RUMUS-RUMUS PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadis
Dosen Pembimbing : Drs.
Muhammad Zuhdi, MA
Oleh :
Siti Ikhwanul Mutmainnah Pamungkas
Syahrul Wilda

PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada kehadirat Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan
kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahamat sekalian alam.
Seiring dengan itu ,tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini menjelaskan tentang metode-metode penerimaan dan
periwayatan hadis. Mulai dari macam-macam metode hingga pembagiannya. Penulis
menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak
retak”. Oleh karenaitu,saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah
ini dapat berguna bagi pembaca.
Jakarta, 5 November
2011
Penulis
METODE
PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
Proses penyebaran hadis tak ubahnya dengan proses belajar mengajar
antara guru dan murid. Guru berfungsi sebagi penyebar dan murid sebagai
penerima ilmu. Kemudian murid-murid tersebut juga berkewajiban menyampaikan
ilmu tersebut kepada orang lain secara estafet dan berturut-turut. Di
dalam penyebaran dan penerimaan hadis,
terdapat 8 metode yaitu, al-sama’,al-Qira’ah , ijazah, munawalah,kitabah,
i’lam, wasiat, dan wijadah .Maka dalam makalah ini kami akan mencoba
sedikit menguraikan tentang metode-metode periwayatan dan penerimaan hadis
tersebut.
1.
السما ع (mendengarkan bacaan guru )
Pada
metode ini guru membacakan hadis yang dihafal atau yang terdapat dalam kitabnya
dihadapan murid-murid. Apakah murid hanya sebatas mendengarkan atau mencatat
bacaan guru tersebut. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa metode yang paling
bagus adalah mendengarkan bacaan syekh dan mencatatnya. Karena guru sibuk
berbicara dan murid langsung mencatatnya.[1]
Pada
metode ini biasanya murid dalam meriwayatkan kepada yang lain menggunakan lafadz
سمعت
,حدثني,اخبرني ,انبأني,قال لي,ذكرلي
Akan
tetapi setelah terjadi perkembangan pengkhususan sebagian lafadz tahammul
maka lafadz ada’ seperti berikut ini :
Untuk السماع : سمعت dan حدثني
Untuk
قراءة : اخبرني
Untuk اجازة : انبأني[2]
Al-khatib
berpendapat bahwa, bahwa ungkapan السما ع yang paling tinggi adalah سمعت , حدثني kemudian اخبرني sebelum dikhusususkanuntuk metode tahammul
wal ada’. Demikian juga sedikit sekali periwayat dalam metode السما ع yang menggunakan kata قال لي dan ذكرلي ,
karena dua kata ini kebanyakan digunakan dalam metode sama’ al-mudzakarah bukan
sama’ al-tahdits, jadi kedua belah pihak antara murid dan syaikh belum
ada kesiapan untuk periwayatan.[3]
2.
قراءة (membaca dihadapan guru )
Para ahli hadis juga menamakannya
dengan عرضاً.
Dalam metode ini murid membacakan hadis,
baik itu hafalan atau catatannya dan guru mendengarkan bacaan tersebut.
Imam Ahmad mensyaratkan dalam metode ini, bahwa murid tersebut mengerti dan
paham apa yang dibacanya dan Imam Haramain mensyaratkan guru mempunyai
pengetahuan tentang bacaan tersebut sekiranya apabila terjadi perubahan atau
kesalahan tulis dari murid. Jika syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka
menurut beliau tidak sah menerima hadis darinya.
Mengenai
tingkatannya, metode ini terbagi menjadi
tiga pendapat :
a.
Setara
dengan السماع, pendapat ini
dikemukakan oleh Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
b.
Lebih
utama dari السماع , alasan mereka adalah karena mungkin saja terdapat kekeliruan
didalam bacaan dan murid tidak mengetahuinya. Sehingga mungkin saja mereka
meriwayatkan sesuatu yang keliru. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah,
dan Abu Zaib[4].
c.
Lebih
rendah dari السماع, dan ini merupakan pendapat sebagian besar ulama hadis.
Bentuk ungkapan kata ada’ yang
digunakan dalam metode ini adalah :
1.
Bentuk
ungkapan yang lebih berhati-hati(ahwath), yaitu قرأت
على فلان (aku membaca dihadapan si Fulan) atau قرئ عليه وأناأسمع
/فأقربه (dibaca dihadapannya
dan aku mendengarkannya/maka diakui bacaannya).
2.
Bentuk
ungkapan yang diperbolehkan (jawaz), yaitu menggunakan bentuk ungkapan campuran
metode السماع yang diikuti sekaligus metode قراءة. Misalnya :
حدثنا قراءة
عليه (ia memberitakan kepada kami dengan membaca
dihadapannya).
3.
Bentuk
ungkapan yang umum, yaitu dengan menggunakan kata اخبرني saja, karena pengakuan syekh terhadap
bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3.
اجازة ( Izin Meriwayatkan )
Ulama
terdahulu tidak memperbolehkan menggunakan metode ini, kecuali dengan beberapa
syarat. Pertama, guru harus mengetahui apa yang diizinkannya. Kedua, apabila
izin dalam bentuk tulisan, maka naskah yang dimiliki murid harus sesuai dengan
naskah perawi. Yang ketiga, guru merupakan seorang yang ahli ilmu hadis dan hadis
sehingga kebenaran akan ilmu tersebut terjamin kebenarannya.
Diantara
ulama yang mengemukakan syarat diatas adalah Hasan al-Basri, Ibnu Sihab al-
Zohiri, Makful, dan Imam Malik.
Macam-macam
ijazah :
1.
Mengizinkan
periwayatan dengan rincian khusus
Contoh : Guru mengizinkan meriwayatkan hadis Shahih Bukhari.
2.
Mengizinkan
meriwayatkan sesuatu yang masih umum yang
dimiliki guru.
Contoh : Seorang murid diizinkan meriwayatkan hadis-hadis yang didengar oleh sang guru.
3.
Mengizinkan
hadis-hadis yang masih umum dan izin tersebut bersifat umum.
Contoh : Guru mengucapkan “aku izinkan orang yang semasa denganku
meriwayatkan segala hadis yang aku dengar”.
4.
Memberikan
izin untuk suatu kitab yang belum jelas dan kepada orang yang belum jelas. Pada
metode ini biasany terdapat kesamaan beberapa nama sifat atau beberapa nama orang
yang diberi izin.
Contoh : “aku ijazahkan kepadamu meriwayatkan kitab Sunan”, sedangkan
syeikh meriwayatkan banyak kitab Sunan, Sunan yang mana? Atau “aku ijazahkan
kepada Muhammad bin Khalid”, sedangkan orang yang bernama ini banyak.[5]
5.
Memberi
Izin kepada orang yang belum lahir.
Contoh : Guru memberikan izin terhadap anak sang murid akan tetapi murid
tersebut belum mempunyai anak. [6]
Menurut
pendapat ulama dibolehkan meriwayatkan hadis dengan metode ijazah yang pertama,
akan tetapi ada sebagian yang melarangnya yaitu golongan Syafi’i. Adapun dengan
metode-metode selainnya terdapat perbedaan
pendapat.
4.
المناولة (pemberian)
Yang
dimaksud dengan munawalah adalah guru memberikan kepada muridnya suatu atau beberapa
hadis dan kitab untuk diriwayatkan. Munawalah ada dua macam, yaitu :
1.
Munawalah
yang disertai izin
Metode ini lebih cocok dan dapat
diterima dari pada metode yang satunya, karena disertai izin langsung dari
guru. Biasanya guru memakai kalimat :
هذا سمعته من
فلا ن فخذه و اروه عنى . Dalil
yang digunakan untuk membolehkan cara ini adalah tulisan Rosulullah kepada Umar
bin Hazin dan beliau memerintahkan agar ia mengamalkannya.
2.
Munawalah
yang tidak disertai izin
Perbedaan cara ini dengan cara yang
pertama adalah hanya tidak disertakan izin dari guru.
Bentuk ungkapan periwayatan hadis
dalam metode المناولة berijazah yang paling baik adalah dengan mengatakan : ناولنى وأجازلى
(si Fulan memberikan hadis kepadaku dan memberikan ijazah untuk
meriwayatkannya). Atau dengan ungkapan metode السماع dan
قراءة
yang muqayyad . Misalnya : حدّ ثنا منا ولة (memberikan kepada kami dengan metode
munawalah).
5.
الكتابة (korespodensi)
Guru
menuliskan hadis-hadis yang didengarnya kepada orang yang hadir atau yang tidak
hadir dan dengan tulisannya sendiri atau menyuruh orang lain. Kitabah juga
terbagi menjadi dua seperti halnya dengan munawalah yaitu dengan disertai izin
ataupun tanpa disetai izin. Yang dianggap paling sah adalah yang disertai dengan
izin. Biasanya kalimat yang digunakan adalah اجزتك ما
كتبت لك . Terdapat perbedaan
pendapat dalam hal ini, apakah didalam catatan tersebut terdapat keterangan
atau tidak . Sebagian ulama mensyaratkan harus ada keterangan karena mungkin
saja ada kerancuan didalam tulisan, sedangkan sebagian ulama yang lainnya
berpendapat tidak wajib disyaratkan karena tulisan seseorang tidak akan samar bagi
orang lain (tidak akan serupa).
6.
الئعلم (pemberitahuan )
Yang
dimaksud dengan الئعلم adalah bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa hadis ini atau kitab ini didengarnya
atau diterimanya dari seseorang. Hukum
meriwayatkan dengan metode ini terdapat dua pendapat ulama. Yang pertama
membolehkannya, ini merupakan pendapat mayoritas ahli hadis, fiqh dan ushul.
Yang kedua berpendapat tidak boleh, karena meskipun telah diberitahukan bahwa
itu merupakan hadis tetapi murid blm tentu diberi izin untuk meriwayatkannya.[7]
Bentuk
ungkapan periwayatan hadis biasanya menggunakan kata : أعلمنى شيخي بكذا (
syeikh memberikan informasi /memberitahu kepadaku begini …………..)
7.
الوصية (pesan)
Metode
الوصية
adalah metode dimana seorang guru mewasiatkan sebelum ia melakukan perjalanan
atau sebelum meninggal untuk menulis hadis-hadis yang diriwayatkannya kepada
seseorang. Sebagian ulama membolehkan meriwayatkan dengan metode ini
karena dengan dibolehkannya mencatat
hadis-hadis tersebut merupakan bagian dari izin
dan cara ini sama dengan metode الئعلم . Namun sebagian ulama lainnya tidak membolehkannya
karena wasiat sebagai tahammul adalah merupakan cara yang paling lemah dari
cara-cara sebelumnya. Menurut jumhur ulama orang yang dberi wasiat tidak boleh
meriwayatkan hadis yang diwasiatkan kepadanya tersebut. Apabila masih ingin meriwayatkan
hadis ini maka ia harus menggunakan lafaz yang khusus dalam menyampaikannya kepada
yang lain dan menjelaskannya kepada yang lain bahwa ia menerima hadis ini dengan
cara wasiat. Namun ada sebagian ulama salaf yang melakukan metode ini, seperti
Abu Qilalah Abd Allah bin Zayd al-Jurumi (w.104 H), sebelum wafatnya berpesan
agar kitab-kitabnya diberikan kepada al-Sukhtiyani (w.131 H), kitab-kitab itu
diserahkan kepadanya sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang
lebih 10 dirham. [8] Bentuk ungkapan periwayatannya adalah : حدثنى
فلا ن وصية (si Fulan
memberitakan kepadaku dengan wasiat).
8.
الوجادة (temuan)
Yaitu
seorang murid menemukan beberapa hadis yang dicatat oleh gurunya, akan tetapi
ia belum memperoleh izin dan mendengarkan guru membacakan hadis tersebut.
Meriwayatkan dengan الوجادة hampir sama dengan munqoti’. Akan tetapi hanya rawinya
saja yang bersambung. [9] Bentuk
ungkapan periwayatannya adalah : وجدت بخط فلان كذا ( aku dapatkan pada tulisan si Fulan
begini,…….)
Pengamalan الوجادة
tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama hadis Maliki sedangkan menurut
Syafi’I dan pandangan para sahabatnya diperbolehkan, bahkan sebagian peneliti
as-syafi’I wajib diamalkan jika penukilnya memiliki kredibelitas dalam
periwayatan. الوجادة yang memenuhi persyaratan disamping kegeniusan seorang murid
dalam pemahaman , tidak lebih dari tahammul dengan اجازة , karena hakekat
اجازة
adalah الوجادة yang disertai izin. الوجادة yang memenuhi persyaratan dapat diterima.
Periwayatan dengan metode ini sangat langka sekali digunakan oleh para ulama
dikalangan salaf. Jumhur ahli ilmu mengutamakan periwayatan secara langsung(musyafahah)
yakni metode السماع dan قراءة. Bahkan para
ulama salaf mencela periwayatan الوجادة ini karena dikhawatirkan adanya
penyimpangan dan perubahan didalam periwayatan dan sebagian menilai dhoif
periwayatan tersebut.[10]
[1] ‘ijajul khatib,
ushul hadis ,hlm 234
[2] Mahd at-thahan,
taisir musthalahul hadis, hlm. 109
[3]
Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 60
[4] ‘ijajul khatib,
ushul hadis ,hlm 235
[5]
Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 64
[6]
Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 161
[7]
ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 241
[8]
Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 68
[9]
Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 165
[10]
Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 69-70