Halaman

Senin, 11 Mei 2015

etika



etika

A.    PENDAHULUAN
Kata-kata seperti etika, etis,dan moral tidak terdengar dalam ruang kuliah saja dan tidak menjadi monopoli kaum cendekiawan. Diluar kalangan intelektual pun sering disinggung hal-hal seperti itu. Memang benar, dalam obrolan dipasar atau ditengah penumpang-penumpang opelet kata-kata itu jarang sekali muncul. Tapi jika membuka surat kabar atau majalah, hampir setiap hari kita menemui kata-kata tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan penegasan Rasulullah SAW bahwa kehadirannya dimuka bumi ini missi utamanya adalah menyempurnakan akhlak yang mulia.
Berfikir adalah sebuah aktivitas awal yang menggerakkan seluruh aktivitas kemanusiaan. Para filosof adalah manusia-manusia pilihan yang mengabdikan dirinya pada pergulatan keilmuan dan pemikiran yang tiada henti. Walaupun pandangan sinis sering diarahkan kepada kaum filosof sebagai kelompok yang hanya duduk dikursi dan menteorikan dunia hayalan, tetapi kehadiran para filosof telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan didunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas yang dia lihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika.
B.     PENGERTIAN ETIKA DAN PEMBAGIANNYA
Di dalam etika Islam banyak sekali ditemukan dalam sumber yang sangat luas mulai dari tafsir Al-Qur’an hingga kalam, Fakhry membagi etika Islam menjadi empat, yaitu : moralitas scriptural, etika teologis, etika filosofis, dan etika religius. Ada beberapa pandangan dari beberapa filosof Muslim mengenai masalah filsafat yaitu, hakikat kebaikan manusia dan hubunganya dengan tatanan politik.[1]
Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin Ethicos yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
Etika sering diidentikan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama-sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki perbedaan pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori tentang perbuatan baik dan buruk. Dalam filsafat terkadang etika disamakan dengan filsafat moral.[2]
Etika juga merupakan salah satu kajian filsafat yang mempelajari pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan, dan kadang-kadang orang memakai filsafat etika, filsafat moral atau filsafat susila. Dengan demikian dapat dikatakan, etika ialah penyelidikan filosofis mengenai kewajiban-kewajiban manusia dan hal-hal yang baik dan buruk. Etika adalah penyelidikan filsafat bidang moral. Etika tidak membahas keadaan manusia, melainkan membahas bagaimana seharusnya manusia itu berlaku benar. Etika juga merupakan filsafat praktis manusia. etika adalah cabang dari aksiologi, yaitu ilmu tentang nilai, yang menitikberatkan pada pencarian salah dan benar dalam pengertian lain tentang moral.
Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral? Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tetapi di samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia. Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas yang harus dilakukan.[3]
Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-buruk, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya.[4] Tetapi tujuan etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan keburukan sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada kebaikan.
Etika dapat dibedakan menjadi tiga macam:
1.      Etika sebagai ilmu, yang merupakan kumpulan tentang kebajikan, tentang penilaian perbuatan seseorang.
2.      Etika dalam arti perbuatan, yaitu perbuatan kebajikan. Misalnya, seseorang dikatakan etis apabila orang tersebut telah berbuat kebajikan.
3.      Etika sebagai filsafat, yang mempelajari pandangan-pandangan, persoalan-persoalan yang berhubungan dengan masalah kesusilaan.
Etika sebagai filsafat, berarti mencari keterangan yang benar, mencari ukuran-ukuran yang baik dan yang buruk bagi tingkah laku manusia. Serta mencari norma-norma, ukuran-ukuran mana susial itu, tindakan manakah yang paling dianggap baik. Dalam filsafat, masalah baik dan buruk (good and evil) dibicarakan dalam etika. Tugas etika tidak lain berusaha untuk hal yang baik dan yang dikatakan buruk. Sedangkan tujuan etika, agar setiap manusia mengetahui dan menjalankan perilaku, sebab perilaku yang baik bukan untuk dirinya saja, tetapi juga penting bagi orang lain, masyarakat, bangsa dan Negara, dan yang terpenting bagi Tuhan yang Maha Esa. Kebaikan itu sendiri –menurut ibn Sina- sangat erat kaitannya dengan kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal. Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu yang diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara bertindak menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat dekat dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan arahnya itu ia mencapai kebahagiaan abadi.
Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme yang mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna.
Menurut Bertens tiga arti etika dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai system nilai dalam hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya etika orang jawa, etika agama Buddha.
2.      Etika dipakai dalam arti: kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud disini adalah kode etik. Misalnya, Kode Etik Advokat Indonesia.
3.      Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik dan yang buruk. Arti etika disini sama dengan filsafat moral.
C.    SEJARAH ETIKA
Secara historis etika sebagai usaha filsafat lahir dari keambrukan tatanan moral di lingkungan kebudayaan Yunani 2.500 tahun lalu. Karena pandangan-pandangan lama tentang baik dan buruk tidak lagi dipercaya, para filosof mempertanyakan kembali norma-norma dasar bagi kelakuan manusia.
Tempat pertama kali disusunnya cara-cara hidup yang baik dalam suatu sistem dan dilakukan penyelidikan tentang soal tersebut sebagai bagian filsafat. Menurut Poespoproddjo, kaum Yunani sering mengadakan perjalanan ke luar negeri itu menjadi sangat tertarik akan kenyataan bahwa terdapat berbagai macam kebiasaan, hukum, tata kehidupan dan lain-lainnya. Bangsa Yunani mulai bertanya apakah miliknya, hasil pembudayaan negara tersebut benar-benar lebih tinggi karena tiada seorang pun dari Yunani yang akan mengatakan sebaliknya, maka kamudian diajukanlah pertanyaan mengapa begitu? Kemudian diselidikinya semua perbuatan dan lahirlah cabang baru dari filsafat yaitu etika.[5]
Jejak-jejak pertama sebuah etika muncul dikalangan murid Pytagoras. Kita tidak tahu banyak tentang pytagoras. Ia lahir pada tahun 570 SM di Samos di Asia Kecil Barat dan kemudian pindah ke daerah Yunani di Italia Selatan. Ia meninggal 496 SM. Di sekitar Pytagoras terbentuk lingkaran murid yang tradisinya diteruskan selama dua ratus tahun. Menurut mereka prinsip-prinsip matematika merupakan dasar segala realitas. Mereka penganut ajaran reinkarnasi. Menurut mereka badan merupakan kubur jiwa (soma-sema,”tubuh-kubur”). Agar jiwa dapat bebas dari badan, manusia perlu menempuh jalan pembersihan. Dengan bekerja dan bertapa secara rohani, terutama dengan berfilsafat dan bermatematika, manusia dibebaskan dari ketertarikan indrawi dan dirohanikan. 
Seratus tahun kemudian, Demokritos (460-371 SM) bukan hanya mengajarkan bahwa segala apa dapat dijelaskan dengan gerakan bagian-bagian terkecil yang tak terbagi lagi, yaitu atom-atom. Menurut Demokritos nilai tertinggi adalah apa yang enak. Dengan demikian, anjuran untuk hidup baik berkaitan dengan suatu kerangka pengertian hedonistik. 
Sokrates (469-399 SM) tidak meninggalkan tulisan. Ajarannya tidak mudah direkonstruksi karena bagian terbesar hanya kita ketahui dari tulisan-tulisn Plato. Dalam dialog-dialog palto hampir selalu Sokrates yang menjadi pembicara utama sehingga tidak mudah untuk memastikan pandangan aslinya atau pandangan Plato sendiri. Melalui dialog Sokrates mau membawa manusia kepada paham-paham etis yang lebih jelas dengan menghadapkannya pada implikasi-implikasi anggapan-anggapannya sendiri. Dengan demikian, manusia diantar kepada kesadaran tentang apa yang sebenarnya baik dan bermanfaat. Dari kebiasaan untuk berpandangan dangkal dan sementara, manusia diantar kepada kebijaksanaan yang sebenarnya. 
Plato (427 SM) tidak menulis tentang etika. Buku etika pertama ditulis oleh Aristoteles  (384 SM). Namun dalam banyak dialog Plato terdapat uraian-uraian bernada etika. Itulah sebabnya kita dapat merekontruksi pikiran-pikiran Plato tentang hidup yang baik.  Intuisi daar Plato tentang hidup yang baik itu mempengaruhi filsafat dan juga kerohanian di Barat selama 2000 tahun. Baru pada zaman modern paham tentang keterarahan objektif kepada Yang Ilahi dalam segala yang ada mulai ditinggalkan dan diganti oleh pelbagai pola etika; diantaranya etika otonomi kesadaran moral Kant adalah yang paling penting. Etika Plato tidak hanya berpengaruh di barat, melainkan lewat Neoplatoisme juga masuk ke dalam kalangan sufi Muslim.  Disinilah nantinya jalur hubungan pemikiran filsafat Yunani dengan pemikir muslim seperti Ibn Miskawaih yang banyak mempelajari filsafat Yunani sehingga mempengaruhi tulisan-tulisannya mengenai filsafat etika. Setelah Aristoteles, Epikuros (314-270 SM) adalah tokoh yang berepengaruh dalam filsafat etika. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena dengan nama Epikureanisme , akan menjadi salah satu aliran besar filsafat Yunani pasca Aristoteles. Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, berbeda juga dengan Stoa, Epikuros dan murid-muridnya tidak berminat memikirkan, apalagi masuk ke bidang politik. Ciri khas filsafat Epikuros adalah penarikan diri dari hidup ramai. Semboyannya adalah  “hidup dalam kesembunyian“.
Etika Epikurean bersifat privatistik. Yang dicari adalah kebahagiaan pribadi. Epikuros menasihatkan orang untuk menarik diri dari kehidupan umum, dalam arti ini adalah individualisme. Namun ajaran Epikuros tidak bersifat egois. Ia mengajar bahwa sering berbuat baik lebih menyenangkan daripada menerima kebaikan.  Bagi kaum Epikurean, kenikmatan lebih bersifat rohani dan luhur  daripada jasmani. Tidak sembarang keinginan perlu dipenuhi. Ia membedakan antara keinginan alami yang perlu (makan), keinginan alami yang tidak perlu (seperti makanan yang enak), dan keinginan sia-sia (seperti kekayaan). 
Tokoh-tokoh filsafat etika masih banyak lagi, dan penulis berkeinginan membahas semuanya disini, namun karena keterbatasan tempat dan tema yang diangkat maka tokoh yang disebut diatas penulis anggap sudah cukup mewakili sejarah filsafat etika pada masa itu. Dan korelasinya dengan intelektual islam pada masa sesudahnya seperti Ibn Miskawaih yang dalam banyak tulisannya (karya) banyak dipengaruhi dari pemikiran tokoh filsafat Yunani.
D.    PROBLEMATIKA FILSAFAT ETIKA
Persoalan moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia merupakan persoalan utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang muncul, antara lain adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi perkembangan teknologi yang pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia menghadapi pemanasan global, bagaimana harus memlihara perdamaian secara bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural. Semua itu masuk ke dalam problematika etika yang perlu dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada pada saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari pada pemahaman terhadap nilai-nilai.
Menurut K. Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu setidaknya terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Franz magnis Suseno, 1993: 15).
Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di dalamnya di bidang moralitas.
Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang mengenai semua segi kehidupan.
Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing dalam air keruh.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agamawan.
Pribadi-pribadi manusia selalu mengadakan pertimbangan terhadap tingkah laku mereka sendiri dan tingkah laku orang lain. Terdapat tindakan-tindakan yang disetujui dan dinamakan benar atau tidak. Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak disetujui dinamakan salah atau jahat. Pertimbangan moral berhadapan dengan tindakan manusia, yang bebas. Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang pelakunya tidak dapat mengontrol perbuatannya, tidak dihubungkan dengan pertimbangan moral, karena seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya yang tidak dikehendaki.
Dari paparan di atas jelas bahwa persoalan etika adalah sebagai berikut: Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics), yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa bermacam-macam aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral seperti di atas harus dibedakan dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya dilakukan mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis. Dengan menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984: 140).
Oleh karena itu lingkup persoalan etika dapat dijelaskan sebagai berikut:[6]
1.      Etika Deskriptif
Etika deskriptif sering menjadi bahasan dalam ilmu sosiologi. Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak, predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat ditemukan dilapangan penelitian. Secara deskriptif dimaksudkan untuk mengetahui apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam pengertian luas, seperti dalam adat kebiasaan, atau tanggapan-tanggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.
Etika deskriptif adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan etika yang berusaha untuk membuat deskripsi yang secermat mungkin tentang yang dianggap tidak baik yang berlaku atau yang ada di dalam masyarakat. Etika deskriptif  hanya  melukiskan tentang suatu nilai dan tidak memberikan penilaian.
2.      Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang mempunyai ukuran atau norma standar yang dipakai untuk menilai suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau kelompok orang. Dalam hal ini etika normatif menjelaskan tentang tindakan-tindakan yang seharusnya terjadi atau yang semestinya dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. Etika normatif tidak seperti etika deskriptif yang hanya melibatkan dari luar sistem nilai etika yang berlaku, tetapi etika normatif melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia.
3.       Etika praktis
Etika praktis mengacu pada pengertian sehari-hari, yaitu persoalan etis yang dihadapi seseorang ketika berhadapan dengan tindakan nyata yang harus diperbuat dalam tindakannya sehari-hari.
4.       Etika Individual dan Etika Sosial
Adalah etika yang bersangkutan dengan manusia sebagai perseorangan saja. Di samping membicarakan kualitas etis perorangan saja, etika juga membicarakan hubungan pribadi manusia dengan lingkungannya seperti hubungan dengan orang lain. Etika individu berhubungan dengan sikap atau tingkah laku perbuatan dari perseorangan. Sedangkan etika sosial berhubungan dengan tingkah laku yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bagian kesatuan yang lebih besar.[7]

E.     FILSAFAT ETIKA IMMANUEL KANT
Permasalah etika di dunia barat tak kunjung mencapai titik akhir. Dapat dilihat dari perseteruan antara Socrates dengan kaum sofis di zama Yunani kuno kemudian dilanjutkan dengan pertentagan antara kaum sofis modern dengan Immanuel Kant. Adapun masalah yang dipertentangkan adalah masalah relatifnya segala apa yang ada.
Kant mamu menghentikan gerak laju relativisme dan memprovorsikan sains dan agama pada tempatnya. Menurutnya ukuran kebenaran sains dan agama tidak boleh diukur dengan filsafat, melainkan agama diukur dengan agama da sains diukur dengan sains. Namun sepanjang kebenaran sains dan agama diserahka kepada filsafat, maka sepanag itu pul ukurannya menjadi nisbi. Segalanya dipandang sebagai hal yang relatif, tak menentu dan tidak mempunyai kepastian. Oleh karena itu, menurut kant agama harus diukur dengan agama, sains diukur dengan sains. Kant berusaha menghilangkan relativisme, menurutnya penggunaan logika tanpa batas dapat merusak segalanya.
Dalam hal etika, Kant menganut aliran deontologi. Filsafat etika Kant memandang bahwa perbuatan moral itu dipandang dan diketahui dengan kata hati. Melakukan kewaiban merupakan perbuatan norma baik. Bagi Kant pula, hukum moral hanya berlaku dengan kata hati, dengan artian kata hati ini menjadi syarat kehidupan moral. Supaya moral baik, maka seseorang harus berbuat dengan rasa wajib. Kant melihat , sebagaimana alam ini berjalan dengan tertib maka begitu pula dengan moral, harus berjalan dengan tertib pula.
Dari sini lahirlah pemikirannya mengenai perbuatan baik yang harus muncul sebagai kewajiban berbuat baik sebagaimana seorang anak kepada orang tuanya. Kant berpendapat bahwa dengan menaga keharmonisan hubungan alam termasuk perbuatan manusia dengan Tuhan, maka dapat tercapai kebahagiaan.
F.      PARA TOKOH ETIKA ISLAM DAN PEMIKIRANNYA
1.      Al-Kindi
Dalam hal ini etika Al-Kindi berhubungan erat dengan definisi mengenai filsafat atau cita filsafat.[8] Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia[9]. Yang dimaksud dengan definisi ini adalah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna, juga diberi definisi yaitu sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud adalah mematikan hawa nafsu, dengan jalan mematikan hawa nafsu itu untuk memperoleh keutamaan. Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusia tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapai bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Hal ini dibagi lagi menjadi tiga :
·         Kebijaksanaan (hikmah) yaitu keutamaan daya fikir; bersifat teoritik yaitu mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; bersifat praktis yaitu menggunakan kenyataan yang wajib dipergunakan.
·         Keberanian (nadjah) ialah keutamaan daya gairah (ghadabiyah; passiote), yang merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai sesuatu yang harus dicapai dan menolak yang harus ditolak.
·         Kesucian (iffah) adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Kedua keutamaan-keutamaan manusia tidak terdapat dalam jiwa, tetapai merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan tersebut. Dan ketiga hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin dalam keadilan. Penistaan yang merupakn padanannya adalah penganiayaan.[10]
2.      Al-Razi
Filsafat etika Al-Razi terdapat hanya dalam karyanya :
Ø  Al-tibb al-ruhani
Ø  Al- Shirat al-Falsafiyyah
Al-Razi berpendapat bahwa :
·         Seorang dalam hidup ini harus moderat, maksudnya dalam hidup ini kita jangan terlalu zuhud tetapi jangan pula terlalu tamak[11]
·         Tidak terlalu menyendiri
·         Tidak terlalu mengumbar hawa nafsu tetapi jangan pula membunuh nafsu.
Untuk mencapai tujuan tersebut ia membuat dua buah batas dalam hidup ini :
a.       Batas Tertinggi
Batas tertinggi adalah menjauhi kesenangan yang hanya dapat diperoleh dengan jalan menyakiti orang lain ataupun bertentangan dengan rasio.
b.      Batas Terendah
Batas terendah adalah menemukan atau memakan sesuatu yang tidak membahayakan atau menyebabkan penyakit dan memakai pakaian sekedar untuk menutup tubuh, dan diantara batas itu orang dapat hidup tanpa keterlayakan.[12]
Filsafat etika al-Razi yang lain adalah ia berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya, ia mengemukakan perbedaan-perbedaan yang dikemukakan oleh Plato tentang aspek jiwa. Selain itu Al-Razi juga berkata bahwa manusia harus mengendalikan hawa nafsunya, ia mengemukakan perbedaan yang dikemukakan oleh tentang-tentang aspek jiwa :
1)      Nalar
2)      Lingkungan
3)      Hasrat dan menunjukkan bagaimana keadilan mesti mengatasi semua itu.
Menurutnya tamak adalah suatu keadaan yang sangat buruk yang dapat menimbulkan rasa sakit dan bencana. Mabuk menyebabkan malapetaka dan sakitnya jiwa dan raga dan sebagainya. Dan pendapat tersebut tercakup dalam Risalah etika Al-Razi yang cukup terkenal, Obat Pencahar Rohani (Spiritual Phisic).[13]
3.      Al-Farabi  
Konsep etika yang ditawarkan Al-Farabi dan menjadi salah satu hal penting dalam karya-karyanya, berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik. Begitu juga erat kaitanya dengan persoalan etika ini adalah persoalan kebahagiaan. Didalam kitab At-tanbih fi sabili al-Sa’adah dan Tanshil al-Sa’adah, Al-Farabi menyebutkan bahwa kebahagiaan adalah pencapaian kesempurnaan akhir bagi manusia,[14] al-Farabi juga menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai kebahagiaan didunia dan diakhirat bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yakni :
Ø  Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperleh dengan kontemplasi, penelitian dan melalui belajar.
Ø  Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang mengetahui hal-hal yang bermanfaat dalam tujuan. Termasuk dalm hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran budaya (fadhail fikriyah madaniyyah).
Ø  Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran, kedua jenis keutamaan tersebut, terjadi dengan tabiatnya dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempruna tabiat atau watak manusia.
Ø  Keutamaan amalia, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.[15]
4.      Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. perbuatan hewani didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Perbedaan antara kedua perbuatan ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran Islam. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatanya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan. Menurut Ibnu Bajjah, apabila perbuatan dilakukan demi memuaskan akal semata, perbuatan ini mirip dengan perbuatan ilahy dari pada perbuatan manusiawi. Secara ringkas Ibnu Bajjah membagi tujuan perbuatan manusia menjadi tiga tingkat sebagai berikut :
ü  Tujuan jasmaniah, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Pada tujuan ini manusia sama derajatnya dengan hewan.
ü  Tujuan rohaniah husus, dilakukan atas dasar kepuasan rohaniah. Tujuan ini akan melahirkan keutamaan akhlaqiyyah dan aqliyyah.
ü  Tujuan rohaniah umum (rasio), dilakukan atas dasar kepuasan pemikiran untuk dapat berhubungan dengan Allah. Inilah tingkat manusia yang sempurna dan taraf inilah yang ingin dicapai manusia penyendiri Ibnu Bajjah.[16]
5.      Ibnu Thufail
Menurutnya, manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan dengan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya, dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruanya, pertama terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya akan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, pereungan atas esensi Tuhan dan perputaran atas esesnsi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Thufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban demi diri sendiri, demi yang lain-lain dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terahir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudanya dalam visi akan rahmat Tuhan. Dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[17]
6.      Ibnu Rusyd
Mengenai etika Ibnu Rusyd membenarkan teori Plato yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan kerja sama untuk memenuhi keperluan hidup dan mencapai kebahagiaan. Dalam merealisasikan kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir bagi manusia, diperlukan bantuan agama yang akan meletakkan dasar-dasar keutamaan akhlak secara praktis, juga bantuan filsafat yang mengajarkan keutamaan teoritis, untuk itu diperlukan kemampuan perhubungan dengan akal aktif.[18]
G.    WACANA ISLAM TENTANG KEBAIKAN
Dalam hal ini hanya ada beberapa filosof Islam yang akan saya bahas karena para filosof disini sangat erat kaitannya dengan pemikiran filosof barat sebelumnya mengenai etika. Karena etika ini tujuannya adalah untuk mencapai kebahagian seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Lebih lanjutnya menurut Plato dan Pristoteles kebahagiaan itu berada dalam kontemplasi rasional, yang merupakan kegiatan intelektual tertinggi, maka dari itu hanya segelincir manusia saja yang dapat merasakannya. Bisa dibilang hanya para elite intelektual yang benar-benar bisa mengenyam kebahagiaan dan hanya merekalah yang dapat berekembang ke derajat tertinggi.
Sebagai mana yang sama-sama kita ketahui bahwa dari sekian banyak filosof yang adda di dunia Islam ada beberapa yang memang sangat dipengaruhi oleh pemikiran aristoteles dan plato, seperti Al-Farabi, Ibnu Bajjah (Avempace), Ibnu Thufail Dan Ibnu Rusyd. Kita akan liai apa sepak terjang mereka ini dalam mengenai kebaikan tertinggi, saya akan awali dari pandangan Al-Farabi, mungkin kita tidak perlu terlalu terkejut dengan pola pikir beliau mengenai pembahasan kebaikan manusia ini, karena memang beliau adalah seorang yang sangat tekun dalam membaca karya Republic milik Plato, dan Nicomachean Ethics milik Aristoteles. Al-farabi memiliki dua pandangan yang saling bersaing mengenai kebahagiaan manusia. Pertama, pandangan yang sangat teoteris dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, Dan Al Siyasah Al-Madaniyyah. Kedua, pandangan yang berupa mengawinkan filsafat dan politik dengan gaya platonic dalam Tahshil Al Sa’dah. Al-Farabi mengadopsi konsepsi yang sepenuhnya apolitik tentang kebaikan, pandangan tentang ideal manusia seperti ini menimbulkan elitisme intelektual, sehingga kebahagiaan hakiki hanya hanya dicapai oleh sedikit orang, (sama halnya dengan pemikiran para filosof Yunani sebelumnya). Dan adapula manusia yang menurutnya mempunyai ideal yang lain dalam Thashil Al Sa’adah dia menyatakan :
“Ketika ilmu-ilmu teoteris terpisah dan pemiliknya tidak memiliki daya untuk mengembangkannya demi manfaat orang lain, ilmu-ilmu tersebut adalah filsafat yang cacat. Untuk mnejadi filosof yang benar-benar paripurna orang harus memiliki ilmu teoteris dan daya untuk menggalinya demi kepentingan orang lain sesuai kemampuannya. Jika kita mengkaji kehidupan filosof sejati, kita akan menemukan perbedaan antara dirinya dan penguasa tertinggi. Karena orang yang memiliki daya untuk menggali apa yang tersusun dari bahan-bahan teoteris demi kemaslahatan orang banyak mempunyai daya untuk mnejadikan bahan-bahan- itu dapat difahami, dan membuat sebagian bahan-bahan itu yang bergantung pada kehendak menjadi wujud actual. Semakin besar kemampuan dan kekuatan melakukan hal terakhir ini, semakin sempurnalah filsafatnya. Oleh karena itu hanya orang yang benar-benar sempurnalah yang mempunyai penglihatan meyakinkan, pertama kebajikan teoteris dan kedua, kebajikan praktis.”[19]
Kutipan ini sangat jelas bertentangan dengan ideal teoteris yang sebelumnya ia sebutkan. Disini dia sangat gamblang menggambarkan filosof itu sebagai nabi dan filsafat sebagai kenabian. Jika sebelumnya dia tidak memberikan perhatian pada arti penting, dan lebih tepat perlunya menerjemahkan teori ke dalam praktik, gambaran ini melihat keterkaitan penting antara keduanya, secara harfiah, ia mendefinisikan filsafat yang sejati sebagai kekuasaan politik yang tercerahkan. Seperti yang dikatakan oleh Plato, filosof sejati dan penguasa sejati adalah seharusnya satu.[20]
 Berangkat ke filosof selanjutnya kalau tadi kita dalam posisi ditimur sekarang kkita melangkah kebarat yang memerlukan waktu sekitar dua abad, maka kita akan sampai kepada pemikir Muslim Spanyol yang pemikirannya tentang kebaikan sangat bersebrangan dengan pemikiran Al-Farabi. Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail masing-masing mempunyai kesimpulan tersendiri mengnai hal ini, meraka mengisyaratkan dengan tegas ketidaksederajat antara filsafat dan politik. Bagi mereka kebaikan hanya terdapat pada aktivitas teori filsafat saja. Bagi mereka kembali ke kancah politik begitu berbahaya dan menakutkan karena ada kemungkinanan salah faham sehingga seorang individu yang ingin bahagia disarankan untuk hidup menyendiri. Menurut Ibnu Bajjah dalam karyanya Tadbir Al-Mutawahhid memfokuskan dirinya sendiri pada filosof dalam masyarakat yang tidak sempurna, yaitu dunia nyata. Menurutnya manusia-manusia seperti itu bagaikaan “rerumputan liar”. Rerumputan liar disini itu sangat mirip dengan filosof Platonik (Socrates) yang terus menerus menjauhkan diri dari masyarakatnya. Mengenai filosof  seperti itu Plato berkata: ia ibarat seseorang yang mencari perlindungan dibalik tembok kecil dari badai debu atau hujan badai yangdigerakan angina, dan melihat orang lain sibuk melanggar hokum filosof tersebut puas jika dapat menjalani kehidupannya yang bebas dari ketidak adilan dan perbuatan tercela. Bagi Plato dan Ibnu Bajjah (begitu juga dengan Ibnu Thufail nantinya),  agenda dan skala priorotas filosof dan keadaan maujud riil ada di dalam keterasingan, akibatnya filosof harus hidup dalam keterasingan, paling tidak ia tidak ikut ambil bagian dalam tujuan Negara yang ia tempati. Bagi Ibnu Bajjah, “rumput” liar hidup di tengah-tengah manusia, tetapi kesempurnaan rumput itu ditentukan oleh kesempurnaan sifat spiritulanya, memisahkan diri dari mereka yang tujuan hidupnya bersifat jasmaniyah. kisah simbolik dari Ibnu Thufail dalam hay ibn yaqzhan, hay mempelajari bahwa demi kesejahteraan dirinya dan keseluruhan manusia, ia harus hiduup mengasingkan diri secara fisik karena upaya mengajak manusia untuk hidup atas dasar kebijaksanaan (filsafat).[21] Hayy yang petapa kembali ketempat asalnya, seraya menyadari bahwa perasaan sayang, yang lahir tanpa pengalaman, yang mendorong keluar dari pulau tempat tingalnya disalahpahami secara bermusuhan. Menyadari bahwa kebanyakan manusia tidak lebih dari pada hewan yang berakal, sehingga ia memisahkan diri dari dunia politik untuk mencari kebijaksanaan. Pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini bahwa hanya sedikit manusia yang benar-benar bahagia, seperti yang diinginkan filsafat. Hanya filosof lah yang bisa menemukan rahasia-rahasia pencerahan, dan setelah menemukan kebenaran ia harus menerima kenyataan yang menyakitkan bahwa kebenaran tersebut tidak dapat dikomunikasikan kepada dunia yang lebih luas. Dengan demikian, filsafat dan politik tidak dapat dipertemukan.
Kemudian lanjut dalam pemikiran Ibnu Rusyd, ia hadir sebagai komentator Plato dan Aristo, ibdnu rusyd disni lebih mengingatkan kita kepada al-farabi. Al-farabi, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail semuanya berbicara tentang kebaikan manusia dan hubungan kebaikan manusia dengan dunia politik, namun menurutnya hanya al-farabi yang tidak pesimistik, sementara Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail di nilai pesimistik. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa filosof harus mencari jalan agar dapat mengabdi kepada masyarakat. Bagi Ibnu Rusyd kepemimpinan yang tercerahkan semacam itu adalah tanda nabi. Dan kenabian dalam pengertian kempimpinan yang tercerahkan ini adalah sesuatu yang ideal. Baginya yang ideal ini berakar pada hukum.dalam karyanya Fash Al-Maqal dia mengungkapkan dengan tegas bahwa hukum mewajibkan orang yang mampu mempelajari filsafat dan mengingat hukum itu ditetapkan untuk menjamin kesejahteraan segenap anggota masyarakat, termasuk mereka yang bukan filosof yang memerlukan ajaran.
Kebaikan manusia menurut Ibnu Rusyd tidak berbeda dengan pandangan para pendahulunya. Kebaikan meliputi studi filsafat. Ibnu Rusyd sama elitisnya dengan para pemikir lain yang kita diskusikan sebelumnya. Namun nuansa lain yang diberikannya pada pembahasan dalam mencapai kebaikan, menurutnya seseorang harus kembali ke masyarakat. Dengan ini kekahwatiran Platonik tentang ketidakserasian antara filsafat dan poltik dapat diatasi.[22]
H.    ANALISIS TENTANG KONSEP ETIKA PARA FILOSOF MUSLIM
Dari sini dapat dianalisis bahwa, beberapa konsep-konsep etika filosofis muslim mencerminkan pengaruh aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya tentang moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi sebagai filosof Muslim pertama, sangat dipengaruhi oleh Socrates. Pengaruh klasik lainnya bisa juga dilihat dalam karya-karya filosof beraliran Platonis seperti Abu Bakar al-Razi, yang mengikuti pembagian Plato tentang pembagian-pembagian jiwa, dan kalangan Neoplatonis seperti al-Farabi. Sementara pengaruh Aristotelian bisa juga dilihat dari al-Farabi, yang mendiskusikan tentang kejahatan.
Al-ghazali, yang sistem etikanya mencangkup moralitas filosofis, teologis dan sufi, adalah contoh yang paling representatif dari tipe etika religius. Terakhir Mulla Shadra, yang pemikirannya dipenuhi oleh elemen-elemen Ibnu Sina dan al-Ghazali,dapat dianggap sebagai wakil penting pada periode klasik dalam tulisan tentang etika, filsafat dan teologi.
Dalam beberapa konsep etika ini banyak para filosof yang menghubungkan etika ini dengan tujuan pencapaian kebahagiaan manusia didunia dan diakhirat diantaranya adalah, ada juga yang menghubungkan etika dengan jiwa, baik itu merupakan jiwa hewani, esensi non-bendawi, diantaranya maupun manusiawi. Selain itu masih ada juga yang menghubungkan moral atau etika dengan politik, rumah tangga dan menghubungkannya dengan keutamaan-keutamaan dengan mengerjakan perbuatan yang baik dan terpuji.




I.       KESIMPULAN
Kata etika, seringkali disebut pula dengan kata etik, atau ethics (bahasa Inggris), mengandung banyak pengertian. Dari segi etimologi (asal kata), istilah etika berasal dari kata Latin “Ethicos” yang berarti kebiasaan. Dengan demikian menurut pengertian yang asli, yang dikatakan baik itu apabila sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Kemudian lambat laun pengertian ini berubah, bahwa etika adalah suatu ilmu yang mebicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai tidak baik.
·         Kehadiran  para filosof telah memberikan warna tersendiri bagi kehidupan didunia ini. Setidaknya mereka mampu mengabstraksikan realitas yang dia lihat utamanya dalam konsep-konsepnya tentang etika. Diantara filosof yang menuangkan pemikirannya dalam pembahsan etika, diantaranya adalah: Al-Kindi, Al Razi, Al-Farabi, Al- Ghazali, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail, Ibnu Rusyd. Al-Farabi mengadopsi konsepsi yang sepenuhnya apolitik tentang kebaikan, pandangan tentang ideal manusia seperti ini menimbulkan elitisme intelektual, sehingga kebahagiaan hakiki hanya hanya dicapai oleh sedikit orang.
·         Bagi Ibnu Bajjah dan Ibnu Thufail kebaikan hanya terdapat pada aktivitas teori filsafat saja. Bagi mereka kembali ke kancah politik begitu berbahaya dan menakutkan karena ada kemungkinanan salah faham sehingga seorang individu yang ingin bahagia disarankan untuk hidup menyendiri.
·         Kebaikan manusia menurut Ibnu Rusyd tidak berbeda dengan pandangan para pendahulunya. Kebaikan meliputi studi filsafat. Ibnu Rusyd sama elitisnya dengan para pemikir lain yang kita diskusikan sebelumnya. Namun nuansa lain yang diberikannya pada pembahasan dalam mencapai kebaikan, menurutnya seseorang harus kembali ke masyarakat. Dengan ini kekahwatiran Platonik tentang ketidakserasian antara filsafat dan poltik dapat diatasi.



DAFTAR PUSTAKA
Leaman, Oliver, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003
Baqir, Haidar Buku Saku Filsafat Islam, Bandung :Mizan, 2005
Bertens,K Etika, Jakarta: Gramedia, 1993
Boy ZTF, Pradana, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh ,Malang : UMM Press, 2003
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam ,Jakarta : Bulan Bintang, 1986
Fakhry, Majid, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis ,Bandung : Mizan, 2001
Mustofa, H.A. , Filsafat Islam ,Bandung : Pustaka Setia, 1997 Sudarsono, Filsafat Islam ,Jakarta : Rineka Cipta, 1997
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam ,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999
Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Teori dan Praktek, Bandung: Pustaka Grafika, 1999
Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba
Sjafariah Widjajanti, Rosmaria Etika, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008
Syarif ,M.M., Para Filosof Muslim ,Jakarta : Mizan, 1993
Zar, Sirajudin, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya ,Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004


[1] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h. 1276
[2] Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, Bandung :Mizan, 2005, h. 189-190
[3] K Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 1993, h. 27
[4] Sarwoko, Pengantar Filsafat Ilmu Keperawatan, Jakarta: Salemba, h. 80
[5] Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan Teori dan Praktek, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h. 18
[6] Rosmaria Sjafariah Widjajanti, Etika, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 47-52
[7] daqoiqul.blogspot.com// diakses pada 14/12/2013, pukul 12:18
[8]Sudarsono, Filsafat Islam ,Jakarta : Rineka Cipta, 1997, h.28
[9] H.A. Mustofa, Filsafat Islam ,Bandung : Pustaka Setia, 1997,, h.110
[10] H.A. Mustofa, op,cit, h.111
[11] Sudarsono, op,cit, h.56
[12] M.M.Syarif, Para Filosof Muslim ,Jakarta : Mizan, 1993,h.48
[13] Majid fakhry, Sejarah Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis ,Bandung : Mizan, 2001,h.36
[14] Pradana Boy ZTF, Filsafat Islam : Sejarah Aliran dan Tokoh ,Malang : UMM Press, 2003,h.121
[15] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam ,Jakarta : Gaya Media Pratama, 1999,h.43
[16] Sirajudin zar, op,cit, h.240
[17]H.A Mustofa, op,cit h.279-280
[18] Hasyimsyah Nasution, op,cit, h.126
[19] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 1283
[20] Ibid
[21] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 1286
[22] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 1289

Tidak ada komentar:

Posting Komentar