menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang
negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi
menjadi tiga :
·
Kebijaksanaan
(hikmah) yaitu keutamaan daya fikir; bersifat teoritik yaitu mengetahui segala
sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu
menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
·
Keberanian (nadjah) ialah keutamaan
daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam
jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus
dicapai dan menolak yang harus ditolak.
·
Kesucian (iffah) adalah memperoleh
sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta
menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak
terdapat dalam jiwa, tetapai merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan
tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin
dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.[10]
2. Al-Razi
Filsafat
etika Al-Razi terdapat hanya dalam karyanya :
Ø Al-tibb al-ruhani
Ø Al- Shirat al-Falsafiyyah
Al-Razi
berpendapat bahwa :
·
Seorang dalam hidup ini harus
moderat, maksudnya dalam hidup ini kita jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula
terlalu tamak[11]
·
Tidak terlalu menyendiri
·
Tidak terlalu mengumbar hawa nafsu
tetapi jangan pula membunuh nafsu.
Untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas
dalam hidup ini :
a. Batas
Tertinggi
Batas tertinggi adalah menjauhi kesenangan yang hanya dapat
diperoleh dengan jalan menyakiti orang lain ataupun bertentangan dengan rasio.
b. Batas
Terendah
Batas terendah adalah menemukan atau
memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan penyakit dan memakai
pakaian sekedar untuk menutup tubuh, dan diantara batas itu orang dapat hidup
tanpa keterlayakan.[12]
Filsafat etika al-Razi yang lain adalah ia berkata bahwa
manusia harus mengendalikan hawa nafsunya, ia mengemukakan perbedaan-perbedaan
yang dikemukakan oleh Plato tentang aspek jiwa. Selain itu Al-Razi juga berkata
bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya, ia mengemukakan perbedaan yang
dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa :
1) Nalar
2) Lingkungan
3) Hasrat
dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Menurutnya tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang
dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan
sakitnya jiwa dan raga dan sebagainya. Dan pendapat tersebut tercakup dalam
Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual
Phisic).[13]
3. Al-Farabi
Konsep etika yang ditawarkan
Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan
erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Begitu juga erat kaitanya
dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi
menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi
manusia,[14]
al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian
untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap
warga negara, yakni :
Ø Keutamaan
teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa
diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi, penelitian
dan melalui belajar.
Ø Keutamaan
pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat
dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena
itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail
fikriyah madaniyyah).
Ø Keutamaan
akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan
menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi
dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempruna
tabiat atau watak manusia.
Ø Keutamaan
amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan
dan merangsang.[15]
4. Ibnu
Bajjah
Ibnu
Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.
perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan
manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan
yang bersih lagi luhur. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada
motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa
nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio
maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Pandangan
Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran Islam. Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa manusia yang mendasarkan perbuatanya atas iradah yang merdeka dan akal
budi akan dapat mencapai kebahagiaan. Menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatan
dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan
ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Secara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan
perbuatan manusia menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
ü Tujuan
jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama
derajatnya dengan hewan.
ü Tujuan
rohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan
melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
ü Tujuan
rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat
berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah
yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.[16]
5. Ibnu
Thufail
Menurutnya,
manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi,
dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu
pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara
meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai
peniruanya, pertama terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan
kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas,
dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua
menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek
hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi
Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu
Thufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan
tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir dia
harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan, yaitu pengetahuan,
kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah dan sebagainya.
Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lain dan demi Tuhan,
secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang
terahir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada
perwujudanya dalam visi akan rahmat Tuhan. Dan visi sekaligus menjadi identik
dengan esensi Tuhan.[17]
6. Ibnu
Rusyd
Mengenai
etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah
makhluk sosial yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup dan
mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan
akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan
akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan
teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan dengan akal aktif.[18]
G. WACANA
ISLAM TENTANG KEBAIKAN
Dalam
hal ini hanya ada beberapa filosof Islam yang akan saya bahas karena para
filosof disini sangat erat kaitannya dengan pemikiran filosof barat sebelumnya
mengenai etika. Karena etika ini tujuannya adalah untuk mencapai kebahagian seperti
yang dikatakan oleh Aristoteles. Lebih lanjutnya menurut Plato dan Pristoteles
kebahagiaan itu berada dalam kontemplasi rasional, yang merupakan kegiatan
intelektual tertinggi, maka dari itu hanya segelincir manusia saja yang dapat
merasakannya. Bisa dibilang hanya para elite intelektual yang benar-benar bisa
mengenyam kebahagiaan dan hanya merekalah yang dapat berekembang ke derajat
tertinggi.
Sebagai
mana yang sama-sama kita ketahui bahwa dari sekian banyak filosof yang adda di
dunia Islam ada beberapa yang memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran aristoteles
dan plato, seperti Al-Farabi, Ibnu Bajjah (Avempace), Ibnu Thufail Dan Ibnu
Rusyd. Kita akan liai apa sepak terjang mereka ini dalam mengenai kebaikan
tertinggi, saya akan awali dari pandangan Al-Farabi, mungkin kita tidak perlu
terlalu terkejut dengan pola pikir beliau mengenai pembahasan kebaikan manusia
ini, karena memang beliau adalah seorang yang sangat tekun dalam membaca karya Republic milik Plato, dan Nicomachean Ethics milik Aristoteles. Al-farabi
memiliki dua pandangan yang saling bersaing mengenai kebahagiaan manusia.
Pertama, pandangan yang sangat teoteris dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, Dan Al Siyasah Al-Madaniyyah. Kedua,
pandangan yang berupa mengawinkan filsafat dan politik dengan gaya platonic
dalam Tahshil Al Sa’dah. Al-Farabi
mengadopsi konsepsi yang sepenuhnya apolitik tentang kebaikan, pandangan
tentang ideal manusia seperti ini menimbulkan elitisme intelektual, sehingga
kebahagiaan hakiki hanya hanya dicapai oleh sedikit orang, (sama halnya dengan
pemikiran para filosof Yunani sebelumnya). Dan adapula manusia yang menurutnya
mempunyai ideal yang lain dalam Thashil
Al Sa’adah dia menyatakan :
“Ketika
ilmu-ilmu teoteris terpisah dan pemiliknya tidak memiliki daya untuk
mengembangkannya demi manfaat orang lain, ilmu-ilmu tersebut adalah filsafat
yang cacat. Untuk mnejadi filosof yang benar-benar paripurna orang harus
memiliki ilmu teoteris dan daya untuk menggalinya demi kepentingan orang lain
sesuai kemampuannya. Jika kita mengkaji kehidupan filosof sejati, kita akan
menemukan perbedaan antara dirinya dan penguasa tertinggi. Karena orang yang
memiliki daya untuk menggali apa yang tersusun dari bahan-bahan teoteris demi
kemaslahatan orang banyak mempunyai daya untuk mnejadikan bahan-bahan- itu
dapat difahami, dan membuat sebagian bahan-bahan itu yang bergantung pada
kehendak menjadi wujud actual. Semakin
besar kemampuan dan kekuatan melakukan hal terakhir ini, semakin sempurnalah
filsafatnya. Oleh karena itu hanya orang yang benar-benar sempurnalah yang
mempunyai penglihatan meyakinkan, pertama kebajikan teoteris dan kedua,
kebajikan praktis.”[19]
Kutipan
ini sangat jelas bertentangan dengan ideal teoteris yang sebelumnya ia
sebutkan. Disini dia sangat gamblang menggambarkan filosof itu sebagai nabi dan
filsafat sebagai kenabian. Jika sebelumnya dia tidak memberikan perhatian pada
arti penting, dan lebih tepat perlunya menerjemahkan teori ke dalam praktik,
gambaran ini melihat keterkaitan penting antara keduanya, secara harfiah, ia
mendefinisikan filsafat yang sejati sebagai kekuasaan politik yang tercerahkan.
Seperti yang dikatakan oleh Plato, filosof sejati dan penguasa sejati adalah
seharusnya satu.[20]
Berangkat ke filosof selanjutnya kalau tadi
kita dalam posisi ditimur sekarang kkita melangkah kebarat yang memerlukan
waktu sekitar dua abad, maka kita akan sampai kepada pemikir Muslim Spanyol
yang pemikirannya tentang kebaikan sangat bersebrangan dengan pemikiran
Al-Farabi. Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail masing-masing mempunyai kesimpulan
tersendiri mengnai hal ini, meraka mengisyaratkan dengan tegas ketidaksederajat
antara filsafat dan politik. Bagi mereka kebaikan hanya terdapat pada aktivitas
teori filsafat saja. Bagi mereka kembali ke kancah politik begitu berbahaya dan
menakutkan karena ada kemungkinanan salah faham sehingga seorang individu yang
ingin bahagia disarankan untuk hidup menyendiri. Menurut Ibnu Bajjah dalam
karyanya Tadbir Al-Mutawahhid
memfokuskan dirinya sendiri pada filosof dalam masyarakat yang tidak sempurna,
yaitu dunia nyata. Menurutnya manusia-manusia seperti itu bagaikaan “rerumputan
liar”. Rerumputan liar disini itu sangat mirip dengan filosof Platonik
(Socrates) yang terus menerus menjauhkan diri dari masyarakatnya. Mengenai
filosof seperti itu Plato berkata: ia
ibarat seseorang yang mencari perlindungan dibalik tembok kecil dari badai debu
atau hujan badai yangdigerakan angina, dan melihat orang lain sibuk melanggar
hokum filosof tersebut puas jika dapat menjalani kehidupannya yang bebas dari
ketidak adilan dan perbuatan tercela. Bagi Plato dan Ibnu Bajjah (begitu juga
dengan Ibnu Thufail nantinya), agenda
dan skala priorotas filosof dan keadaan maujud riil ada di dalam keterasingan,
akibatnya filosof harus hidup dalam keterasingan, paling tidak ia tidak ikut
ambil bagian dalam tujuan Negara yang ia tempati. Bagi Ibnu Bajjah, “rumput”
liar hidup di tengah-tengah manusia, tetapi kesempurnaan rumput itu ditentukan
oleh kesempurnaan sifat spiritulanya, memisahkan diri dari mereka yang tujuan
hidupnya bersifat jasmaniyah. kisah simbolik dari Ibnu Thufail dalam hay ibn
yaqzhan, hay mempelajari bahwa demi kesejahteraan dirinya dan keseluruhan
manusia, ia harus hiduup mengasingkan diri secara fisik karena upaya mengajak
manusia untuk hidup atas dasar kebijaksanaan (filsafat).[21]
Hayy yang petapa kembali ketempat asalnya, seraya menyadari bahwa perasaan
sayang, yang lahir tanpa pengalaman, yang mendorong keluar dari pulau tempat
tingalnya disalahpahami secara bermusuhan. Menyadari bahwa kebanyakan manusia
tidak lebih dari pada hewan yang berakal, sehingga ia memisahkan diri dari
dunia politik untuk mencari kebijaksanaan. Pelajaran yang bisa kita ambil dari
kisah ini bahwa hanya sedikit manusia yang benar-benar bahagia, seperti yang
diinginkan filsafat. Hanya filosof lah yang bisa menemukan rahasia-rahasia pencerahan,
dan setelah menemukan kebenaran ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan
bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dikomunikasikan kepada dunia yang lebih
luas. Dengan demikian, filsafat dan politik tidak dapat dipertemukan.
Kemudian
lanjut dalam pemikiran Ibnu Rusyd, ia hadir sebagai komentator Plato dan Aristo,
ibdnu rusyd disni lebih mengingatkan kita kepada al-farabi. Al-farabi, Ibnu
Bajjah, Ibnu Thufail semuanya berbicara tentang kebaikan manusia dan hubungan
kebaikan manusia dengan dunia politik, namun menurutnya hanya al-farabi yang
tidak pesimistik, sementara Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail di nilai pesimistik. Ibnu
Rusyd berpendapat bahwa filosof harus mencari jalan agar dapat mengabdi kepada
masyarakat. Bagi Ibnu Rusyd kepemimpinan yang tercerahkan semacam itu adalah
tanda nabi. Dan kenabian dalam pengertian kempimpinan yang tercerahkan ini
adalah sesuatu yang ideal. Baginya yang ideal ini berakar pada hukum.dalam
karyanya Fash Al-Maqal dia
mengungkapkan dengan tegas bahwa hukum mewajibkan orang yang mampu mempelajari
filsafat dan mengingat hukum itu ditetapkan untuk menjamin kesejahteraan
segenap anggota masyarakat, termasuk mereka yang bukan filosof yang memerlukan
ajaran.
Kebaikan
manusia menurut Ibnu Rusyd tidak berbeda dengan pandangan para pendahulunya.
Kebaikan meliputi studi filsafat. Ibnu Rusyd sama elitisnya dengan para pemikir
lain yang kita diskusikan sebelumnya. Namun nuansa lain yang diberikannya pada
pembahasan dalam mencapai kebaikan, menurutnya seseorang harus kembali ke
masyarakat. Dengan ini kekahwatiran Platonik tentang ketidakserasian antara
filsafat dan poltik dapat diatasi.[22]
H. ANALISIS
TENTANG KONSEP ETIKA PARA FILOSOF MUSLIM
Dari sini dapat dianalisis bahwa,
beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan pengaruh
aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya tentang moral yang mula-mula ditulis
oleh al-Kindi sebagai filosof Muslim pertama, sangat dipengaruhi oleh Socrates.
Pengaruh klasik lainnya bisa juga dilihat dalam karya-karya filosof beraliran
Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, yang mengikuti pembagian Plato tentang
pembagian-pembagian jiwa, dan kalangan Neoplatonis seperti al-Farabi. Sementara
pengaruh Aristotelian bisa juga dilihat dari al-Farabi, yang mendiskusikan
tentang kejahatan.
Al-ghazali, yang sistem etikanya
mencangkup moralitas filosofis, teologis dan sufi, adalah contoh yang paling
representatif dari tipe etika religius. Terakhir Mulla Shadra, yang
pemikirannya dipenuhi oleh elemen-elemen Ibnu Sina dan al-Ghazali,dapat
dianggap sebagai wakil penting pada periode klasik dalam tulisan tentang etika,
filsafat dan teologi.
Dalam beberapa konsep etika ini
banyak para filosof yang menghubungkan etika ini dengan tujuan pencapaian
kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat diantaranya adalah, ada juga yang
menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa hewani, esensi
non-bendawi, diantaranya maupun manusiawi. Selain itu masih ada juga yang
menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan menghubungkannya
dengan keutamaan-keutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang baik dan terpuji.
I. KESIMPULAN
Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik,
atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian. Dari segi
etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos”
yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang
dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat.
Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah
suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana
yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
·
Kehadiran para filosof telah memberikan warna tersendiri
bagi kehidupan didunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas
yang dia lihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika. Diantara filosof
yang menuangkan pemikirannya dalam pembahsan etika, diantaranya adalah: Al-Kindi,
Al Razi, Al-Farabi, Al- Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd. Al-Farabi
mengadopsi konsepsi yang sepenuhnya apolitik tentang kebaikan, pandangan
tentang ideal manusia seperti ini menimbulkan elitisme intelektual, sehingga
kebahagiaan hakiki hanya hanya dicapai oleh sedikit orang.
·
Bagi Ibnu
Bajjah dan Ibnu Thufail kebaikan hanya terdapat pada aktivitas teori filsafat
saja. Bagi mereka kembali ke kancah politik begitu berbahaya dan menakutkan
karena ada kemungkinanan salah faham sehingga seorang individu yang ingin
bahagia disarankan untuk hidup menyendiri.
·
Kebaikan
manusia menurut Ibnu Rusyd tidak berbeda dengan pandangan para pendahulunya.
Kebaikan meliputi studi filsafat. Ibnu Rusyd sama elitisnya dengan para pemikir
lain yang kita diskusikan sebelumnya. Namun nuansa lain yang diberikannya pada
pembahasan dalam mencapai kebaikan, menurutnya seseorang harus kembali ke
masyarakat. Dengan ini kekahwatiran Platonik tentang ketidakserasian antara
filsafat dan poltik dapat diatasi.
DAFTAR PUSTAKA
Leaman, Oliver, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung,
Mizan, 2003
Baqir,
Haidar Buku Saku Filsafat Islam, Bandung :Mizan,
2005
Bertens,K Etika, Jakarta: Gramedia, 1993
Boy ZTF, Pradana, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh
,Malang : UMM Press, 2003
Daudy,
Ahmad, Kuliah Filsafat Islam ,Jakarta
: Bulan Bintang, 1986
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis ,Bandung : Mizan,
2001
Mustofa, H.A. , Filsafat Islam ,Bandung : Pustaka Setia,
1997 Sudarsono, Filsafat Islam
,Jakarta : Rineka Cipta, 1997
Nasution,
Hasyimsyah, Filsafat Islam ,Jakarta :
Gaya Media Pratama, 1999
Poespoprodjo,
Filsafat Moral Kesusilaan Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika,
1999
Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, Jakarta:
Salemba
Sjafariah
Widjajanti, Rosmaria Etika, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008
Syarif
,M.M., Para Filosof Muslim ,Jakarta :
Mizan, 1993
Zar, Sirajudin, Filsafat Islam :
Filosof dan Filsafatnya ,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004
[3] K Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 1993, h. 27
[4] Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, Jakarta:
Salemba, h. 80
[5] Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Teori dan Praktek,
(Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 18
[6] Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, (Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 47-52
[7] daqoiqul.blogspot.com// diakses pada 14/12/2013,
pukul 12:18
[8]Sudarsono, Filsafat Islam
,Jakarta : Rineka Cipta, 1997, h.28
[9] H.A. Mustofa, Filsafat Islam
,Bandung : Pustaka Setia, 1997,, h.110
[10] H.A. Mustofa, op,cit,
h.111
[11] Sudarsono, op,cit, h.56
[12] M.M.Syarif, Para Filosof
Muslim ,Jakarta : Mizan, 1993,h.48
[13] Majid fakhry, Sejarah
Filsafat Islam : Sebuah Peta
Kronologis ,Bandung : Mizan, 2001,h.36
[14] Pradana Boy ZTF, Filsafat
Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh ,Malang : UMM Press, 2003,h.121
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat
Islam ,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999,h.43
[16] Sirajudin zar, op,cit,
h.240
[17]H.A Mustofa, op,cit
h.279-280
[18] Hasyimsyah Nasution, op,cit,
h.126
[20] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar