Halaman

Senin, 11 Mei 2015

kosmologi budhisme



KOSMOLOGI DAN BUDDHISME


A.    Pendahuluan
Sejak masa yang tak terhitung lamanya, manusia berusaha mencari tahu, bagaimanakah bumi, planet-planet lain, dan galaksi dapat terbentuk, sehingga muncul satu pertanyaan besar yaitu darimanakah asal muasal dari segala sesuatu dapat terbentuk di alam semesta ini. Pada umumnya, pengamatan manusia ditutupi konsep bahwa alam semesta harus memiliki awal, sehingga pengamatan terhadap alam semesta selalu dihubungkan dengan awal untuk memuaskan segala rasa penasaran, hal inilah yang terjadi bagi sebagian besar orang yang baru mengenal kosmologi.[1]
Kosmologi yang merupakan cabang dari sains ternyata memiliki banyak persamaan dengan agama Buddha, hal ini disebabkan karena ajaran Buddha berasal dari pemahaman terhadap segala corak fenomena, baik yang bisa dideteksi oleh organ indera kita maupun yang di luar kemampuan persepsi manusia melalui non-indera.
B.     Asal Mula Alam Semesta
Dalam bahasa Pali, alam semesta adalah loka. Loka bukanlah perkataan yang sudah tertentu pemakaiannya, tetapi meliputi material (rupa) dan immaterial (arupa), dan pengertiannya sangat tergantung pada pemakaiannya. Namun pengertian yang pokok tidak terlepas dari ajaran Buddha, yaitu sesuatu yang terbentuk dari sebab yang mendahuluinya dan tidak kekal. Loka berakar dari kata “lok”, berati melihat, secara umum menunjuk kepada segala sesuatu yang dapat ditanggapi oleh panca indera  dan pikiran manusia. Mulai dari partikel atom yang anorganik sampai ada yang organik.[2]
Dewasa ini, para ilmuwan telah menetapkan bahwa alam semesta kita merupakan serangkaian pengembangan, penciutan, pengerutan, dan penghancuran dalam bentuk ledakan besar (Big Bang) yang berlangsung secara terus menerus tanpa akhir. Dengan kata lain, ini adalah suatu rangkaian fenomena yang tidak berujung pangkal yang kemudian disebut teori pulsating[3] dari alam semesta.
Sang Buddha telah mengajarkan hal yang sama 2500 tahun yang lalu, seperti apa yang beliau jelaskan dalam Bhayaberava Sutta (Sutta ke-4 dari Majjhima Nikaya):[4]
Ketika pikiranku yang terkonsentrasi dengan demikian termurnikan, tidak tercela, mengatasi semua kekotoran, dapat diarahkan, mudah diarahkan, serta tenang, Aku memusatkannya pada kelahiran-kelahiran yang lampau, satu, dua, …, ratusan, ribuan, banyak kalpa[5] penyusutan dunia, banyak kalpa pengembangan dan penyusutan dunia.
Dalam hal ini, kita dapat langsung memahami bahwa proses penyusutan dan pengerutan tersebut berlangsung sangat lama. Buddhisme tetap berpendapat bahwa teori Big Bang bukanlah awal dari semesta dan kehidupan itu sendiri karena masih banyak terdapat kelemahan pada teori tersebut. Teori Big Bang hanyalah salah satu mata rantai dari penyusutan dan pengembangan alam semesta.
Menurut ajaran Sang Buddha alam semesta ini adalah ciptaan yang timbul dari sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Alam semesta muncul karena hukum sebab akibat. Oleh karena itu ia disebut sebagai shankata dharma yang berarti ada, dan mempunyai corak yang berubah, timbul dan lenyap. Oleh karena itu alam adalah shankara yang  bersifat tidak kekal, selalu dalam perubahan (dukkha) dan bukan jiwa (atman), tidak mengandung suatu substansi yang tidak bersyarat.[6]
Sesuai dengan ajaran Sang Buddha tentang tiga corak umum (Tilakkhana), dijelaskan bahwa alam semesta ini adalah selalu berproses dan tanpa inti yang kekal. “Sang Tathagata mengingat banyak kehidupan-Nya yang lampau (Pubbenivasanussatinana) yakni satu kelahiran, dua, ..…. seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, banyak kalpa kehancuran alam semesta (Samvattakappa) dan banyak kalpa pembentukan alam semesta (Vivattakappa)”(M.I.1: 12, D.III.27)[7]
C.     Banyaknya Galaksi di Alam Semesta
Selanjutnya ilmu pengetahuan juga telah mengungkapkan akan banyaknya galaksi[8] dan dunia lain. Sang Buddha juga telah mengajarkannya seperti yang tertuang dalam Ananda Sutta (Angutara Nikaya III, 8,80):
Ananda, apakah kau pernah mendengar tentang seribu culanika lokadhatu (tata surya kecil)? ….. Ananda, sejauh matahari dan bulan berotasi pada garis orbitnya, dan sejauh pancaran sinar matahari dan bulan di angkasa, sejauh itulah luas seribu tata surya. Di dalam seribu tata surya terdapat seribu matahari, seribu bulan, seribu Sineru, seribu Jambudipa seribu Aparayojana, seribu Uttarakuru, seribu Pubbavidehana,….. Inilah, Ananda, yang dinamakan seribu tata surya kecil (sahassi culanika lokadhatu). Ananda, seribu kali sahassi culanika lokadhatu dinamakan “dvisahassi majjhimanika lokadhatu“. Ananda, seribu kali dvisahassi majjhimanika lokadhatu dinamakan “tisahassi mahasahassi lokadhatu“. Ananda, bilamana Sang Tathagata mau, maka ia dapat memperdengarkan suaranya sampai terdengar di tisahassi mahasahassi lokadhatu, ataupun melebihi itu lagi.[9]
Di sini Buddha menjelaskan terdapat sistem tata surya yang disebut seribu tata surya di mana terdapat seribu matahari, seribu bulan, dan seribu bumi di mana dapat ditemukan gunung Sineru sebagai pusat bumi, Jambudipa (benua di sebelah selatan), Aparayojana (benua di sebelah barat), Uttarakuru (benua di sebelah utara), dan Pubbavideha (benua di sebelah timur) dengan empat maha samudera yang mengelilingnya. Di masing-masing benua terdapat penguasanya masing-masing sehingga dikatakan terdapat empat ribu maharaja dalam seribu tata surya tersebut. Selanjutnya dalam seribu tata surya terdapat seribu alam surga yang diliputi nafsu inderawi (alam Catummaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmnarati, Paranimmitavassavati) dan seribu alam surga yang tidak diliputi nafsu inderawi (alam Brahma).
Sesuai dengan kutipan di atas, dalam sebuah dvisahassi majjhimanika lokadhatu terdapat 1.000 x 1.000 = 1.000.000 tata surya. Sedangkan dalam tisahassi mahasahassi lokadhatu terdapat 1.000.000 x 1.000 = 1.000.000.000 tata surya. Alam semesta bukan hanya terbatas pada satu milyar tata surya saja, tetapi juga masih jauh melampauinya. Ajaran ini benar-benar sesuai dengan kosmologi modern.
Satu tisahassi mahasahassi lokadhatu kadang-kadang diistilahkan dengan “Sistem Dunia Besar”. Pada Sutta-Sutta Buddhis, banyak ditemukan konsep jumlah sistem dunia yang tak terbatas banyaknya, dimana jumlah sistem dunia melebihi jumlah pasir halus yang ada di sungai Gangga. Bagi Buddhisme, kemungkinan adanya kehidupan di planet lain bukanlah suatu hal yang mengherankan, karena Sutta-Sutta Buddhis telah mengatakan bahwa bumi bukanlah satu-satunya planet yang mempunyai kehidupan dan juga bukan planet pertama yang mempunyai makhluk hidup.[10]
Bumi yang kita diami adalah bagian dari alam semesta. Di alam semesta terdiri dari banyak tata surya. Tata surya adalah sebutan untuk satu sistem dunia atau galaksi.
Seribu tata surya kecil itu disebut Sistem Dunia Minor (Minor World System) yang dalam konsep modern disebut sebagai Galaksi Tunggal. Bumi yang kita huni ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bumi yang ada di alam semesta ini. Kehancuran dunia menurut agama Buddha adalah kehancuran satu sistem tata surya. Waktu terjadinya kehancuran bumi tidak dikatakan secara jelas, tetapi berdasarkan Cakkavattisihanada Sutta yang menjelaskan bahwa usia manusia sekarang ini sedang menurun menjadi pendek. Pada suatu waktu usia manusia hanya rata-rata 10 tahun, usia 10 tahun ini akan berlangsung lama, kemudian usia manusia bertambah panjang hingga pada suatu saat panjang usia manusia mencapai rata-rata 80.000 tahun, pada masa itu Buddha Metteya muncul di dunia (di bumi kita) (D. III, 27). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehidupan bumi ini masih akan berlangsung lama hingga Buddha Metteya muncul dan setelah itu barulah kehancuran bumi terjadi. Dengan kata lain kehancuran bumi baru akan terjadi pada masa yang masih sangat lama sekali.[11]
Dalam Visudha Maga 2204, loka dibeda-bedakan atas shankaraloka, sattaloka dan okkasaloka. Shankaraloka adalah alam untuk makhluk yang tidak memiliki kehendak, seperti benda-benda mati dan seluruh sumber alamiah yang dibutuhkan manusia.  Termasuk dalam pengertia ini adalah alam hayat yang tidak memiliki kehendak dan alam pikiran seperti opini, ide dan sebagainya. Sattaloka adalah alam makhluk hidup yang mempunyai kehendak mulai dari makhluk yang rendah hingga makhluk yang tinggi, terlihat ataupun tidak, seperti syetan, manusia, dewa dan brahma. Makhluk-makhluk tersebut dibesarkan bukan berdasarkan bentuk  jasmaniahnya melainkan bentuk batin atau hal yang menguasai pikiran dan suka duka sebagai akibatnya. Okkasaloka adalah alam tempat. Disini terdapat dan hidup makhluk di atasnya, seperti bumi adalah okkasaloka tempat manusia hidup dan makhluk lainnya. Dan lain sebagainya.[12]
D.  Bentuk-Bentuk Galaksi di Alam Semesta
Sang Buddha mengajarkan aneka bentuk galaksi yang ada di alam sernesta ini sebagaimana yang ada pada Avatamsaka Sutta bab 4:
Putra-putra Buddha, sistem-sistem dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Ada perbedaan (bentuk) yang tak terhitung. Beberapa bentuknya seperti pusaran, beberapa seperti gunung, beberapa seperti kilatan cahaya, beberapa seperti pohon, beberapa seperti bunga, beberapa seperti istana, beberapa seperti makhluk hidup, beberapa seperti Buddha.[13]
Menurut hasil pengamatan, beberapa galaksi seperti galaksi Bima Sakti kita dan Andromeda berbentuk spiral (pusaran), beberapa seperti galaksi M47 dan M89 berbentuk elips (bulat), beberapa berbentuk tidak beraturan (tidak bulat dan tidak segiempat) seperti galaksi Awan Magellan dan M82, dan beberapa lainnya berbentuk seperti makhluk hidup misalnya Nebula Kepala Kuda.Galaksi yang berbentuk seperti pusaran misalnya galaksi kita sendiri yaitu Bimasakti [14]dan galaksi terdekat yaitu Andromeda. Galaksi yang berbentuk seperti makhluk hidup misalnya yaitu Nebula Kepala Kuda (Horse Head Nebula).
Edwin Hubble menggolongkan Galaksi-Galaksi itu menurut bentuknya. Dari enam ratus Galaksi-Galaksi yang diselidiki, ia membaginya menjadi empat golongan, yaitu: Galaksi yang bentuknya elliptical, Galaksi yang bentuknya spiral, Galaksi yang bentuknya spiral berjajar atau bergaris-garis (barred spiral), dan Galaksi yang bentuknya tidak teratur (irregular) atau ajaib (peculiar). Kepustakaan Buddhis yang ada di masa-masa awal dari perkembangannya, mempergunakan istilah dalam bahasa Pali: Cakkavala, sebagai salah satu sinonimnya dari Sistem Dunia ( World System). Tetapi, salah satu dari makna kata Cakkavala itu juga berarti Roda, dan ini secara suggestif, mengingatkan kita kepada jenis Galaksinya Hubble, yang dinamai jenis bentuk spiral. Bentuk-bentuk lainnya tidak disebutkan. Memperbandingkan sebuah Galaksi yang bentuknya spiral, dengan bentuk roda, sangatlah bersesuaian, sama seperti yang sekarang ini telah kita ketahui, yaitu bahwa banyak entitas-entitas cosmic (benda-benda angkasa) yang tidak hanya bentuknya seperti spiral, tetapi juga berotasi, berputar, didalam cara seperti jalannya roda. Didalam Galaksi Bima Sakti kita, misalnya, rotasi yang sedemikian itu membawa Matahari dan sistem-sistem planetnya, mengelilingi keseluruhan bagian dari Galaksi, sekali setiap 250 juta tahun.[15]
E.     Lama Pembentukan Planet Bumi
Menurut agama Buddha, periode dari terbentuknya alam semesta sampai dengan kehancurannya disebut mahakappa atau mahakalpa. Lamanya satu siklus semesta atau satu mahakappa tidak pernah dihitung dalam angka tahun yang pasti, tetapi hanya dikatakan sangat lama. Buddha menjelaskan lamanya satu mahakappa sebagai berikut:
Andaikan, para bhikkhu, terdapat sebuah batu besar yang bermassa padat, satu mil panjangnya, satu mil lebarnya, satu mil tingginya, tanpa ada retak atau cacat, dan setiap seratus tahun sekali seseorang akan datang dan menggosoknya dengan sehelai kain sutra, maka batu tersebut akan aus dan habis lebih cepat daripada satu siklus dunia. Namun dari siklus-siklus dunia tersebut, para bhikkhu, banyak yang telah dilewati, beratus-ratus, beribu-ribu, beratus-ratus ribu. Bagaimana hal ini mungkin? Tidak terbayangkan, para bhikkhu, lingkaran kehidupan (samsara) ini, tidak dapat ditemukan awal mula dari makhluk pertama, yang dihalangi oleh ketidaktahuan dan diliputi oleh nafsu keinginan, berkelana ke sana ke mari dalam lingkaran kelahiran kembali ini. (Samyutta Nikaya, XV:5)[16]
Sang Buddha menyatakan bahwa terjadi 4 fase dalam kehidupan suatu sistem dunia, yaitu fase kekosongan, fase pembentukan, fase kediaman, dan fase kehancuran. Masing-masing fase tersebut berlangsung sangat lama, dimana dalam bahasa Buddhis disebut memakan waktu 20 kalpa menengah, dimana satu kalpa kecil memakan waktu 139.600.000 tahun. Berdasarkan rujukan ini, maka masa pembentukan planet bumi (fase pernbentukan) memerlukan waktu 2.780.000.000 tahun atau hampir 3 milyar tahun lamanya.
Fase pembentukan planet bumi selama 2,78 milyar tahun tersebut belum termasuk fase kediaman (adanya makhluk hidup yang berdiam). Menurut Buddhisme, fase kediaman sudah memasuki pertengahan kalpa ke-11. Bila digabungkan fase pembentukan bumi dengan fase kediaman yang sudah memasuki kalpa ke-11, maka total umur bumi menurut Buddhisme adalah 4,38 milyar tahun (2,78 milyar + 11,5 x 139,6 juta). Adapun menurut estimasi ahli geologi, urnur bumi adalah sekitar 4,55 milyar tahun.
F.      Jarak Antara Bumi dan Bulan
Dapat dilihat kutipan sebuah bait dari Salistamba Sutta ayat 37 yang berbunyi demikian (versi bahasa Mandarin dan Tibet):
Lebih jauh lagi Sariputta, hal tersebut bagaikan rembulan pada langit yang indah, yang berjarak 42.000 yojana[17] dari bumi.
Dapat dikatakan 42.000 yojana adalah sekitar 420.000 km. Hal ini sangat dekat dengan jarak yang sebenarnya dari bumi ke bulan, yakni sekitar 400.000 km. Akurasi dalam perhitungan jarak bulan dari bumi bisa dianggap sebagai hal yang luar biasa untuk zaman itu, karena peralatan astronomi modern belum ada sama sekali pada masa kehidupan Sang Buddha.[18]
G.      Kesimpulan
Sang Buddha telah menjelaskan tentang keberadaan alam semesta ini dalam beberapa khotbahnya. Sesuai dengan ajaran Sang Buddha tentang tiga corak umum (Tilakkhana), dijelaskan bahwa alam semesta ini adalah selalu berproses dan tanpa inti yang kekal. Seribu tata surya kecil itu disebut Sistem Dunia Minor (Minor World System) yang dalam konsep modern disebut sebagai Galaksi Tunggal. Bumi yang kita huni ini hanyalah salah satu dari sekian banyak bumi yang ada di alam semesta ini.
            Sistem-sistem dunia (galaksi) tersebut memiliki aneka bentuk dan sifat yang berbeda. Jelasnya, beberapa diantaranya bulat bentuknya, beberapa diantaranya segi empat bentuknya, beberapa diantaranya tidak bulat dan tidak pula segi empat. Demikianlah, nanti akan kita ketahui bahwa naskah-naskah Buddhis, dari aliran Mahayana, yang walaupun mempergunakan simbolisme yang puitis, namun mengungkapkan banyak deskripsi-deskripsi yang realistis.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.A Mukti (Pengantar), Agama-Agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988.
Taniputera, Ivan, Sains Modern dan Buddhisme. Yayasan Penerbit Karaniya, Anggota IKAPL, 2003.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar