SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Syihâb
Al-Dîn Yahyâ ibn Habasy ibn Amîrak Abû Al-Futuh Suhrawardî Ia sangat
dikenal sebagai pendiri mazhab Iluminasi (Syaikh Al-Isyrâq), yaitu suatu
sebutan pembeda dengan Falsafat paripatetik[1].
Ia lahir di kota kecil yaitu Suhraward di Persia barat laut pada tahun 549
H/1154 M. Dan beliau meninggal dengan di eksekusi pada tahun 587 H/ 1191 M di
Aleppo. Atas perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, yang pada waktu itu dipengaruhi
oleh para cendikiawan pada masa itu. Oleh karena itulah ia digelari Al-Maqtul
(yang dibunuh).
Pertama-tama
Suhrawardi belajar Falsafah dan Teologi kepada Majd Al-Din Al_Jili, kemudian Ia
mengembara ke Ishfan untuk belajar kepada Fakhr Al-Din Al-Mardini (w, 594 H/
1198 M), konon beliaulah yang meramalkan kematian Suhrawardi.[2]
Selain itu Suhrawardi juga bergabung dengan para sufi serta hidup secara
asketis.[3]
Suhrawardi
adalah seorang penulis yang cukup produktif yang kebanyakan karyanya tentang
persoalan Filsafat. Seperti Hikmah Al- Isyraq, Al- Talwihat, Hayakil Al-
Nur, Al- Muqawimat, Al- Mutharibat Al-Wah Al-Imadiyah, Al- Masyari wa
Al- Mutharahat, dan sebagian juga ada tulisan tentang doa-doa.[4]
Akan tetapi dari sekian daftar karya yang ada diatas ada satu karangan yang
paling penting yang menjadi dasar alirannya yaitu Hikmah Al-Isyraq
(Iluminasi).
Filsafat
Iluminasi, yang digambarkan oleh Suhrawardi, terdiri atas tiga tahapan yang
menggarap persoalan pengetahuan, dan diikuti oleh tahap keempat yang memaparkan
pengamalam. Tahap pertama, ditandai dengan kegiatan persiapan
pada diri filosof : ia harus meninggalkan dunia agar mudah menerima pengalaman.
Tahap kedua, adalah tahap Iluminasi ( pencerahan), ketika filosof
mencapai visi (melihat) “Cahaya Ilahi”. Tahap ketiga,yakni
tahap konstruksi, yang ditandai dengan perolehan dan pencapain pengetahuan tak
terbatas, dan tahap keempat, yag terakhir adalah
pendokumentasian, atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Jadi
tahap ketiga dan keempat, seperti didokumentasikan dalam tulisan-tulisan
Suhrawardi.
Teori
Suhrawardi mengandung unsur platonik yang mensyaratkan bahwa dengan definisi
kita pada dasarnya berusaha mengetahui bentuk-bentuk atau mendapatkan
pengetahuan melalui iluminasi, yang disamakan dengan “Cahaya” suatu perinsip
riil mendasar dari metafisika
iluminasionis. Baginya cahaya adalah definisi yang menjelaskan dirinya sendiri.
Jika ada sesuatu yang tidak perlu didefinisikan berarti sesuatu itu sudah
sangat jelas dengan sendirinya, karena tidak ada yang lebih jelas dari pada
cahaya, melebihi sesuatu yang lain cahaya tidak membutuhkan definisi.
Sistem
iluminasi dimulai dengan keabshan mutlak intuisi primer dari subyek yang
mengetahui yang niscaya dan senantiasa sadar
akan ke Akuan_Nya yang mendahului eksistensi. Dalam filsafat iluminasi
kesadaran diri dan entitas yang sadar diri dilukisakan sebagai cahaya dan
meliputi semua realitas.
Berdasarkan
teori iluminasi, esensi manusia yaitu kebenaran yang mendasari simbol manusia,dapat
ditemukan kembali oleh subyektif. Tindakan penemuan kembali ini merupakan
terjemahan simbol itu bagi padanannya dalam kesadaran. Karena jiwa adalah
sumber segala sesuatu yang dengannya gagasan tentang kemanusiaan diturunkan,
dan jiwa adalah sesuatu yang terdekat oleh manusia, melalui jiwalah seseorang
bisa menyadari, pertama-tama, esensi mausia dan esensi segala sesuatu.[5]
Dalam
pengantarnya pada Hikmah Al-Isyraq, Suhrawardi membahas tentang cara
bagaimana landasan pengetahuan iluminasionis yang diperolehnya, sebagai berikut
: “Aku, ,mula-mula, tidak memperoleh (filsafat iluminasi) melalui berfikir,
tetapi melalui sesuatu yang lain, aku mencari pembuktian-pembuktian lebih
lanjut baginya. Artinya perinsip filsafat iluminasi itu menurutnya serupa
dengan visi yang pertama, dan dengan pengetahuan tentang keseluruhan,
Suhrawardi sendiri memporeh itu bukan melalui pemikiran dan spekulasi,
melainkan melalui sesuatu yang lain.[6]
Menurut
Suhrawardi Wujud bagi esensi tidaklah sama dengan predikat bagi subyek yang
diduga sementra orang. Karena atas dasar bahwa esensi tidak akan ada sebelum,
sesudah atau bersamaan waktunya dengan wujud dengan cara yang sedemikian rupa,
sehingga yang partikuler tidak menjelma melalui wujud yang menentukan
esensinya, melainkan terlepas darinya atau berada disampingnya. Namun hal itu
sangat ganjil sekali. Dalam masalah wujud Ia mengkirtik terhadap pembuktiaan
Ibnu Sina mengenai eksistensi wujud, atas dasar bahwa ia sama sekali dialektis,
karena Ibnu Sina mempertahankan wujud adalah sebuiah aksiden yang dibubuhkan
kepada esensi, dan kerana itu esensi yang telah mendahului eksistensi terbukti
salah. Segala sesuatu yang mungkin membutuhkan sebuah sebab, karena nya seluruh
entitas yang mungkin didunia ini membutuhkan sebab yang seperti itu. Karena ia
harus membetuk bagian rangkaian itu dalam dirinya sendiri, maka ia membutuhkn
sebuah sebab lain dan seterusnya Ad In Finitum. padahal sebuah
rangkai tak terbatas adalah rancu. Karena itu wujud niscaya haruslah menjadi
dasar rangkaian itu.[7]
Terima kasih

[1]
Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 544
[2]
Ibid
[3]
A, Mustofa, Filsafat Islam,
Bandung, Cv, Pustaka Setia, 1999, h 248
[4]
ibid
[5]
Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 566
[6]
Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung, Mizan, 2003, h 569
[7]
A, Mustofa, Filsafat Islam,
Bandung, Cv, Pustaka Setia, 1999, h 253
Tidak ada komentar:
Posting Komentar