Halaman

Kamis, 13 Juni 2013

suhrawardi al-maqtul



SUHRAWARDI AL-MAQTUL

            Syihâb Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futuh Suhrawardî Ia sangat dikenal sebagai pendiri mazhab Iluminasi (Syaikh Al-Isyrâq), yaitu suatu sebutan pembeda dengan Falsafat paripatetik[1]. Ia lahir di kota kecil yaitu Suhraward di Persia barat laut pada tahun 549 H/1154 M. Dan beliau meninggal dengan di eksekusi pada tahun 587 H/ 1191 M di Aleppo. Atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, yang pada waktu itu dipengaruhi oleh para cendikiawan pada masa itu. Oleh karena itulah ia digelari Al-Maqtul (yang dibunuh).
            Pertama-tama Suhrawardi belajar Falsafah dan Teologi kepada Majd Al-Din Al_Jili, kemudian Ia mengembara ke Ishfan untuk belajar kepada Fakhr Al-Din Al-Mardini (w, 594 H/ 1198 M), konon beliaulah yang meramalkan kematian Suhrawardi.[2] Selain itu Suhrawardi juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara asketis.[3]
            Suhrawardi adalah seorang penulis yang cukup produktif yang kebanyakan karyanya tentang persoalan Filsafat. Seperti Hikmah Al- Isyraq, Al- Talwihat, Hayakil Al- Nur, Al- Muqawimat, Al- Mutharibat Al-Wah Al-Imadiyah, Al- Masyari wa Al- Mutharahat, dan sebagian juga ada tulisan tentang doa-doa.[4] Akan tetapi dari sekian daftar karya yang ada diatas ada satu karangan yang paling penting yang menjadi dasar alirannya yaitu Hikmah Al-Isyraq (Iluminasi).
            Filsafat Iluminasi, yang digambarkan oleh Suhrawardi, terdiri atas tiga tahapan yang menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan pengamalam. Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan pada diri filosof : ia harus meninggalkan dunia agar mudah menerima pengalaman. Tahap kedua, adalah tahap Iluminasi ( pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) “Cahaya Ilahi”. Tahap ketiga,yakni tahap konstruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapain pengetahuan tak terbatas, dan tahap keempat, yag terakhir adalah pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi tahap ketiga dan keempat, seperti didokumentasikan dalam tulisan-tulisan Suhrawardi.
            Teori Suhrawardi mengandung unsur platonik yang mensyaratkan bahwa dengan definisi kita pada dasarnya berusaha mengetahui bentuk-bentuk atau mendapatkan pengetahuan melalui iluminasi, yang disamakan dengan “Cahaya” suatu perinsip riil mendasar dari metafisika           iluminasionis. Baginya cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri. Jika ada sesuatu yang tidak perlu didefinisikan berarti sesuatu itu sudah sangat jelas dengan sendirinya, karena tidak ada yang lebih jelas dari pada cahaya, melebihi sesuatu yang lain cahaya tidak membutuhkan definisi.
            Sistem iluminasi dimulai dengan keabshan mutlak intuisi primer dari subyek yang mengetahui yang niscaya dan senantiasa sadar  akan ke Akuan_Nya yang mendahului eksistensi. Dalam filsafat iluminasi kesadaran diri dan entitas yang sadar diri dilukisakan sebagai cahaya dan meliputi semua realitas.
            Berdasarkan teori iluminasi, esensi manusia yaitu kebenaran yang mendasari simbol manusia,dapat ditemukan kembali oleh subyektif. Tindakan penemuan kembali ini merupakan terjemahan simbol itu bagi padanannya dalam kesadaran. Karena jiwa adalah sumber segala sesuatu yang dengannya gagasan tentang kemanusiaan diturunkan, dan jiwa adalah sesuatu yang terdekat oleh manusia, melalui jiwalah seseorang bisa menyadari, pertama-tama, esensi mausia dan esensi segala sesuatu.[5]
            Dalam pengantarnya pada Hikmah Al-Isyraq, Suhrawardi membahas tentang cara bagaimana landasan pengetahuan iluminasionis yang diperolehnya, sebagai berikut : “Aku, ,mula-mula, tidak memperoleh (filsafat iluminasi) melalui berfikir, tetapi melalui sesuatu yang lain, aku mencari pembuktian-pembuktian lebih lanjut baginya. Artinya perinsip filsafat iluminasi itu menurutnya serupa dengan visi yang pertama, dan dengan pengetahuan tentang keseluruhan, Suhrawardi sendiri memporeh itu bukan melalui pemikiran dan spekulasi, melainkan melalui sesuatu yang lain.[6]
            Menurut Suhrawardi Wujud bagi esensi tidaklah sama dengan predikat bagi subyek yang diduga sementra orang. Karena atas dasar bahwa esensi tidak akan ada sebelum, sesudah atau bersamaan waktunya dengan wujud dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga yang partikuler tidak menjelma melalui wujud yang menentukan esensinya, melainkan terlepas darinya atau berada disampingnya. Namun hal itu sangat ganjil sekali. Dalam masalah wujud Ia mengkirtik terhadap pembuktiaan Ibnu Sina mengenai eksistensi wujud, atas dasar bahwa ia sama sekali dialektis, karena Ibnu Sina mempertahankan wujud adalah sebuiah aksiden yang dibubuhkan kepada esensi, dan kerana itu esensi yang telah mendahului eksistensi terbukti salah. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan sebuah sebab, karena nya seluruh entitas yang mungkin didunia ini membutuhkan sebab yang seperti itu. Karena ia harus membetuk bagian rangkaian itu dalam dirinya sendiri, maka ia membutuhkn sebuah sebab lain dan seterusnya Ad In Finitum. padahal sebuah rangkai tak terbatas adalah rancu. Karena itu wujud niscaya haruslah menjadi dasar rangkaian itu.[7]
Terima kasih
animasi bergerak.gif


[1] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 544
[2] Ibid
[3] A, Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Cv, Pustaka Setia, 1999, h 248
[4] ibid
[5] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 566
[6] Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 569
[7] A, Mustofa, Filsafat Islam, Bandung, Cv, Pustaka Setia, 1999, h 253

Tidak ada komentar:

Posting Komentar