IBN BAJJAH
Makalah Ini di Susun Guna Memenuhi Tugas
Presentase Pada Mata Kuliah Falsafat Islam Pasca Ibn Rusyd
Dosen Pembimbing : Dr. Nanang Tahqiq
Oleh :
Siti Ikhwanul Muthmainnah Pamungkas

PROGRAM STUDY AKIDAH DAN FALSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FALSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A. Pendahuluan
Proses sejarah masa lalu, tidak
dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran falsafat Islam terpengaruh oleh falsafat
Yunani. Para failasuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan banyak
tertarik terhadap pemikiran Plotinus. Sehingga banyak teori failasuf
Yunani diambil oleh failasuf lslam. Salah satu diantara para failasuf
Islam tersebut adalah ibn Bajjah.
Ibn Bajjah
menyandarkan falsafat dan logikanya pada karya-karya al-Farabi,dan dia telah
memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian falsafat yang benar-benar lain.
Tidak seperti al-Farabi , dia berurusan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia
mengagumi falsafat Aristoteles, yang diatasnya dia membangun sistemnya sendiri.
Tapi dia berusaha untuk memahami lebih dulu falsafatnya secara benar. Itulah
sebabnya ibn Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya Aristoteles.
B. Biografi Ibnu Bajjah
Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya
al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah seorang diantara
para cendekiawan Muslim. Tetapi di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace.[1]
Ziaduddin Sardar dalam bukunya Science in Islamic Philosopy menabalkan Ibnu
Bajjah sebagai sarjana Muslim multi-telenta. Ibnu Bajjah dikenal sebagai
seorang astronom, musisi, dokter, fisika, psikologi, pujangga, filsuf dan ahli
logika dan matematikus. Sang ilmuwan agung ini terlahir di Saragosa, Spanyol
tahun 1082 M. Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di zaman
kekuasaan Dinasti Murabbitun. Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair yang hebat. Pamornya sebagai seorang
sastrawan dan ahli bahasa begitu mengkilap. Salah satu bukti kehebatannya dalam
bidang sastra dibuktikannya dengan meraih kemenangan dalam kompetisi puisi
bergengsi di zamannya. Emilio Gracia Gomes dalam esainya bertajuk Moorish Spain
mencatat Ibnu Bajjah sebagai seorang sastrawan hebat.Menurut seorang penulis
kontemporer, Ibnu Khaqan, selain dikenal sebagai seorang penyair, Ibn Bajjah
juga dikenal sebagai musisi. Ia piawai bermain musik terutama gambus. Yang
lebih mengesankan lagi, Ibnu Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Alquran. Selain
menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus
ulung.Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar Ibrahim,
gubernur Saragosa. Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu Bakr Ibrahim
berkuasa di Saragossa.Setelah itu, selama 20 tahun, Ibnu Bajjah pun diangkat
menjadi menteri Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin dan didaerah itulah akhir kehidupan ibnu Bajjah yang bertepatan pada bulan
ramadhan tahun 533H(1138M), yang telah ditacun oleh “Ibn Zuhr” dokter termasyhur pada
zaman itu.[2]
C. Karya tulis Ibn Bajjah
1.
Kitab tadbir al- mutawahhid, ini adalah
kitab yang paling popular dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini
berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari
segala macam keburukan dalam masyarakat Negara,yang disebutnya insan
muwahhid(manusia penyendiri).
2.
Risalat Al-Wada’,
risalah ini membahas penggerak pertama(tuhan), manusia,alam, dan kedokteran.
3.
Risalat al-ittishal, risalah
ini menguraikan manusia dengan akal fa’al.
4.
Kitab al-nafs, kitab yang menjelaskan
jiwa
D. Falsafat Ibn Bajjah
a)
Epistimologis / Teori Ittishâl
Seperti halnya al-Farabi dan Ibn
Sina, Ibn Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata melalui
indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, serta landasan
penalaran tentang alam, hanya dapat dicapai melalui bantuan Akal Aktif,
intelegensi yang mengatur.[4]
Berkaitan dengan teori al-ittishâl
tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistimologi yang
berbeda dengan corak yang dikemukakan al-Ghazali di Dunia Islam timur. Di dunia
Islam timur, al-Ghozali berpendapat bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang
lebih penting dan lebih dipercaya, maka Ibn Bajjah mengkritik pendapat itu, dan
menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai pada puncak pengetahuan
dan dan melebur kedalam Akal Fa’al, bila ia bersih dari kerendahan dan
keburukan masyarakat. Karena masyarakat bisa melumpuhkan daya kemampuan
berpikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan, hal ini
disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuata-perbuatan rendah dan
keinginan hawa nafsu yang kuat.jadi, dengan kekuatan dirinya manusia bisa
sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan.[5]
Pemikiran tentang epistimologi ini disebut ibn Bajjah dalam
bukunya, tadbir al-mutawahhidyang berisi delapan pasal, dapat disarikan
sebagai berikut:
Pasal pertama: penjelasan kata tadbir, ibn Bajjah
menjelaskan arti kata tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang
mengenai dengan perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatur keluarga atau Negara.
Manakalah perbuatan-perbuatan seorang yang bertujuan kepada maksud yang tinggi,
haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh sekali dari
pengaruh luar.
Pasal kedua: berisi penjelasan tentang
perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan, untuk menjelaskan yang mungkin
membuktikan tujuan “orang yang menyendiri” dibaginya perbuatan kepada dua bagihan: perbuatan yang timbul dari
kehendak mereka, sesudah memperhatikan dan mempertimbangkan. Dan suatu perbuatan yang timbul dan
bersifat instink hewani yang tunduk kepada jiwa manusia yang berpikir.
Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak yang paling tinggitetapi, manakalah
seseorang yang kekuatan hewaninya bisa mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka
ia lebih hina daripada hayawan.
Pasal ketiga: yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat
pemikiran, maka wajiblah mengetahui urusan-urusan ini.
Pasal keempat: pembahagian perbuatan manusia kepada
tiga macam:
1.
perbuatan yang tujuanya berpa bentuk jasmani,
seperti minum, makan, pakaian dan yang serupa seperti itu.
2.
Perbuatan yang tujuanya adalah bentuk rohaniah perseorangan,
bukanlah kelezatan hewani yang menjadi tujuan daripada bahagian ini, tapi yang
dituju adalah menyempurnakan bentuk rohani, sehingga seseorang memperoleh
ketentraman pikiran dan kesenangan perasaan.
3.
Perbuatan yang bertujuan bentuk rohaniah umum.
Perbuatan ini adalah perbuatan rohaniah yang lebih sempurna, yang berhubungan
dengan akal aktif(akal fa’al).
Pasal kelima: berisi
bahwa seorang mutawahhid (penyendiri) harus memilih perbuatan yang paling
tinggi, sehingga sampai kepada tujuan akhir.
Pasal enam dan pasal tujuh,
kembali memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk rohaniah dan
perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya serta tujuan-tujuan yang ingin
dicapai.
Pasal kedelapan:
menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
b)
Metafisika
Menurut Ibn
Bajjah , segala yang ada terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak, yang
bergerak adalah jism yang sifatnya terbatas. Gerak terjadi dari perbuatan yang
menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini pula digerakan oleh gerakan
lain, yang akhir rentetan gerekan ini digerakan oleh penggerak yang tidak
bergerak. Dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jism.yang
mana penggerak ini adalah bersifat azali. Dan ibn Bajjah menyebutnya yaitu”
‘aql”. Dapat disimpulkan bahwa si penggerak yang tapi
tidak bergerak yaitu Allah yang mana para filsuf Islam menyebutnya dengan
sebutan “ ‘aql”[6]
c)
Etika
Tindakan manusia menurut Ibn Bajjah ada dua
yaitu:
Pertama, tindakan hewani, timbul karena ada
motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun
jauh. Kedua, tindakan manusiawi,
timbul dikarenakan adanya pemikiran yang lurus dan keamanan yang bersih dan
tinggi. Jika
manusia melakukan perbuatan untuk memuaskan akal, perbuatannya ini mirip dengan
perbuatan illahi daripada perbuatan manusiawi. Jika manusia berbuat atas iradah
yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.[7]
Apabila tindakan seseorang itu bisa dihargai, maka ia harus
berbuat dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada
hubungannya sama sekali dengan segi hewani. Seseorang yang hendak
menunjukkan segi hewani itu pada dirinya maka ia harus memulai dengan
melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah maka segi hewani
pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang menjadi
manusia tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabkan
ketundukannya kepada naluri.
d)
Filsafat Politik
Ibn Bajjah menyetujui
teori politik al-Farabi mengenai pembagian negara menjadi negara sempurna dan
negara tidak sempurna. Namun dalam hal ini ia memberikan penambahan pada teori
al-Farabi ketika ia mendesakkan pendapatnya bahwa manusia yag memerintah secara
sendirian itu (mutawahid) itu harus selalu berada lebih tinggi dari orang lain
pada kesempatan tertentu.[8]
Dari pengertian mutawahhid,
banyak orang mengira bahwa Ibn Bajjah menginginkan supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat
ramai. Tetapi sebenarnya ibn Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid
sekalipun harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi hendaklah
seseorang itu mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak
terseret ke dalam arus perbuatan rendah masyarakat. Dengan perkataan lain ia harus
berpusat pada dirinya dan merasa selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan
orang lain, serta sebagai penyusun perundang-undangan bagi masyarakat, bukan
malah tenggelam dalam masyarakat itu.
Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di
Negara utama.dalam bentuk-bentuk Negara Daerah yang rusak, semua tindakan
dilakukan secara terpaksa dan impulsive. Karena penduduknya tidak bertindak
secara rasional, dan sukarela tetapi didorong, misalnya pencaharian kebutuhan
hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam kehidupan rezim yang
tidak sempurna ini, dimana aspirasi intelektual dirintangi, maka tindakan
seseorang yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam Negara
semacam ini untuk berpolitik.
e)
Materi dan Bentuk
Menurut De Boer Ibn Bajjah menyatakan bahwa materi tidak dapat bereksistensi tanpa bentuk.
Sedangkan bentuk bisa bereksistensi tanpa adanya materi. Hal ini salah, menurut
Ibnu Bajjah yang benar adalah materi dapat bereksistensi tanpa harus ada
bentuk. Dia berargumen bahwa jika materi berbentuk, maka ia akan terbagi
menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya. Menurutnya, bentuk pertama
merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan
sebagai tidak mempunyai bentuk. Dalam hal ini ia mengartikan bentuk sebagai
cakupan berbagai arti : jiwa, sosok, kekuatan, makna, konsep. [9]
DAFTAR PUSTAKA
Hosen
Nasr, Seyyed, Ed, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam(buku pertama), Bandung : Mizan, 2003
Nasution Hasimsyah. 2003, Falsafat
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Mustofa. 2009, Falsafat Islam,
Bandung: Pustaka Setia.
Syarif,
M.M, Ed, Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, 1985
Zar Sirojuddin. 2004, Falsafat
Islam-failasuf & falsafatnya, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2009
[1]
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam,
filosof dan filsafatnya, Jakarta :
Rajawali Pers, 2009,h.185
[2]
Ed. M.M. Syarif, Para Filosof
Muslim,Bandung:Mizan,1985, h.145
[3]
Sirajuddin Zar, Op.cit, h.
187
[5]
Sirajuddin Zar, Op.Cit, h.196
[6]
Sirajuddin Zar, Op.Cit, h.192
[8]
Ed. M.M Syarif, Op.Cit, h.166
[9]
Ed. M.M Syarif, Op.Cit.h.150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar