Halaman

Jumat, 13 September 2013



RUMUS-RUMUS PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadis
Dosen Pembimbing     : Drs. Muhammad Zuhdi, MA

Oleh    :
Siti Ikhwanul Mutmainnah Pamungkas
Syahrul Wilda

uin.jpg


PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahamat sekalian alam. Seiring dengan itu ,tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini menjelaskan tentang metode-metode penerimaan dan periwayatan hadis. Mulai dari macam-macam metode hingga pembagiannya. Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh karenaitu,saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

Jakarta,  5  November  2011


Penulis
METODE PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
Proses penyebaran hadis tak ubahnya dengan proses belajar mengajar antara guru dan murid. Guru berfungsi sebagi penyebar dan murid sebagai penerima ilmu. Kemudian murid-murid tersebut juga berkewajiban menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain secara estafet dan berturut-turut. Di dalam  penyebaran dan penerimaan hadis, terdapat 8 metode yaitu, al-sama’,al-Qira’ah , ijazah, munawalah,kitabah, i’lam, wasiat, dan wijadah .Maka dalam makalah ini kami akan mencoba sedikit menguraikan tentang metode-metode periwayatan dan penerimaan hadis tersebut.
1.       السما ع  (mendengarkan bacaan guru )
Pada metode ini guru membacakan hadis yang dihafal atau yang terdapat dalam kitabnya dihadapan murid-murid. Apakah murid hanya sebatas mendengarkan atau mencatat bacaan guru tersebut. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa metode yang paling bagus adalah mendengarkan bacaan syekh dan mencatatnya. Karena guru sibuk berbicara dan murid langsung mencatatnya.[1]
Pada metode ini biasanya murid dalam meriwayatkan kepada yang lain menggunakan lafadz  
سمعت ,حدثني,اخبرني ,انبأني,قال لي,ذكرلي
Akan tetapi setelah terjadi perkembangan pengkhususan sebagian lafadz tahammul maka lafadz ada’ seperti berikut ini :
Untuk السماع  : سمعت dan حدثني
Untuk  قراءة    : اخبرني       
Untuk اجازة   : انبأني[2]
Al-khatib berpendapat bahwa, bahwa ungkapan السما ع   yang paling tinggi adalah سمعت ,  حدثني kemudian اخبرني sebelum dikhusususkanuntuk metode tahammul wal ada’. Demikian juga sedikit sekali periwayat dalam metode السما ع   yang menggunakan kata قال لي dan ذكرلي , karena dua kata ini kebanyakan digunakan dalam metode sama’ al-mudzakarah bukan sama’ al-tahdits, jadi kedua belah pihak antara murid dan syaikh belum ada kesiapan untuk periwayatan.[3]
2.      قراءة (membaca dihadapan guru )
Para ahli hadis juga menamakannya dengan عرضاً. Dalam metode ini murid membacakan hadis,  baik itu hafalan atau catatannya dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Imam Ahmad mensyaratkan dalam metode ini, bahwa murid tersebut mengerti dan paham apa yang dibacanya dan Imam Haramain mensyaratkan guru mempunyai pengetahuan tentang bacaan tersebut sekiranya apabila terjadi perubahan atau kesalahan tulis dari murid. Jika syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka menurut beliau tidak sah menerima hadis darinya.
Mengenai tingkatannya, metode ini  terbagi menjadi tiga pendapat :
a.       Setara dengan السماع,  pendapat ini dikemukakan oleh Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
b.      Lebih utama dari السماع , alasan mereka adalah karena mungkin saja terdapat kekeliruan didalam bacaan dan murid tidak mengetahuinya. Sehingga mungkin saja mereka meriwayatkan sesuatu yang keliru. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, dan Abu Zaib[4].
c.       Lebih rendah dari السماع, dan ini merupakan pendapat sebagian besar ulama hadis.
Bentuk ungkapan kata ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah :
1.      Bentuk ungkapan yang lebih berhati-hati(ahwath), yaitu قرأت على فلان  (aku membaca dihadapan si Fulan) atau  قرئ عليه وأناأسمع /فأقربه (dibaca dihadapannya dan aku mendengarkannya/maka diakui bacaannya).
2.      Bentuk ungkapan yang diperbolehkan (jawaz), yaitu menggunakan bentuk ungkapan campuran metode السماع yang diikuti sekaligus metode قراءة. Misalnya :
حدثنا قراءة عليه  (ia memberitakan kepada kami dengan membaca dihadapannya).
3.      Bentuk ungkapan yang umum, yaitu dengan menggunakan kata اخبرني saja, karena pengakuan syekh terhadap bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3.      اجازة ( Izin Meriwayatkan )
Ulama terdahulu tidak memperbolehkan menggunakan metode ini, kecuali dengan beberapa syarat. Pertama, guru harus mengetahui apa yang diizinkannya. Kedua, apabila izin dalam bentuk tulisan, maka naskah yang dimiliki murid harus sesuai dengan naskah perawi. Yang ketiga, guru merupakan seorang yang ahli ilmu hadis dan hadis sehingga kebenaran akan ilmu tersebut terjamin kebenarannya.
Diantara ulama yang mengemukakan syarat diatas adalah Hasan al-Basri, Ibnu Sihab al- Zohiri, Makful, dan Imam Malik.
Macam-macam  ijazah :
1.      Mengizinkan periwayatan dengan rincian khusus
Contoh      : Guru mengizinkan meriwayatkan hadis  Shahih Bukhari.
2.      Mengizinkan meriwayatkan sesuatu yang masih umum  yang dimiliki guru.
Contoh      : Seorang murid diizinkan meriwayatkan  hadis-hadis  yang didengar oleh sang guru.
3.      Mengizinkan hadis-hadis yang masih umum dan izin tersebut bersifat umum.
Contoh      : Guru mengucapkan “aku izinkan orang yang semasa denganku meriwayatkan segala hadis yang aku dengar”.
4.      Memberikan izin untuk suatu kitab yang belum jelas dan kepada orang yang belum jelas. Pada metode ini biasany terdapat kesamaan beberapa nama sifat atau beberapa nama orang yang diberi izin.
Contoh      : “aku ijazahkan kepadamu meriwayatkan kitab Sunan”, sedangkan syeikh meriwayatkan banyak kitab Sunan, Sunan yang mana? Atau “aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid”, sedangkan orang yang bernama ini banyak.[5]
5.      Memberi Izin kepada orang yang belum lahir.
Contoh      : Guru memberikan izin terhadap anak sang murid akan tetapi murid tersebut  belum mempunyai anak. [6]
Menurut pendapat ulama dibolehkan meriwayatkan hadis dengan metode ijazah yang pertama, akan tetapi ada sebagian yang melarangnya yaitu golongan Syafi’i. Adapun dengan metode-metode selainnya  terdapat perbedaan pendapat.
4.      المناولة  (pemberian)
Yang dimaksud dengan munawalah adalah guru memberikan kepada muridnya suatu atau beberapa hadis dan kitab untuk diriwayatkan. Munawalah ada dua macam, yaitu :
1.      Munawalah yang disertai izin
Metode ini lebih cocok dan dapat diterima dari pada metode yang satunya, karena disertai izin langsung dari guru. Biasanya guru memakai kalimat :
هذا سمعته من فلا ن فخذه و اروه عنى . Dalil yang digunakan untuk membolehkan cara ini adalah tulisan Rosulullah kepada Umar bin Hazin dan beliau memerintahkan agar ia mengamalkannya.
2.      Munawalah yang tidak disertai izin
Perbedaan cara ini dengan cara yang pertama adalah hanya tidak disertakan izin dari guru.
Bentuk ungkapan periwayatan hadis dalam metode المناولة berijazah yang paling baik adalah dengan mengatakan : ناولنى وأجازلى (si Fulan memberikan hadis kepadaku dan memberikan ijazah untuk meriwayatkannya). Atau dengan ungkapan metode السماع dan  قراءة yang muqayyad . Misalnya : حدّ ثنا منا ولة  (memberikan kepada kami dengan metode munawalah).
5.       الكتابة (korespodensi)
Guru menuliskan hadis-hadis yang didengarnya kepada orang yang hadir atau yang tidak hadir dan dengan tulisannya sendiri atau menyuruh orang lain. Kitabah juga terbagi menjadi dua seperti halnya dengan munawalah yaitu dengan disertai izin ataupun tanpa disetai izin. Yang dianggap paling sah adalah yang disertai dengan izin. Biasanya kalimat yang digunakan adalah اجزتك ما كتبت لك . Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, apakah didalam catatan tersebut terdapat keterangan atau tidak . Sebagian ulama mensyaratkan harus ada keterangan karena mungkin saja ada kerancuan didalam tulisan, sedangkan sebagian ulama yang lainnya berpendapat tidak wajib disyaratkan karena tulisan seseorang tidak akan samar bagi orang lain (tidak akan serupa).
6.      الئعلم (pemberitahuan )
Yang dimaksud dengan الئعلم adalah bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya  bahwa hadis ini atau kitab ini didengarnya atau diterimanya  dari seseorang. Hukum meriwayatkan dengan metode ini terdapat dua pendapat ulama. Yang pertama membolehkannya, ini merupakan pendapat mayoritas ahli hadis, fiqh dan ushul. Yang kedua berpendapat tidak boleh, karena meskipun telah diberitahukan bahwa itu merupakan hadis tetapi murid blm tentu diberi izin untuk meriwayatkannya.[7]
Bentuk ungkapan periwayatan hadis biasanya menggunakan kata : أعلمنى شيخي بكذا ( syeikh memberikan informasi /memberitahu kepadaku begini …………..)
7.      الوصية  (pesan)
Metode الوصية adalah metode dimana seorang guru mewasiatkan sebelum ia melakukan perjalanan atau sebelum meninggal untuk menulis hadis-hadis yang diriwayatkannya kepada seseorang. Sebagian ulama membolehkan meriwayatkan dengan metode ini karena  dengan dibolehkannya mencatat hadis-hadis tersebut merupakan bagian dari izin  dan cara ini sama dengan metode الئعلم . Namun  sebagian ulama lainnya tidak membolehkannya karena wasiat sebagai tahammul adalah merupakan cara yang paling lemah dari cara-cara sebelumnya. Menurut jumhur ulama orang yang dberi wasiat tidak boleh meriwayatkan hadis yang diwasiatkan kepadanya tersebut. Apabila masih ingin meriwayatkan hadis ini maka ia harus menggunakan lafaz yang khusus dalam menyampaikannya kepada yang lain dan menjelaskannya kepada yang lain bahwa ia menerima hadis ini dengan cara wasiat. Namun ada sebagian ulama salaf yang melakukan metode ini, seperti Abu Qilalah Abd Allah bin Zayd al-Jurumi (w.104 H), sebelum wafatnya berpesan agar kitab-kitabnya diberikan kepada al-Sukhtiyani (w.131 H), kitab-kitab itu diserahkan kepadanya sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham. [8] Bentuk ungkapan periwayatannya adalah : حدثنى فلا ن وصية (si Fulan memberitakan kepadaku dengan wasiat).
8.      الوجادة (temuan)
Yaitu seorang murid menemukan beberapa hadis yang dicatat oleh gurunya, akan tetapi ia belum memperoleh izin dan mendengarkan guru membacakan hadis tersebut. Meriwayatkan dengan الوجادة hampir sama dengan munqoti’. Akan tetapi hanya rawinya saja yang bersambung. [9]  Bentuk ungkapan periwayatannya adalah : وجدت بخط فلان كذا ( aku dapatkan pada tulisan si Fulan begini,…….)
Pengamalan الوجادة tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama hadis Maliki sedangkan menurut Syafi’I dan pandangan para sahabatnya diperbolehkan, bahkan sebagian peneliti as-syafi’I wajib diamalkan jika penukilnya memiliki kredibelitas dalam periwayatan. الوجادة yang memenuhi persyaratan disamping kegeniusan seorang murid dalam pemahaman , tidak lebih dari tahammul dengan اجازة , karena hakekat اجازة adalah الوجادة yang disertai izin. الوجادة yang memenuhi persyaratan dapat diterima. Periwayatan dengan metode ini sangat langka sekali digunakan oleh para ulama dikalangan salaf. Jumhur ahli ilmu mengutamakan periwayatan secara langsung(musyafahah) yakni metode السماع dan  قراءة. Bahkan para ulama salaf mencela periwayatan الوجادة ini karena dikhawatirkan adanya penyimpangan dan perubahan didalam periwayatan dan sebagian menilai dhoif periwayatan tersebut.[10]


[1] ‘ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 234
[2] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm. 109
[3] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 60
[4] ‘ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 235
[5] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 64
[6] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 161
[7] ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 241
[8] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 68
[9] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 165
[10] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 69-70