Halaman

Kamis, 13 Juni 2013

filsafat barat kotemporer



DEKONSTRUKSI DERRIDA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Pada Mata Kuliah Filsafat Barat Kotemporer
Dosen Pembimbing     : Faris Pari M.Fils
Oleh    : Siti Ikhwanul Muthmainnah Pamungkas (111103310031)


uin.jpg


PROGRAM STUDY AQIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013

A.    KONSEP (KESIMPULAN UMUM)
            Salah satu pemikiran Derrida yang menarik untuk dikaji dalam ranah Filsafat Kotemporer adalah metode dekonstruksi. Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan kalimat negasi. Menurutnya dekonstruksi bukan suatu analisis dan bukan kritik, bukan suatu metode, bukan aksi maupun operasi. Singkatnya, dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari “suatu subjek individual atau kolektif yang berinisiatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks, atau tema tertentu”.  Dekonstruksi adalah suatu peristiwa yang tidak menunggu pertimbangan, kesadaran, atau organisasi dari suatu subjek, atau bahkan modernitas.  
            Derrida mengadaptasi kata dekonstruksi dari kata destruksi dalam pemikiran Heidegger.  Kata dekonstruksi bukan secara langsung terkait dengan kata destruksi melainkan terkait kata analisis yang secara etimologis berarti "untuk menunda" sinonim dengan kata mendekonstruksi.  Terdapat tiga poin penting dalam dekonstruksi Derrida, yaitu: pertama, dekonstruksi, seperti halnya perubahan terjadi terus-menerus, dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan kedua, dekonstruksi terjadi dari dalam sistem-sistem yang hidup, termasuk bahasa dan teks, ketiga, dekonstruksi bukan suatu kata, alat, atau teknik yang digunakan dalam suatu kerja setelah fakta dan tanpa suatu subyek interpretasi.[1]
            Dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur dan berbagai sistem aturan yang lainnya. Dari sudut pandang ini, dekonstruksi dapat dipandang sebagai hermeneutika radikal”. Ia menyajikan tafsir tetapi tidak pernah berpretensi menjadikan tafsir sebagai satu-satunya penjelas terhadap semua hal.
B.     DEKONSTRUKSI DAN PENJELASANNYA
Dekonstruksi merupakan manifestasi dari metode ironi atas wacana maupun teks sebagai wujud dari “Grand Narration”, yang menentukan kelemahan dalam teks yang diteliti dengan fraktur yang terlihat seperti suatu kesatuan. Terlihat, karena teks pada titik tertentu gagal untuk menarik kesimpulan sendiri dari dasar-dasar pikiran yang dibangun dan ditampilkan.
Tradisi gagasan ini juga merupakan reaksi kritis yang turut mengawal penolakan terhadap logosentrisme dengan atribut kebenaran tunggal (cara berpikir oposisi biner) melekat padanya. Nalar dekonstruksi yang ditawarkan Derrida termaktub dalam dua langkah penalaran. Pada langkah yang pertama, dekonstruksi; membalikkan keadaan, dan membuat sisi tertindas menjadi satu dominasi. Namun, tidak berhenti sampai tahap itu, kita tidak akan puas hanya dengan membalik hierarki antara dua sisi yang bertentangan, maupun mengubah salah satu sisi dengan dominasi yang menukik ke bawah dan sebaliknya. Pada langkah yang kedua dalam dekonstruksi, melemahkan perbedaan antara kedua sisi yang bertentangan sebagaimana kita juga menggantikan seluruh oposisi yang mendukung gagasan lain.
Pada langkah yang pertama, melibatkan penghancuran/pembongkaran gambar/tampilan yang sebelumnya mendominasi, mendukung apa yang tersembunyi, dan yang didominasi. Pada langkah yang kedua, melibatkan penghancuran/pembongkaran kedua kutub, tetapi pada saat yang sama juga berlangsung perpindahan pada mereka, dan kesemuanya itu kemudian membangun suatu yang baru dan lebih luas.
Tradisi dekonstruksi Derrida selalu berupaya melakukan pembalikan (kontinuitas) terhadap oposisi biner. Pergantian posisi antara yang menjadi pusat dan prinsip dengan yang bukan prinsip dan berada di luar lengkungan pusat, meletakkan ketelanjangan tetapi tersembunyi, pengungkapan makna-makna yang tersembunyi ke permukaan, merupakan salah satu tujuan dari tradisi gagasan dekonstruksi Derrida.
Bagi Derrida, filsafat harus dilihat pertama-tama sebagai tulisan. Maksudnya, sebagai tulisan filsafat tidak merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung. Dengan itu, filsafat yang dilihat sebagai tulisan selalu bersifat tekstual. Dekonstruksi Derrida hadir sebagai modus baru dalam membaca teks-teks filosofis, yang adalah cara untuk melacak struktur dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu. Secara praktis, dekonstruksi adalah sebuah strategi filsafat, untuk membongkar modus membaca dan menginterpretasi apa yang mendominasi dan menguatkan fundamen hierarki.
Interpretasi yang demikian itu menunjukkan ambisi filsafat pada umumnya untuk melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan dan ingin agar bahasa yang digunakan itu manjadi sarana transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasa ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida, semua ambisi dan upaya semacam itu tidak akan pernah mungkin berhasil. Dalam setiap tulisannya dan mungkin dalam setiap karyanya, Derrida selalu meluncurkan proyek dekonstruksi.
Ia sepertinya sangat menyadari akan realitas yang semakin ambigu sehingga hampir tidak pernah setuju dengan pandangan berbagai filsuf. Ia terkesan ingin melihatnya dalam suatu pandangan yang baru. Ia menolak struktur-struktur yang telah dibentuk oleh tradisi rasionalisme Barat. Ia juga terkesan tidak mau menyelesaikan sesuatu dengan sesuatu yang final. Ia menolak adanya pemikiran yang berujung pada akhir yang pasti atau absolut. Ia memberikan wacana yang luas yang terus mengalir dan menjadi bagi manusia tanpa harus terikat dengan narasi yang ada sebelumnya.
Tujuan yang diinginkan Derrida dengan konsep dekonstruksinya adalah untuk menunjukkan ketidakberhasilan upaya penghadiran kebenaran absolut dan dia ingin menelajangi agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan dibalik teks-teks.[2] Menurut Derrida tidak ada kebenaran yang pasti , karena sesuatu yang pasti pada kenyataannya adalah ketidakpastian, permainan dengan ketidak pastian. Apa yang dianggap absolut oleh para metafisikus hanyalah sebuah jejak, dimana jejak itu selalu diikuti oleh jejak-jejak sesudahnya yang tak pernah tau penghujungnya, selalu ada jejak dibelakang jejak. Dan inilah yang membuat mustahil untuk menemukan sebuah kebenaran absolut.[3]
Teori teks dekonstruksi sungguhlah berbeda dengan teori pembacaan teks biasa. Jika pembacaan teks biasa selalu mencari makna sebenarnya dari teks atau bahkan berusaha mencari dan menemukan makna yang lebih benar yang teks itu sendiri tidak pernah memuatnya. Sedangkan dekonstruksi hanya ingin mencari ketidakutuhan atau kegagalan tiap upaya teks  menutup dirinya dengan kebenaran mutlak. Dia hanya ingin menumbangan susunan hierarki yang menstruktur teks.
Sepintas memang tidak ada tawaran konkret dari dekonstruksi, namun bisa dikatakan bahwa yang dimauinya adalah menghidupkan kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh , melainkan arena pergulatan terbuka.
C.     TOKOH YANG MEMPENGARUHI
1.      Friedrich Nietzche
Ia memberikan pengaruh yang cukup besar atas pemikiran Derrida mengenai metaforis kebenaran, yang ini merupakan cikal bakal pemikiran Derrida mengenai dekonstruksi. Dalam hal ini Derrida meradikalkan pemikiran Nietzche tentang interpretasi dan persepektif, dan dalam padangannya akan berimpliksi pada kedudukan bahasa dan bagaimana bahasa tersebut kebenaran difahami.
Nietzche mengatakan bahwa kebenaran dan kekeliruan merupakan dua hal yang dapat bertukar tempat satu sama lain. Ini dikarenakan apa yang disebut sebagai kebenaran bukanlah sesuatu yang berada diluar dunia, melainkan hasil dari intepretasi yang dibatasi oleh perpspektif tertentu terhadap realitas yang ditandai dengan kemajemukan. Dengan demikian, apa yang didalam sudut pandangan tertentu nampak sebagai kebenaran, dalam sudut pandang lain boleh jadi akan nampak sebagai kekeliruan. Bertolak dari pandangan Nietzche ,Derrida kemudian memhami bahwa kebenaran merupakan hasil dari sebuah mekanisme penyamaan atas hal-hal yang berbeda. Pada titik inilah kebenaran tidak lagi tampak sebagai sesuatu yang absolut,  melainkan penuh ketegangan dan kontradiksi dan bersifat falliable yaitu dapat dikritik, diuji, dan dibenturkan dengan kemungkinan baru dan bahkan tidak masuk akal.
2.      Sigmund Freud
Sumbangan Freud yang terpenting adalah bahwa Freud telah menggunakan tulisan sebagai sebuah metafor bagi psyce yaitu struktur yang mendasari aktifitas keasadaran. Menurutnya mentranskripsi pengalama-pengalaman sadar yang berada dilapisan paling rill dalam kehidupan manusia. Dari Freud, Derrida mendapati dari mana geolak dari berbagai hasrat dan naluri alamiah yag direfresi mendekontruksi kemurnian kesadaran. Karakter teks sebagai penanda yang menangguhkan kehadiran tidak hanya berlaku bagi alam bawah sadar tetapi juga alam sadar. Baik kesadaran maupun ketidak sadaran terstruktur oleh jejak-jejak yang kehadirannya selalu ditangguhkan.
3.      Martin Heidegger
Dari Heidegger, Derrida mendapatkan penjelasan bagaimana metafisika dalam sejarah pemikirian Barat dibangun diatas pengandaian Ada sebagai kehadiran. Menurut Heidegger kaum metafisikus tidak berhasil menemukan hakikat atau Adanya realitas namun justru terperangkap dalam sebuah kondisi “lupa akan ada”, karena mengabaikan perbedaan ontologis antara Ada dan pengada, dengan menyematkan status Ada pada pengada-pengada.
Sumbangan Heidegger bagi pemikiran Derrida terletak pada cara yang diinginkan Heidegger dalam upaya memikirkan kembali yang Ada dengan merestorasi kaitan waktu dan Ada. Bertolak dari pandangan Haidegger Derrida berpandangan bahwa berbagai upaya penyingkapan Ada tidak akan pernah dapat menemukan makna Ada karena apa yang kemudian tampak bagi manusia hanyalah jejak-jejak Ada yang terus menerus menangguhkan kehadirannya.
4.      Ferdinand de Saussure
  Dari Saussure, Derrida  mendapatkan dasar teoretik untuk mengembangkan sebuah ilmu bahasa baru yang menegaskan ketidakmungkinan untuk memahami ada dalam perspektif kehadiran. Saussure melangsungkan sebuah kritik terhadap metafisika  dengan pandangan tentang bahasa sebagai sebagai sistem differensial.
D.    KRITIK UMUM
            Pemikiran Derrida mengenai dekonstruksi, yaitu membongkar dan membalik wacana, tidak untuk mencari kebenaran melainkan untuk menunjukkan ketidakmampuan teks dalam menyajikan suatu kebenaran yang mutlak , selain memongkar, derrida juga menginginkan dengan dekontruksi dapat menghidupkan kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Metode ini sangatlah rancu dan sulit dicerna , bagaimana bisa ketika seseorang ingin membongkar teks tersebut namun disisi lain dia juga ingin mengembangkannya. Hal ini akan menyulitkan untuk diaplikasikan dalam alam nyata.
            Ketika Derrida mengatakan dalam teori dekonstruksinya bahwa tidak pernah ada kebenaran dalam teks, pengetahuan tidak ada pusatnya (knowledge without centre) , maka bagaimana seorang dapat berfikir logis jika tidak ada satu prinsip permanen yang mendasarinya. Sedangkan banyak hal-hal prinsip dan paten yang harus diterima akal manusia.  Banyak paradoksi yang ditemui dalam pemikiran Derrida dan jika dipaksakan maka akan terjerumus pada kekosongan “Nihilisme”. Kosong dari prinsip, pemahaman teks dan sebagainya. Menurutnya tidak sesuatupun yang bersifat  permanen dan universal sedangkan disisi lain dekonstruksi derrida menginginkan pengahancuran dan pergolakan dalam teks. Lantas bagaimana manusia bisa melakukan pengahancuran dan pergolakan , sementara tidak ada tolak ukur yang jelas dalam penentuan penghancuran dan pergolakan itu sendiri. Dan bagaimana sesorang bisa mengkritisi segala argumen yang muncul jika tidak ada tolak ukur kebenaran berfikir itu sendiri. Dasar pemikiran derrida tidak memiliki asas yang jelas, dan tentunya pemikirannya tentu akan semakin sulit diterima oleh akal sehat manusia.
E.     KRITIK ISLAM
Memahami pemikiran Derrida tentang dekonstruksi, yang mengatakan bahwa kebenaran dalam teks tidaklah ada, kebenaran bersifat falliable, dapat diuji dan didalamnya tidak ada kebenaran mutlak, karena setiap kebenaran selalu ada jejak dibelakangnya. Teori dekonstruksi Derrida yang menafikan kebenaran akan membuatnya terjebak kepada Nihilisme, yang otomatis ia juga akan menafikan kebenaran Tuhan yang mutlak. Sedangkan dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahwa Allah adalah yang Maha Benar, Dia adalah kebenaran yang Mutlak.
Selain hal di atas, berkaitan dengan Dekontruksi Derrida yang ingin membongkar teks,  pembaca tidak hanya terpaku pada makna sebenarnya pada teks, teks adalah arena pergulatan terbuka. Semua orang bebas mengartikan teks tersebut karena menurutnya tidak ada kebenaran absolut, selalu ada jejak dibelakang jejak. Jika dikaitkan dengan Islam, maka hal ini tentu bertentangan dengan teks al-Qur’an, jika menurut Derrida semua teks bisa diartikan secara bebas, maka hukum-hukum yang ada dalam Islam akan rancu, kejahatan akan meraja lela, karena masing-masing bebas untuk mengartikan teks al-Qur’an. Dan Allahpun sudah menjelaskan mengenai kebenaran makna dalam al-quran di surat al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi :
y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ  
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
            Menindaklanjuti hal diatas, jika teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh , melainkan sebagai arena pergulatan terbuka. Maka akan muncul banyak kelompok yang berlomba-lomba untuk menafsirkan makna teks sesuai dengan keinginan dan tujuan golongan  , dan hal ini tentu menimbulkan banyak perselisihan dan akan semakin banyak lagi golongan yang saling menyalahkan bahkan mengkafirkan antara satu golongan dengan golongan yang lain, yang pada  akhirnya akan membuat Islam tidak lagi menjadi agama pemersatu atau agama rahmatan lilalamin, tetapi justru menjadi sumber perpecahan, karena adanya bebas tafsir dari teks ak-Quran itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
McCance,Dawne  Derrida on Religion: Thinker of Difference, Equinox Publishing : London,2009
Norris , christopher, membongkar teori dekonstruksi Derrida, Ar-Ruzz Media : Jogjakarta, 2008


[1] Dawne McCance,  Derrida on Religion: Thinker of Difference, Equinox Publishing : London,2009,h. 22
[2] Christopher Norris, membongkar teori dekonstruksi Derrida, Ar-Ruzz Media : Jogjakarta, 2008, h 13
[3] Ibid,h.11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar