KOSMOLOGI DAN BUDDHISME
A. Pendahuluan
Sejak masa yang tak
terhitung lamanya, manusia berusaha mencari tahu, bagaimanakah bumi,
planet-planet lain, dan galaksi dapat terbentuk, sehingga muncul satu
pertanyaan besar yaitu darimanakah asal muasal dari segala sesuatu dapat
terbentuk di alam semesta ini. Pada umumnya, pengamatan manusia ditutupi konsep
bahwa alam semesta harus memiliki awal, sehingga pengamatan terhadap alam
semesta selalu dihubungkan dengan awal untuk memuaskan segala rasa penasaran, hal
inilah yang terjadi bagi sebagian besar orang yang baru mengenal kosmologi.[1]
Kosmologi
yang merupakan cabang dari sains ternyata memiliki banyak persamaan dengan
agama Buddha, hal ini disebabkan karena ajaran Buddha berasal dari pemahaman
terhadap segala corak fenomena, baik yang bisa dideteksi oleh organ indera kita
maupun yang di luar kemampuan persepsi manusia melalui non-indera.
B.
Asal Mula Alam Semesta
Dalam
bahasa Pali, alam semesta adalah loka. Loka bukanlah perkataan yang sudah
tertentu pemakaiannya, tetapi meliputi material (rupa) dan immaterial (arupa),
dan pengertiannya sangat tergantung pada pemakaiannya. Namun pengertian yang
pokok tidak terlepas dari ajaran Buddha, yaitu sesuatu yang terbentuk dari sebab
yang mendahuluinya dan tidak kekal. Loka berakar dari kata “lok”, berati
melihat, secara umum menunjuk kepada segala sesuatu yang dapat ditanggapi oleh
panca indera dan pikiran manusia. Mulai
dari partikel atom yang anorganik sampai ada yang organik.[2]
Dewasa
ini, para ilmuwan telah menetapkan bahwa alam semesta kita merupakan
serangkaian pengembangan, penciutan, pengerutan, dan penghancuran dalam bentuk
ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus menerus tanpa
akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang tidak
berujung pangkal yang kemudian disebut teori pulsating[3]
dari alam semesta.
Sang
Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu, seperti apa yang beliau
jelaskan dalam Bhayaberava Sutta
(Sutta ke-4 dari Majjhima Nikaya):[4]
Ketika pikiranku yang terkonsentrasi
dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat
diarahkan, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada
kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, …, ratusan, ribuan, banyak kalpa[5]
penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.
Dalam hal ini, kita dapat langsung memahami bahwa proses
penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama. Buddhisme tetap berpendapat
bahwa teori Big Bang bukanlah awal dari semesta dan kehidupan itu
sendiri karena masih banyak terdapat kelemahan pada teori tersebut. Teori Big
Bang hanyalah salah satu mata rantai dari penyusutan dan pengembangan alam
semesta.
Menurut ajaran Sang Buddha alam semesta ini adalah ciptaan
yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Alam semesta
muncul karena hukum sebab akibat. Oleh karena itu ia disebut sebagai shankata dharma yang berarti ada, dan
mempunyai corak yang berubah, timbul dan lenyap. Oleh karena itu alam adalah shankara yang bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan (dukkha) dan bukan jiwa (atman), tidak mengandung suatu
substansi yang tidak bersyarat.[6]
Sesuai dengan
ajaran Sang Buddha tentang tiga corak umum (Tilakkhana),
dijelaskan bahwa alam semesta ini adalah selalu berproses dan tanpa inti yang
kekal. “Sang Tathagata mengingat
banyak kehidupan-Nya yang lampau (Pubbenivasanussatinana)
yakni satu kelahiran, dua, ..…. seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, banyak
kalpa kehancuran alam semesta (Samvattakappa)
dan banyak kalpa pembentukan alam semesta (Vivattakappa)”(M.I.1:
12, D.III.27)[7]
C.
Banyaknya Galaksi di Alam Semesta
Selanjutnya ilmu pengetahuan juga telah mengungkapkan akan
banyaknya galaksi[8] dan
dunia lain. Sang Buddha juga telah mengajarkannya seperti yang tertuang dalam Ananda Sutta (Angutara Nikaya III,
8,80):
Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika
lokadhatu (tata surya kecil)? ….. Ananda, sejauh matahari dan bulan
berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di
angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya
terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana,…..
Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika
lokadhatu). Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu
dinamakan “dvisahassi majjhimanika lokadhatu“. Ananda, seribu kali dvisahassi
majjhimanika lokadhatu dinamakan “tisahassi mahasahassi lokadhatu“.
Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaranya
sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi
itu lagi.[9]
Di sini Buddha menjelaskan terdapat
sistem tata surya yang disebut seribu tata surya di mana terdapat seribu
matahari, seribu bulan, dan seribu bumi di mana dapat ditemukan gunung Sineru
sebagai pusat bumi, Jambudipa (benua
di sebelah selatan), Aparayojana
(benua di sebelah barat), Uttarakuru
(benua di sebelah utara), dan Pubbavideha
(benua di sebelah timur) dengan empat maha samudera yang mengelilingnya. Di
masing-masing benua terdapat penguasanya masing-masing sehingga dikatakan terdapat
empat ribu maharaja dalam seribu tata surya tersebut. Selanjutnya dalam seribu
tata surya terdapat seribu alam surga yang diliputi nafsu inderawi (alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama,
Tusita, Nimmnarati, Paranimmitavassavati) dan seribu alam surga yang tidak
diliputi nafsu inderawi (alam Brahma).
Sesuai dengan kutipan di atas, dalam sebuah dvisahassi
majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya.
Sedangkan dalam tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x
1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu
milyar tata surya saja, tetapi juga masih jauh melampauinya. Ajaran ini
benar-benar sesuai dengan kosmologi modern.
Satu tisahassi mahasahassi lokadhatu kadang-kadang
diistilahkan dengan “Sistem Dunia Besar”. Pada Sutta-Sutta Buddhis, banyak
ditemukan konsep jumlah sistem dunia yang tak terbatas banyaknya, dimana jumlah
sistem dunia melebihi jumlah pasir halus yang ada di sungai Gangga. Bagi
Buddhisme, kemungkinan adanya kehidupan di planet lain bukanlah suatu hal yang
mengherankan, karena Sutta-Sutta Buddhis telah mengatakan bahwa bumi bukanlah
satu-satunya planet yang mempunyai kehidupan dan juga bukan planet pertama yang
mempunyai makhluk hidup.[10]
Bumi yang kita diami adalah bagian dari alam semesta. Di alam
semesta terdiri dari banyak tata surya. Tata surya adalah sebutan untuk satu
sistem dunia atau galaksi.
Seribu tata surya kecil itu disebut
Sistem Dunia Minor (Minor World System) yang dalam konsep modern disebut
sebagai Galaksi Tunggal. Bumi yang kita huni ini hanyalah salah satu dari
sekian banyak bumi yang ada di alam semesta ini. Kehancuran dunia menurut agama
Buddha adalah kehancuran satu sistem tata surya. Waktu terjadinya kehancuran
bumi tidak dikatakan secara jelas, tetapi berdasarkan Cakkavattisihanada Sutta yang menjelaskan bahwa usia manusia
sekarang ini sedang menurun menjadi pendek. Pada suatu waktu usia manusia hanya
rata-rata 10 tahun, usia 10 tahun ini akan berlangsung lama, kemudian usia
manusia bertambah panjang hingga pada suatu saat panjang usia manusia mencapai
rata-rata 80.000 tahun, pada masa itu Buddha Metteya muncul di dunia (di bumi
kita) (D. III, 27). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehidupan bumi ini
masih akan berlangsung lama hingga Buddha Metteya muncul dan setelah itu
barulah kehancuran bumi terjadi. Dengan kata lain kehancuran bumi baru akan
terjadi pada masa yang masih sangat lama sekali.[11]
Dalam Visudha Maga 2204, loka dibeda-bedakan
atas shankaraloka, sattaloka dan okkasaloka. Shankaraloka adalah alam untuk makhluk yang tidak memiliki kehendak,
seperti benda-benda mati dan seluruh sumber alamiah yang dibutuhkan
manusia. Termasuk dalam pengertia ini
adalah alam hayat yang tidak memiliki kehendak dan alam pikiran seperti opini,
ide dan sebagainya. Sattaloka adalah
alam makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah
hingga makhluk yang tinggi, terlihat ataupun tidak, seperti syetan, manusia,
dewa dan brahma. Makhluk-makhluk tersebut dibesarkan bukan berdasarkan bentuk jasmaniahnya melainkan bentuk batin atau hal
yang menguasai pikiran dan suka duka sebagai akibatnya. Okkasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk di
atasnya, seperti bumi adalah okkasaloka tempat manusia hidup dan makhluk
lainnya. Dan lain sebagainya.[12]
D. Bentuk-Bentuk
Galaksi di Alam Semesta
Sang Buddha mengajarkan aneka bentuk galaksi yang ada di alam
sernesta ini sebagaimana yang ada pada Avatamsaka
Sutta bab 4:
Putra-putra Buddha, sistem-sistem
dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda.
Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat
bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Ada
perbedaan (bentuk) yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran,
beberapa seperti gunung, beberapa seperti kilatan cahaya, beberapa seperti
pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti
makhluk hidup, beberapa seperti Buddha.[13]
Menurut hasil pengamatan, beberapa galaksi
seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral (pusaran),
beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat), beberapa
berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti galaksi
Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti makhluk hidup
misalnya Nebula Kepala Kuda.Galaksi yang berbentuk seperti pusaran
misalnya galaksi kita sendiri yaitu Bimasakti [14]dan
galaksi terdekat yaitu Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup
misalnya yaitu Nebula Kepala Kuda (Horse Head Nebula).
Edwin Hubble
menggolongkan Galaksi-Galaksi itu menurut bentuknya. Dari enam ratus Galaksi-Galaksi
yang diselidiki, ia membaginya menjadi empat golongan, yaitu: Galaksi yang
bentuknya elliptical, Galaksi yang bentuknya spiral, Galaksi yang bentuknya
spiral berjajar atau bergaris-garis (barred spiral), dan Galaksi yang bentuknya
tidak teratur (irregular) atau ajaib (peculiar). Kepustakaan Buddhis yang ada
di masa-masa awal dari perkembangannya, mempergunakan istilah dalam bahasa Pali: Cakkavala, sebagai salah satu
sinonimnya dari Sistem Dunia ( World System). Tetapi, salah satu dari makna
kata Cakkavala itu juga berarti Roda,
dan ini secara suggestif, mengingatkan kita kepada jenis Galaksinya Hubble,
yang dinamai jenis bentuk spiral. Bentuk-bentuk lainnya tidak disebutkan.
Memperbandingkan sebuah Galaksi yang bentuknya spiral, dengan bentuk roda,
sangatlah bersesuaian, sama seperti yang sekarang ini telah kita ketahui, yaitu
bahwa banyak entitas-entitas cosmic (benda-benda angkasa) yang tidak hanya
bentuknya seperti spiral, tetapi juga berotasi, berputar, didalam cara seperti
jalannya roda. Didalam Galaksi Bima Sakti kita, misalnya, rotasi yang
sedemikian itu membawa Matahari dan sistem-sistem planetnya, mengelilingi
keseluruhan bagian dari Galaksi, sekali setiap 250 juta tahun.[15]
E.
Lama Pembentukan Planet Bumi
Menurut agama Buddha, periode dari terbentuknya alam semesta sampai dengan
kehancurannya disebut mahakappa atau mahakalpa. Lamanya satu siklus semesta
atau satu mahakappa tidak pernah
dihitung dalam angka tahun yang pasti, tetapi hanya dikatakan sangat lama.
Buddha menjelaskan lamanya satu mahakappa
sebagai berikut:
Andaikan, para bhikkhu, terdapat sebuah batu besar yang bermassa padat,
satu mil panjangnya, satu mil lebarnya, satu mil tingginya, tanpa ada retak
atau cacat, dan setiap seratus tahun sekali seseorang akan datang dan
menggosoknya dengan sehelai kain sutra, maka batu tersebut akan aus dan habis
lebih cepat daripada satu siklus dunia. Namun dari siklus-siklus dunia
tersebut, para bhikkhu, banyak yang telah dilewati, beratus-ratus, beribu-ribu,
beratus-ratus ribu. Bagaimana hal ini mungkin? Tidak terbayangkan, para
bhikkhu, lingkaran kehidupan (samsara) ini, tidak dapat ditemukan awal mula
dari makhluk pertama, yang dihalangi oleh ketidaktahuan dan diliputi oleh nafsu
keinginan, berkelana ke sana ke mari dalam lingkaran kelahiran kembali ini. (Samyutta Nikaya, XV:5)[16]
Sang Buddha menyatakan bahwa terjadi 4 fase dalam kehidupan
suatu sistem dunia, yaitu fase kekosongan, fase pembentukan, fase kediaman, dan
fase kehancuran. Masing-masing fase tersebut berlangsung sangat lama, dimana
dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa
kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan rujukan ini, maka masa
pembentukan planet bumi (fase pernbentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000
tahun atau hampir 3 milyar tahun lamanya.
Fase pembentukan
planet bumi selama 2,78 milyar tahun tersebut belum termasuk fase kediaman
(adanya makhluk hidup yang berdiam). Menurut Buddhisme, fase kediaman sudah
memasuki pertengahan kalpa ke-11. Bila digabungkan fase pembentukan bumi dengan
fase kediaman yang sudah memasuki kalpa ke-11, maka total umur bumi menurut
Buddhisme adalah 4,38 milyar tahun (2,78 milyar + 11,5 x 139,6 juta). Adapun
menurut estimasi ahli geologi, urnur bumi adalah sekitar 4,55 milyar tahun.
F.
Jarak Antara Bumi dan Bulan
Dapat dilihat kutipan sebuah bait dari Salistamba Sutta ayat
37 yang berbunyi demikian (versi bahasa Mandarin dan Tibet):
Lebih jauh lagi Sariputta, hal tersebut bagaikan
rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana[17]
dari bumi.
Dapat
dikatakan 42.000 yojana adalah sekitar 420.000 km. Hal ini sangat dekat dengan
jarak yang sebenarnya dari bumi ke bulan, yakni sekitar 400.000 km. Akurasi
dalam perhitungan jarak bulan dari bumi bisa dianggap sebagai hal yang luar
biasa untuk zaman itu, karena peralatan astronomi modern belum ada sama sekali
pada masa kehidupan Sang Buddha.[18]
G.
Kesimpulan
Sang Buddha telah menjelaskan tentang keberadaan alam semesta
ini dalam beberapa khotbahnya. Sesuai dengan ajaran Sang Buddha tentang tiga
corak umum (Tilakkhana), dijelaskan bahwa alam semesta ini adalah selalu
berproses dan tanpa inti yang kekal. Seribu tata surya kecil itu disebut Sistem
Dunia Minor (Minor World System) yang dalam konsep modern disebut sebagai Galaksi
Tunggal. Bumi yang kita huni ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bumi
yang ada di alam semesta ini.
Sistem-sistem dunia (galaksi)
tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa
diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat bentuknya,
beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Demikianlah, nanti
akan kita ketahui bahwa naskah-naskah Buddhis, dari aliran Mahayana, yang
walaupun mempergunakan simbolisme yang puitis, namun mengungkapkan banyak
deskripsi-deskripsi yang realistis.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
H.A Mukti (Pengantar), Agama-Agama di
Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Taniputera,
Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Yayasan Penerbit Karaniya, Anggota
IKAPL, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar