DEKONSTRUKSI DERRIDA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Pada
Mata Kuliah Filsafat Barat Kotemporer
Dosen Pembimbing :
Faris Pari M.Fils
Oleh : Siti
Ikhwanul Muthmainnah Pamungkas (111103310031)

PROGRAM STUDY AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
A.
KONSEP (KESIMPULAN UMUM)
Salah satu pemikiran Derrida
yang menarik untuk dikaji dalam ranah Filsafat Kotemporer adalah metode dekonstruksi.
Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya
dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan
aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi
bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif
yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema
tertentu”. Dekonstruksi adalah
suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari
suatu subjek, atau bahkan modernitas.
Derrida
mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam
pemikiran Heidegger. Kata dekonstruksi bukan secara langsung
terkait dengan kata destruksi
melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti
"untuk menunda" sinonim dengan
kata mendekonstruksi. Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida,
yaitu: pertama, dekonstruksi,
seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara
yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan kedua, dekonstruksi terjadi
dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks, ketiga, dekonstruksi bukan
suatu kata, alat,
atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan
tanpa suatu subyek interpretasi.[1]
Dekonstruksi
merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran atau pengetahuan yang
terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur dan berbagai sistem
aturan yang lainnya. Dari sudut pandang ini, dekonstruksi dapat dipandang
sebagai “hermeneutika radikal”. Ia menyajikan tafsir tetapi tidak pernah
berpretensi menjadikan tafsir sebagai satu-satunya penjelas terhadap semua hal.
B.
DEKONSTRUKSI DAN PENJELASANNYA
Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas
wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan
kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur yang terlihat seperti suatu
kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik
kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang
turut mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran
tunggal (cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang
ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang
pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi
satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas
hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun
mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya.
Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, melemahkan perbedaan antara kedua
sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang
mendukung gagasan lain.
Pada langkah yang pertama, melibatkan
penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi,
mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua,
melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama
juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun
suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan
pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang
menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar
lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan
makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari tradisi
gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai
tulisan. Maksudnya, sebagai tulisan filsafat tidak merupakan ungkapan
transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu, filsafat yang dilihat sebagai
tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi Derrida hadir sebagai modus baru
dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah cara untuk melacak struktur dan
strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu. Secara praktis, dekonstruksi
adalah sebuah strategi filsafat, untuk membongkar modus membaca dan
menginterpretasi apa yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian itu menunjukkan ambisi
filsafat pada umumnya untuk melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan dan
ingin agar bahasa yang digunakan itu manjadi sarana transparan yang menampilkan
makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasa
ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan
menata logika sedemikian hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun
bagi Derrida, semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah mungkin
berhasil. Dalam setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida
selalu meluncurkan proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat menyadari akan realitas yang semakin
ambigu sehingga hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia
terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Ia menolak
struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme Barat. Ia juga
terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak
adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia
memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa
harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Tujuan yang diinginkan Derrida dengan konsep
dekonstruksinya adalah untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran
kebenaran absolut dan dia ingin menelajangi agenda tersembunyi yang mengandung
banyak kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks.[2] Menurut Derrida
tidak ada kebenaran yang pasti , karena sesuatu yang pasti pada kenyataannya
adalah ketidakpastian, permainan dengan ketidak pastian. Apa yang dianggap
absolut oleh para metafisikus hanyalah sebuah jejak, dimana jejak itu selalu
diikuti oleh jejak-jejak sesudahnya yang tak pernah tau penghujungnya, selalu
ada jejak dibelakang jejak. Dan inilah yang membuat mustahil untuk menemukan
sebuah kebenaran absolut.[3]
Teori teks dekonstruksi sungguhlah berbeda dengan teori
pembacaan teks biasa. Jika pembacaan teks biasa selalu mencari makna sebenarnya
dari teks atau bahkan berusaha mencari dan menemukan makna yang lebih benar
yang teks itu sendiri tidak pernah memuatnya. Sedangkan dekonstruksi hanya
ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks menutup dirinya dengan kebenaran mutlak. Dia
hanya ingin menumbangan susunan hierarki yang menstruktur teks.
Sepintas memang tidak ada tawaran konkret dari
dekonstruksi, namun bisa dikatakan bahwa yang dimauinya adalah menghidupkan
kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang
sebagai tatanan makna yang utuh , melainkan arena pergulatan terbuka.
C.
TOKOH YANG MEMPENGARUHI
1.
Friedrich Nietzche
Ia memberikan pengaruh yang cukup besar atas pemikiran Derrida
mengenai metaforis kebenaran, yang ini merupakan cikal bakal pemikiran Derrida
mengenai dekonstruksi. Dalam hal ini Derrida meradikalkan pemikiran Nietzche
tentang interpretasi dan persepektif, dan dalam padangannya akan berimpliksi
pada kedudukan bahasa dan bagaimana bahasa tersebut kebenaran difahami.
Nietzche mengatakan bahwa kebenaran dan kekeliruan
merupakan dua hal yang dapat bertukar tempat satu sama lain. Ini dikarenakan
apa yang disebut sebagai kebenaran bukanlah sesuatu yang berada diluar dunia, melainkan
hasil dari intepretasi yang dibatasi oleh perpspektif tertentu terhadap
realitas yang ditandai dengan kemajemukan. Dengan demikian, apa yang didalam
sudut pandangan tertentu nampak sebagai kebenaran, dalam sudut pandang lain
boleh jadi akan nampak sebagai kekeliruan. Bertolak dari pandangan Nietzche ,Derrida
kemudian memhami bahwa kebenaran merupakan hasil dari sebuah mekanisme
penyamaan atas hal-hal yang berbeda. Pada titik inilah kebenaran tidak lagi
tampak sebagai sesuatu yang absolut,
melainkan penuh ketegangan dan kontradiksi dan bersifat falliable yaitu
dapat dikritik, diuji, dan dibenturkan dengan kemungkinan baru dan bahkan tidak
masuk akal.
2.
Sigmund Freud
Sumbangan Freud yang terpenting adalah bahwa Freud telah
menggunakan tulisan sebagai sebuah metafor bagi psyce yaitu struktur
yang mendasari aktifitas keasadaran. Menurutnya mentranskripsi
pengalama-pengalaman sadar yang berada dilapisan paling rill dalam kehidupan
manusia. Dari Freud, Derrida mendapati dari mana geolak dari berbagai hasrat
dan naluri alamiah yag direfresi mendekontruksi kemurnian kesadaran. Karakter
teks sebagai penanda yang menangguhkan kehadiran tidak hanya berlaku bagi alam
bawah sadar tetapi juga alam sadar. Baik kesadaran maupun ketidak sadaran
terstruktur oleh jejak-jejak yang kehadirannya selalu ditangguhkan.
3.
Martin Heidegger
Dari Heidegger, Derrida mendapatkan penjelasan bagaimana
metafisika dalam sejarah pemikirian Barat dibangun diatas pengandaian Ada
sebagai kehadiran. Menurut Heidegger kaum metafisikus tidak berhasil menemukan
hakikat atau Adanya realitas namun justru terperangkap dalam sebuah kondisi “lupa
akan ada”, karena mengabaikan perbedaan ontologis antara Ada dan pengada,
dengan menyematkan status Ada pada pengada-pengada.
Sumbangan Heidegger bagi pemikiran Derrida terletak pada
cara yang diinginkan Heidegger dalam upaya memikirkan kembali yang Ada dengan
merestorasi kaitan waktu dan Ada. Bertolak dari pandangan Haidegger Derrida
berpandangan bahwa berbagai upaya penyingkapan Ada tidak akan pernah dapat
menemukan makna Ada karena apa yang kemudian tampak bagi manusia hanyalah
jejak-jejak Ada yang terus menerus menangguhkan kehadirannya.
4.
Ferdinand de Saussure
Dari Saussure, Derrida mendapatkan dasar teoretik untuk
mengembangkan sebuah ilmu bahasa baru yang menegaskan ketidakmungkinan untuk
memahami ada dalam perspektif kehadiran. Saussure melangsungkan sebuah kritik
terhadap metafisika dengan pandangan
tentang bahasa sebagai sebagai sistem differensial.
D.
KRITIK UMUM
Pemikiran Derrida mengenai
dekonstruksi, yaitu membongkar dan membalik wacana, tidak untuk mencari
kebenaran melainkan untuk menunjukkan ketidakmampuan teks dalam menyajikan
suatu kebenaran yang mutlak , selain memongkar, derrida juga menginginkan
dengan dekontruksi dapat menghidupkan kekuatan tersembunyi yang turut membangun
teks. Metode ini sangatlah rancu dan sulit dicerna , bagaimana bisa ketika
seseorang ingin membongkar teks tersebut namun disisi lain dia juga ingin
mengembangkannya. Hal ini akan menyulitkan untuk diaplikasikan dalam alam
nyata.
Ketika Derrida mengatakan dalam
teori dekonstruksinya bahwa tidak pernah ada kebenaran dalam teks, pengetahuan
tidak ada pusatnya (knowledge without centre) , maka bagaimana seorang dapat
berfikir logis jika tidak ada satu prinsip permanen yang mendasarinya.
Sedangkan banyak hal-hal prinsip dan paten yang harus diterima akal
manusia. Banyak paradoksi yang ditemui
dalam pemikiran Derrida dan jika dipaksakan maka akan terjerumus pada
kekosongan “Nihilisme”. Kosong dari prinsip, pemahaman teks dan sebagainya.
Menurutnya tidak sesuatupun yang bersifat
permanen dan universal sedangkan disisi lain dekonstruksi derrida
menginginkan pengahancuran dan pergolakan dalam teks. Lantas bagaimana manusia
bisa melakukan pengahancuran dan pergolakan , sementara tidak ada tolak ukur
yang jelas dalam penentuan penghancuran dan pergolakan itu sendiri. Dan
bagaimana sesorang bisa mengkritisi segala argumen yang muncul jika tidak ada
tolak ukur kebenaran berfikir itu sendiri. Dasar pemikiran derrida tidak
memiliki asas yang jelas, dan tentunya pemikirannya tentu akan semakin sulit
diterima oleh akal sehat manusia.
E.
KRITIK ISLAM
Memahami pemikiran Derrida tentang dekonstruksi, yang
mengatakan bahwa kebenaran dalam teks tidaklah ada, kebenaran bersifat
falliable, dapat diuji dan didalamnya tidak ada kebenaran mutlak, karena setiap
kebenaran selalu ada jejak dibelakangnya. Teori dekonstruksi Derrida yang menafikan
kebenaran akan membuatnya terjebak kepada Nihilisme, yang otomatis ia juga akan
menafikan kebenaran Tuhan yang mutlak. Sedangkan dalam al-Qur’an telah
dijelaskan bahwa Allah adalah yang Maha Benar, Dia adalah kebenaran yang
Mutlak.
Selain hal di atas, berkaitan dengan Dekontruksi Derrida
yang ingin membongkar teks, pembaca
tidak hanya terpaku pada makna sebenarnya pada teks, teks adalah arena
pergulatan terbuka. Semua orang bebas mengartikan teks tersebut karena
menurutnya tidak ada kebenaran absolut, selalu ada jejak dibelakang jejak. Jika
dikaitkan dengan Islam, maka hal ini tentu bertentangan dengan teks al-Qur’an,
jika menurut Derrida semua teks bisa diartikan secara bebas, maka hukum-hukum
yang ada dalam Islam akan rancu, kejahatan akan meraja lela, karena
masing-masing bebas untuk mengartikan teks al-Qur’an. Dan Allahpun sudah
menjelaskan mengenai kebenaran makna dalam al-quran di surat al-Baqarah ayat 2
yang berbunyi :
y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Kitab (Al Quran)
ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Menindaklanjuti hal
diatas, jika teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh ,
melainkan sebagai arena pergulatan terbuka. Maka akan muncul banyak kelompok
yang berlomba-lomba untuk menafsirkan makna teks sesuai dengan keinginan dan
tujuan golongan , dan hal ini tentu menimbulkan
banyak perselisihan dan akan semakin banyak lagi golongan yang saling
menyalahkan bahkan mengkafirkan antara satu golongan dengan golongan yang lain,
yang pada akhirnya akan membuat Islam
tidak lagi menjadi agama pemersatu atau agama rahmatan lilalamin, tetapi
justru menjadi sumber perpecahan, karena adanya bebas tafsir dari teks ak-Quran
itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
McCance,Dawne Derrida on
Religion: Thinker of Difference, Equinox Publishing : London,2009
Norris , christopher, membongkar teori dekonstruksi
Derrida, Ar-Ruzz Media : Jogjakarta, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar