Halaman

Kamis, 13 Juni 2013

filsafat islam ibnu bajjah



IBN BAJJAH
Makalah Ini di Susun Guna Memenuhi Tugas Presentase Pada Mata Kuliah Falsafat Islam Pasca Ibn Rusyd

Dosen Pembimbing     : Dr. Nanang Tahqiq
Oleh    :
Siti Ikhwanul Muthmainnah Pamungkas

uin.jpg


PROGRAM STUDY AKIDAH DAN FALSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FALSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.    Pendahuluan
Proses sejarah masa lalu, tidak dapat dielakan begitu saja bahwa pemikiran falsafat Islam terpengaruh oleh falsafat Yunani. Para failasuf Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan banyak tertarik terhadap pemikiran Plotinus. Sehingga banyak teori failasuf Yunani diambil oleh failasuf lslam.  Salah satu diantara para failasuf Islam tersebut adalah ibn Bajjah.
Ibn Bajjah menyandarkan falsafat dan logikanya pada karya-karya al-Farabi,dan dia telah memberikan sejumlah besar tambahan-tambahan dalam karya-karya itu. Dan dia telah menggunakan metode penelitian falsafat yang benar-benar lain. Tidak seperti al-Farabi , dia berurusan segala masalah hanya berdasarkan nalar semata. Dia mengagumi falsafat Aristoteles, yang diatasnya dia membangun sistemnya sendiri. Tapi dia berusaha untuk memahami lebih dulu falsafatnya secara benar. Itulah sebabnya ibn Bajjah menulis uraian-uraian sendiri atas karya-karyanya Aristoteles.
B.     Biografi Ibnu Bajjah
Abu Bakr Muhammad Ibn Yahya al-Saigh atau lebih terkenal sebagai Ibnu Bajjah adalah salah seorang diantara para cendekiawan Muslim. Tetapi di Barat ia lebih dikenal dengan nama Avempace.[1] Ziaduddin Sardar dalam bukunya Science in Islamic Philosopy menabalkan Ibnu Bajjah sebagai sarjana Muslim multi-telenta. Ibnu Bajjah dikenal sebagai seorang astronom, musisi, dokter, fisika, psikologi, pujangga, filsuf dan ahli logika dan matematikus. Sang ilmuwan agung ini terlahir di Saragosa, Spanyol tahun 1082 M. Ibnu Bajjah mengembangkan beragam ilmu pengetahuan di zaman kekuasaan Dinasti Murabbitun. Ibnu Bajjah dikenal sebagai penyair yang hebat. Pamornya sebagai seorang sastrawan dan ahli bahasa begitu mengkilap. Salah satu bukti kehebatannya dalam bidang sastra dibuktikannya dengan meraih kemenangan dalam kompetisi puisi bergengsi di zamannya. Emilio Gracia Gomes dalam esainya bertajuk Moorish Spain mencatat Ibnu Bajjah sebagai seorang sastrawan hebat.Menurut seorang penulis kontemporer, Ibnu Khaqan, selain dikenal sebagai seorang penyair, Ibn Bajjah juga dikenal sebagai musisi. Ia piawai bermain musik terutama gambus. Yang lebih mengesankan lagi, Ibnu Bajjah adalah ilmuwan yang hafal Alquran. Selain menguasai beragam ilmu, Ibnu Bajjah pun dikenal pula sebagai politikus ulung.Kehebatannya dalam berpolitik mendapat perhatian dari Abu Bakar Ibrahim, gubernur Saragosa. Ia pun diangkat sebagai menteri semasa Abu Bakr Ibrahim berkuasa di Saragossa.Setelah itu, selama 20 tahun, Ibnu Bajjah pun diangkat menjadi menteri Yahya ibnu Yusuf Ibnu Tashufin dan didaerah itulah akhir kehidupan ibnu Bajjah yang bertepatan pada bulan ramadhan tahun 533H(1138M), yang telah ditacun oleh “Ibn Zuhr” dokter termasyhur pada zaman itu.[2]
C.    Karya tulis Ibn Bajjah
1.         Kitab tadbir al- mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan penting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini berisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan dalam masyarakat Negara,yang disebutnya insan muwahhid(manusia penyendiri).
2.         Risalat Al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama(tuhan), manusia,alam, dan kedokteran.
3.         Risalat al-ittishal, risalah ini menguraikan manusia dengan akal fa’al.
4.         Kitab al-nafs, kitab yang menjelaskan jiwa
5.         Tardiyyah , yang mana kitab ini membahas tentang sya’ir pujian.[3]
D.    Falsafat Ibn Bajjah
a)      Epistimologis / Teori Ittishâl
            Seperti halnya al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Bajjah percaya bahwa pengetahuan tidak diperoleh semata melalui indra. Pertimbangan-pertimbangan universal dan niscaya, serta landasan penalaran tentang alam, hanya dapat dicapai melalui bantuan Akal Aktif, intelegensi yang mengatur.[4]
            Berkaitan dengan teori al-ittishâl tersebut, Ibn Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistimologi yang berbeda dengan corak yang dikemukakan al-Ghazali di Dunia Islam timur. Di dunia Islam timur, al-Ghozali berpendapat bahwa ilham adalah sumber pengetahuan yang lebih penting dan lebih dipercaya, maka Ibn Bajjah mengkritik pendapat itu, dan menetapkan bahwa sesungguhnya perseorangan mampu sampai pada puncak pengetahuan dan dan melebur kedalam Akal Fa’al, bila ia bersih dari kerendahan dan keburukan masyarakat. Karena masyarakat bisa melumpuhkan daya kemampuan berpikir perseorangan dan menghalanginya untuk mencapai kesempurnaan, hal ini disebabkan masyarakat itu berlumuran dengan perbuata-perbuatan rendah dan keinginan hawa nafsu yang kuat.jadi, dengan kekuatan dirinya manusia bisa sampai kepada martabat yang tinggi, melalui pikiran dan perbuatan.[5]
Pemikiran tentang epistimologi ini disebut ibn Bajjah dalam bukunya, tadbir al-mutawahhidyang berisi delapan pasal, dapat disarikan sebagai berikut:
Pasal pertama: penjelasan kata tadbir, ibn Bajjah menjelaskan arti kata tadbir dipakai terhadap setiap kumpulan peraturan yang mengenai dengan perbuatan menuju suatu tujuan, seperti mengatur keluarga atau Negara. Manakalah perbuatan-perbuatan seorang yang bertujuan kepada maksud yang tinggi, haruslah perbuatan itu timbul dari pemikiran yang luas, jauh sekali dari pengaruh luar.
Pasal kedua: berisi penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan, untuk menjelaskan yang mungkin membuktikan tujuan “orang yang menyendiri” dibaginya perbuatan kepada dua bagihan: perbuatan yang timbul dari kehendak mereka, sesudah memperhatikan dan mempertimbangkan. Dan suatu perbuatan yang timbul dan bersifat instink hewani yang tunduk kepada jiwa manusia yang berpikir. Perbuatan ini dinilai tingkatan akhlak yang paling tinggitetapi, manakalah seseorang yang kekuatan hewaninya bisa mengalahkan kekuatan berpikirnya, maka ia lebih hina daripada hayawan.
Pasal ketiga: yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri, yaitu memperoleh urusan yang bersifat pemikiran, maka wajiblah mengetahui urusan-urusan ini.
Pasal keempat: pembahagian perbuatan manusia kepada tiga macam:
1.             perbuatan yang tujuanya berpa bentuk jasmani, seperti minum, makan, pakaian dan yang serupa seperti itu.
2.            Perbuatan yang tujuanya adalah bentuk rohaniah perseorangan, bukanlah kelezatan hewani yang menjadi tujuan daripada bahagian ini, tapi yang dituju adalah menyempurnakan bentuk rohani, sehingga seseorang memperoleh ketentraman pikiran dan kesenangan perasaan.
3.            Perbuatan yang bertujuan bentuk rohaniah umum. Perbuatan ini adalah perbuatan rohaniah yang lebih sempurna, yang berhubungan dengan akal aktif(akal fa’al).
Pasal kelima: berisi bahwa seorang mutawahhid (penyendiri) harus memilih perbuatan yang paling tinggi, sehingga sampai kepada tujuan akhir.
Pasal enam dan pasal tujuh, kembali memperpanjang uraian mengenai bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang bertalian dengannya serta tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Pasal kedelapan: menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir.
b)     Metafisika
      Menurut Ibn Bajjah , segala yang ada terbagi dua: yang bergerak dan tidak bergerak, yang bergerak adalah jism yang sifatnya terbatas. Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini pula digerakan oleh gerakan lain, yang akhir rentetan gerekan ini digerakan oleh penggerak yang tidak bergerak. Dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jism.yang mana penggerak ini adalah bersifat azali. Dan ibn Bajjah menyebutnya yaitu” ‘aql”. Dapat disimpulkan bahwa si penggerak yang tapi tidak bergerak yaitu Allah yang mana para filsuf Islam menyebutnya dengan sebutan “ ‘aql”[6]
c)      Etika
Tindakan manusia menurut Ibn Bajjah ada dua yaitu:
Pertama, tindakan hewani, timbul karena ada motif naluri atau hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat maupun jauh. Kedua, tindakan manusiawi, timbul dikarenakan adanya pemikiran yang lurus dan keamanan yang bersih dan tinggi. Jika manusia melakukan perbuatan untuk memuaskan akal, perbuatannya ini mirip dengan perbuatan illahi daripada perbuatan manusiawi. Jika manusia berbuat atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.[7]
Apabila tindakan seseorang itu bisa dihargai, maka ia harus berbuat dibawah pengaruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan segi hewani. Seseorang yang hendak menunjukkan segi hewani itu pada dirinya maka ia harus memulai dengan melaksanakan segi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan dan seseorang menjadi manusia tidak ada kekurangannya, karena kekurangan ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.
d)     Filsafat Politik
Ibn Bajjah menyetujui teori politik al-Farabi mengenai pembagian negara menjadi negara sempurna dan negara tidak sempurna. Namun dalam hal ini ia memberikan penambahan pada teori al-Farabi ketika ia mendesakkan pendapatnya bahwa manusia yag memerintah secara sendirian itu (mutawahid) itu harus selalu berada lebih tinggi dari orang lain pada kesempatan tertentu.[8]
      Dari pengertian mutawahhid, banyak orang mengira bahwa Ibn Bajjah menginginkan supaya seseorang menjauhkan diri dari masyarakat ramai. Tetapi sebenarnya ibn Bajjah bermaksud bahwa seorang mutawahhid sekalipun harus senantiasa berhubungan dengan masyarakat. Tetapi hendaklah seseorang itu mampu menguasai diri dan sanggup mengendalikan hawa nafsu, tidak terseret ke dalam arus perbuatan rendah masyarakat. Dengan perkataan lain ia harus berpusat pada dirinya dan merasa selalu bahwa dirinya menjadi contoh ikutan orang lain, serta sebagai penyusun perundang-undangan bagi masyarakat, bukan malah tenggelam dalam masyarakat itu.
Tindakan-tindakan mulia itu kemungkinan bisa diterapkan di Negara utama.dalam bentuk-bentuk Negara Daerah yang rusak, semua tindakan dilakukan secara terpaksa dan impulsive. Karena penduduknya tidak bertindak secara rasional, dan sukarela tetapi didorong, misalnya pencaharian kebutuhan hidup, kesenangan pujian, atau kejayaan. Dalam kehidupan rezim yang tidak sempurna ini, dimana aspirasi intelektual dirintangi, maka tindakan seseorang yang terkucil, menarik diri dari pergaulan manusia, didalam Negara semacam ini untuk berpolitik.


e)      Materi dan Bentuk
Menurut De Boer Ibn Bajjah menyatakan bahwa materi  tidak dapat bereksistensi tanpa bentuk. Sedangkan bentuk bisa bereksistensi tanpa adanya materi. Hal ini salah, menurut Ibnu Bajjah yang benar adalah materi dapat bereksistensi tanpa harus ada bentuk. Dia berargumen bahwa jika materi berbentuk, maka ia akan terbagi menjadi materi dan bentuk dan begitu seterusnya. Menurutnya, bentuk pertama merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi yang dikatakan sebagai tidak mempunyai bentuk. Dalam hal ini ia mengartikan bentuk sebagai cakupan berbagai arti : jiwa, sosok, kekuatan, makna, konsep. [9]

DAFTAR PUSTAKA
Hosen Nasr, Seyyed, Ed, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam(buku pertama),    Bandung : Mizan, 2003
Nasution Hasimsyah. 2003, Falsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama
Mustofa. 2009, Falsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Syarif, M.M, Ed, Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, 1985
Zar Sirojuddin. 2004, Falsafat Islam-failasuf & falsafatnya, Jakarta:Raja           Grafindo Persada, 2009



[1] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, filosof dan filsafatnya,  Jakarta : Rajawali Pers, 2009,h.185
[2] Ed. M.M. Syarif, Para Filosof Muslim,Bandung:Mizan,1985, h.145
[3] Sirajuddin Zar, Op.cit, h. 187
                [4]Ed. Seyyed Hossein Nasr dkk, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (buku pertama), Bandung : Mizan , 2003, h.369
[5] Sirajuddin Zar, Op.Cit, h.196
[6] Sirajuddin Zar, Op.Cit, h.192
[7] Ibid, h.196
[8] Ed. M.M Syarif, Op.Cit, h.166
[9] Ed. M.M Syarif, Op.Cit.h.150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar