Halaman

Jumat, 13 September 2013



RUMUS-RUMUS PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadis
Dosen Pembimbing     : Drs. Muhammad Zuhdi, MA

Oleh    :
Siti Ikhwanul Mutmainnah Pamungkas
Syahrul Wilda

uin.jpg


PROGRAM STUDI AKIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis haturkan kepada kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk menjadi rahamat sekalian alam. Seiring dengan itu ,tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi dalam menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini menjelaskan tentang metode-metode penerimaan dan periwayatan hadis. Mulai dari macam-macam metode hingga pembagiannya. Penulis menyadari akan kekurangan dari makalah ini. Karena “Tak ada gading yang tak retak”. Oleh karenaitu,saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah ini dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

Jakarta,  5  November  2011


Penulis
METODE PENERIMAAN DAN PERIWAYATAN HADIS
Proses penyebaran hadis tak ubahnya dengan proses belajar mengajar antara guru dan murid. Guru berfungsi sebagi penyebar dan murid sebagai penerima ilmu. Kemudian murid-murid tersebut juga berkewajiban menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain secara estafet dan berturut-turut. Di dalam  penyebaran dan penerimaan hadis, terdapat 8 metode yaitu, al-sama’,al-Qira’ah , ijazah, munawalah,kitabah, i’lam, wasiat, dan wijadah .Maka dalam makalah ini kami akan mencoba sedikit menguraikan tentang metode-metode periwayatan dan penerimaan hadis tersebut.
1.       السما ع  (mendengarkan bacaan guru )
Pada metode ini guru membacakan hadis yang dihafal atau yang terdapat dalam kitabnya dihadapan murid-murid. Apakah murid hanya sebatas mendengarkan atau mencatat bacaan guru tersebut. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa metode yang paling bagus adalah mendengarkan bacaan syekh dan mencatatnya. Karena guru sibuk berbicara dan murid langsung mencatatnya.[1]
Pada metode ini biasanya murid dalam meriwayatkan kepada yang lain menggunakan lafadz  
سمعت ,حدثني,اخبرني ,انبأني,قال لي,ذكرلي
Akan tetapi setelah terjadi perkembangan pengkhususan sebagian lafadz tahammul maka lafadz ada’ seperti berikut ini :
Untuk السماع  : سمعت dan حدثني
Untuk  قراءة    : اخبرني       
Untuk اجازة   : انبأني[2]
Al-khatib berpendapat bahwa, bahwa ungkapan السما ع   yang paling tinggi adalah سمعت ,  حدثني kemudian اخبرني sebelum dikhusususkanuntuk metode tahammul wal ada’. Demikian juga sedikit sekali periwayat dalam metode السما ع   yang menggunakan kata قال لي dan ذكرلي , karena dua kata ini kebanyakan digunakan dalam metode sama’ al-mudzakarah bukan sama’ al-tahdits, jadi kedua belah pihak antara murid dan syaikh belum ada kesiapan untuk periwayatan.[3]
2.      قراءة (membaca dihadapan guru )
Para ahli hadis juga menamakannya dengan عرضاً. Dalam metode ini murid membacakan hadis,  baik itu hafalan atau catatannya dan guru mendengarkan bacaan tersebut. Imam Ahmad mensyaratkan dalam metode ini, bahwa murid tersebut mengerti dan paham apa yang dibacanya dan Imam Haramain mensyaratkan guru mempunyai pengetahuan tentang bacaan tersebut sekiranya apabila terjadi perubahan atau kesalahan tulis dari murid. Jika syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka menurut beliau tidak sah menerima hadis darinya.
Mengenai tingkatannya, metode ini  terbagi menjadi tiga pendapat :
a.       Setara dengan السماع,  pendapat ini dikemukakan oleh Malik, Bukhari, sebagian besar ulama Hijaz dan Kufah.
b.      Lebih utama dari السماع , alasan mereka adalah karena mungkin saja terdapat kekeliruan didalam bacaan dan murid tidak mengetahuinya. Sehingga mungkin saja mereka meriwayatkan sesuatu yang keliru. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah, dan Abu Zaib[4].
c.       Lebih rendah dari السماع, dan ini merupakan pendapat sebagian besar ulama hadis.
Bentuk ungkapan kata ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah :
1.      Bentuk ungkapan yang lebih berhati-hati(ahwath), yaitu قرأت على فلان  (aku membaca dihadapan si Fulan) atau  قرئ عليه وأناأسمع /فأقربه (dibaca dihadapannya dan aku mendengarkannya/maka diakui bacaannya).
2.      Bentuk ungkapan yang diperbolehkan (jawaz), yaitu menggunakan bentuk ungkapan campuran metode السماع yang diikuti sekaligus metode قراءة. Misalnya :
حدثنا قراءة عليه  (ia memberitakan kepada kami dengan membaca dihadapannya).
3.      Bentuk ungkapan yang umum, yaitu dengan menggunakan kata اخبرني saja, karena pengakuan syekh terhadap bacaan muridnya sama dengan pemberitaan kepadanya.
3.      اجازة ( Izin Meriwayatkan )
Ulama terdahulu tidak memperbolehkan menggunakan metode ini, kecuali dengan beberapa syarat. Pertama, guru harus mengetahui apa yang diizinkannya. Kedua, apabila izin dalam bentuk tulisan, maka naskah yang dimiliki murid harus sesuai dengan naskah perawi. Yang ketiga, guru merupakan seorang yang ahli ilmu hadis dan hadis sehingga kebenaran akan ilmu tersebut terjamin kebenarannya.
Diantara ulama yang mengemukakan syarat diatas adalah Hasan al-Basri, Ibnu Sihab al- Zohiri, Makful, dan Imam Malik.
Macam-macam  ijazah :
1.      Mengizinkan periwayatan dengan rincian khusus
Contoh      : Guru mengizinkan meriwayatkan hadis  Shahih Bukhari.
2.      Mengizinkan meriwayatkan sesuatu yang masih umum  yang dimiliki guru.
Contoh      : Seorang murid diizinkan meriwayatkan  hadis-hadis  yang didengar oleh sang guru.
3.      Mengizinkan hadis-hadis yang masih umum dan izin tersebut bersifat umum.
Contoh      : Guru mengucapkan “aku izinkan orang yang semasa denganku meriwayatkan segala hadis yang aku dengar”.
4.      Memberikan izin untuk suatu kitab yang belum jelas dan kepada orang yang belum jelas. Pada metode ini biasany terdapat kesamaan beberapa nama sifat atau beberapa nama orang yang diberi izin.
Contoh      : “aku ijazahkan kepadamu meriwayatkan kitab Sunan”, sedangkan syeikh meriwayatkan banyak kitab Sunan, Sunan yang mana? Atau “aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid”, sedangkan orang yang bernama ini banyak.[5]
5.      Memberi Izin kepada orang yang belum lahir.
Contoh      : Guru memberikan izin terhadap anak sang murid akan tetapi murid tersebut  belum mempunyai anak. [6]
Menurut pendapat ulama dibolehkan meriwayatkan hadis dengan metode ijazah yang pertama, akan tetapi ada sebagian yang melarangnya yaitu golongan Syafi’i. Adapun dengan metode-metode selainnya  terdapat perbedaan pendapat.
4.      المناولة  (pemberian)
Yang dimaksud dengan munawalah adalah guru memberikan kepada muridnya suatu atau beberapa hadis dan kitab untuk diriwayatkan. Munawalah ada dua macam, yaitu :
1.      Munawalah yang disertai izin
Metode ini lebih cocok dan dapat diterima dari pada metode yang satunya, karena disertai izin langsung dari guru. Biasanya guru memakai kalimat :
هذا سمعته من فلا ن فخذه و اروه عنى . Dalil yang digunakan untuk membolehkan cara ini adalah tulisan Rosulullah kepada Umar bin Hazin dan beliau memerintahkan agar ia mengamalkannya.
2.      Munawalah yang tidak disertai izin
Perbedaan cara ini dengan cara yang pertama adalah hanya tidak disertakan izin dari guru.
Bentuk ungkapan periwayatan hadis dalam metode المناولة berijazah yang paling baik adalah dengan mengatakan : ناولنى وأجازلى (si Fulan memberikan hadis kepadaku dan memberikan ijazah untuk meriwayatkannya). Atau dengan ungkapan metode السماع dan  قراءة yang muqayyad . Misalnya : حدّ ثنا منا ولة  (memberikan kepada kami dengan metode munawalah).
5.       الكتابة (korespodensi)
Guru menuliskan hadis-hadis yang didengarnya kepada orang yang hadir atau yang tidak hadir dan dengan tulisannya sendiri atau menyuruh orang lain. Kitabah juga terbagi menjadi dua seperti halnya dengan munawalah yaitu dengan disertai izin ataupun tanpa disetai izin. Yang dianggap paling sah adalah yang disertai dengan izin. Biasanya kalimat yang digunakan adalah اجزتك ما كتبت لك . Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, apakah didalam catatan tersebut terdapat keterangan atau tidak . Sebagian ulama mensyaratkan harus ada keterangan karena mungkin saja ada kerancuan didalam tulisan, sedangkan sebagian ulama yang lainnya berpendapat tidak wajib disyaratkan karena tulisan seseorang tidak akan samar bagi orang lain (tidak akan serupa).
6.      الئعلم (pemberitahuan )
Yang dimaksud dengan الئعلم adalah bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya  bahwa hadis ini atau kitab ini didengarnya atau diterimanya  dari seseorang. Hukum meriwayatkan dengan metode ini terdapat dua pendapat ulama. Yang pertama membolehkannya, ini merupakan pendapat mayoritas ahli hadis, fiqh dan ushul. Yang kedua berpendapat tidak boleh, karena meskipun telah diberitahukan bahwa itu merupakan hadis tetapi murid blm tentu diberi izin untuk meriwayatkannya.[7]
Bentuk ungkapan periwayatan hadis biasanya menggunakan kata : أعلمنى شيخي بكذا ( syeikh memberikan informasi /memberitahu kepadaku begini …………..)
7.      الوصية  (pesan)
Metode الوصية adalah metode dimana seorang guru mewasiatkan sebelum ia melakukan perjalanan atau sebelum meninggal untuk menulis hadis-hadis yang diriwayatkannya kepada seseorang. Sebagian ulama membolehkan meriwayatkan dengan metode ini karena  dengan dibolehkannya mencatat hadis-hadis tersebut merupakan bagian dari izin  dan cara ini sama dengan metode الئعلم . Namun  sebagian ulama lainnya tidak membolehkannya karena wasiat sebagai tahammul adalah merupakan cara yang paling lemah dari cara-cara sebelumnya. Menurut jumhur ulama orang yang dberi wasiat tidak boleh meriwayatkan hadis yang diwasiatkan kepadanya tersebut. Apabila masih ingin meriwayatkan hadis ini maka ia harus menggunakan lafaz yang khusus dalam menyampaikannya kepada yang lain dan menjelaskannya kepada yang lain bahwa ia menerima hadis ini dengan cara wasiat. Namun ada sebagian ulama salaf yang melakukan metode ini, seperti Abu Qilalah Abd Allah bin Zayd al-Jurumi (w.104 H), sebelum wafatnya berpesan agar kitab-kitabnya diberikan kepada al-Sukhtiyani (w.131 H), kitab-kitab itu diserahkan kepadanya sebagai pengganti transportasinya ia menyerahkan uang lebih 10 dirham. [8] Bentuk ungkapan periwayatannya adalah : حدثنى فلا ن وصية (si Fulan memberitakan kepadaku dengan wasiat).
8.      الوجادة (temuan)
Yaitu seorang murid menemukan beberapa hadis yang dicatat oleh gurunya, akan tetapi ia belum memperoleh izin dan mendengarkan guru membacakan hadis tersebut. Meriwayatkan dengan الوجادة hampir sama dengan munqoti’. Akan tetapi hanya rawinya saja yang bersambung. [9]  Bentuk ungkapan periwayatannya adalah : وجدت بخط فلان كذا ( aku dapatkan pada tulisan si Fulan begini,…….)
Pengamalan الوجادة tidak diperbolehkan menurut mayoritas ulama hadis Maliki sedangkan menurut Syafi’I dan pandangan para sahabatnya diperbolehkan, bahkan sebagian peneliti as-syafi’I wajib diamalkan jika penukilnya memiliki kredibelitas dalam periwayatan. الوجادة yang memenuhi persyaratan disamping kegeniusan seorang murid dalam pemahaman , tidak lebih dari tahammul dengan اجازة , karena hakekat اجازة adalah الوجادة yang disertai izin. الوجادة yang memenuhi persyaratan dapat diterima. Periwayatan dengan metode ini sangat langka sekali digunakan oleh para ulama dikalangan salaf. Jumhur ahli ilmu mengutamakan periwayatan secara langsung(musyafahah) yakni metode السماع dan  قراءة. Bahkan para ulama salaf mencela periwayatan الوجادة ini karena dikhawatirkan adanya penyimpangan dan perubahan didalam periwayatan dan sebagian menilai dhoif periwayatan tersebut.[10]


[1] ‘ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 234
[2] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm. 109
[3] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 60
[4] ‘ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 235
[5] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 64
[6] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 161
[7] ijajul khatib, ushul hadis ,hlm 241
[8] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 68
[9] Mahd at-thahan, taisir musthalahul hadis, hlm 165
[10] Dr. Bustamin, M.Si, Dasar-dasar Ilmu Hadis, hlm 69-70

Kamis, 13 Juni 2013

Politik Islam Indonesia



GERAKAN POLITIK ISLAM INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Pemikiran Modern Dalam Islam Di Indonesia
Dosen Pembimbing     :  Abdul Muthallib, M.A
Oleh    :
Siti Ikhwanul Muthmainnah Pamungkas
1111033100031
uin.jpg

PROGRAM STUDY AKIDAH DAN FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF  HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013


A.    PENDAHULUAN

            Asal-usul dan pertumbuhan Politik Islam Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Sarekat Islam. Terutama duapuluh tahun pertama didirikannya. Sebuah Partai Islam lainnya, Persatuan Muslimin Indonesia di daerah Sumatra pernah aktif sebagai partai Politik Islam Indonesia dalam beberapa tahun pada permulaan tahun 1930, akan tetapi setelah itu ia lumpuh dikarenakan mendapat tekanan dan tindakan kecaman dari pemerintah Belanda.[1] Partai Islam Indonesia yang tumbuh sekitar tahun 1937 awalnya memperlihatakan perkembangan dan harapan-harapan yang besar bagi bangsa Indonesia, namun hal ini hanyalah mimpi belaka dan tidak pernah tercapai, karena lima tahun setelah itu bala tentara Jepang datang untuk mengambil alih kekuasaan dari Belanda.
            Karena keadaan politik dan partai-partai politik Islam Indonesia tidak mempunyai kesempatan tumbuh secara baik, terbukalah kemungkinan untuk mempelajari aspek politik dari gerakan pembaharuan Islam dari perkembangan Sarekat Islam. Maju mundurnya pergerakan partai ini, memperlihatkan banyak sedikitnya , maju dan mundurnya posisi umat Islam di Indonesia yang mendasarkan ideologinya pada ajaran Islam.
            Lahirnya Sarekat Islam di ranah perpolitikan Islam Indonesia yang berbasis  Islam, menjadi inspirasi wajib banyak tokoh pergerakan  Islam  masa awal Indonesia membentuk partai-partai Islam dan memperjuangkannya sebagai alat mencapai kemerdekaan  mutlak Indonesia pada  masa pra kemerdekaan. Namun tidak hanya pada masa itu saja, di masa reformasi hingga kini pula, banyak partai-partai politik Islam yang mendirikan partai politik Islam dengan beralaskan bahwa sebagian mereka mempunyai keterkaitan historis khusus dengan partai-partai politik Islam pertama di indonesia seperti Sarekat Islam.


B.     AWAL MULA PERGERAKAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA : SAREKAT ISLAM

      Sarekat Islam didirikan di Solo pada tanggal 11 November 1912, yang muncul dari organisasi yang telah mendahuluinya yang bernama Serekat Dagang Islam. organisasi ini awalnya dibentuk karena adanya beberapa hal, yakni; kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dengan para pedagang China, dan adanya sikap superioritas orang-orang China terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan meletusnya revolusi China di tahun 1911.[2]
      Tujuan awal berdirinya organisasi Sarekat Islam Indonesia yang sebagai benteng orang-orang Indonesia pada umumnya yang terdiri dari pada pedagang batik terhadap perilaku superioritas bangswan China tadi  pada akhirnya menaruh perhatian terhadap masalah organisasi dan politik, pada pertengahan 1912 Sarekat Islam mulai menaruh perhatian terhadap urusan-urusan organisasi termasuk didalamnya pencarian anggota dan pemimpin,  penyusunan anggaran dasar, dan hubungan antara organisasi pusat dan organisasi daerah. [3]Setelah berhasil menuntaskan masalah pengurusan organisasi dan penyusunan anggaran, menyebabkan organisasi Sarekat Islam ini berjalan dengan lancar hingga mencapai puncaknya pada tahun 1916-1921. Namun mulusnya organisasi pasti mendapatkan banyak rintangan pula. Dimasa puncaknya cukup banyak konflik  partai terjadi bahkan Sarekat Islam pernah dibekukan oleh Residen Surakarta walaupun pada akhirnya diaktifkan kembali. Tokoh yang sangat berjasa dalam perjalanan sulit Sarekat Islam adalah Oemar Said Tjokroaminoto. Ia memperjuangkan dan memperkuat Sarekat Islam yang berada dalam masa-maa krisisnya. Ia memperjuangkan adanya kerjasama yang erat di antara satuan-satuan Sarekat Islam lokal. Tjokroaminoto berhasil memberikan bentuk yang jelas tentang struktur Sarekat Islam dan berusaha mengurangi penderitaan rakyat yang pada saat itu berada pada situasi dibawah tekanan pemerintah Belanda. Selain Tjokroaminoto, banyak sekali tokoh-tokoh yang memberikan konstribusi penting di Sarekat Islam , seperti: Abdoel Moeis dan H.Agus Salim
      Pada periode tahun 1916-1921, struktur organisasi Sarekat Islam sedikit banyak menunjukkan arah kestabilan. Sarekat Islam memberikan perhatian lebih khusus kepada berbagai masalah baik dalam hal politik maupun hal keagamaan. Sifat-sifat politiknya tercermin dengan jelas pada setiap kongres-kongres tahunannya. Perkembangan kongres-kongres yang di adakan Sarekat Islam mengalami perubahan yang signifikan, pertemuan-pertemuan organisasi yang tadinya hanya disebut sebagai kongres, pada periode lanjutannya berkembang menjadi kongres nasional. Diadakannya kongres nasional ini tidak hanya menunjukkan bahwa organisasi ini telah tersebar di hampir seluruh tanah air melainkan suatu usaha sadar diri para pemimpin Sarekat Islam untuk menyebarkan dan menegakkan cita-cita Nasionalisme, dengan Islam sebagai landasan dasar pemikirannya.[4]
      Tjokroaminoto selaku ketua Sarekat Islam berkata bahwa dengan ditegakkan Nasionalisme, diharapkan agar meningkatkan rasa kebangsaan orang-orang Indonesia yang merupakan usaha pertama untuk berjuang menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang-kurangnya orang-orang Indonesia  diberikan haknya untuk mengemukakan pendapatnya dalam hal politik. Menurut Abdoel Moeis, Nasionalisme merupakan suatu usaha agar kemerdekaan suatu bangsa dan suatu negeri dicapai dengan cepat. Sarekat Islam menuntut berdirinys dewan-dewan daerah , perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk mentransformasikam menjadi lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk keperluan legislatif. Selain itu Sarekat Islam juga menuntut penghapusan kerja paksa dan sistem izin untuk bepergian.
      Tidak haya berjuang dalam bidang perpolitikan saja, Sarekat Islam juga memperjuangkan hak-hak lainnya demi kemajuan bagsa Indonesia agar tidak terus menerus dihina dan direndahkan oleh bangsa lain. Dalam bidang pendidikan , Sarekat Islam menuntut penghapusan peraturan yang mendeskriminasikan penerimaan murid-murid di sekolah-sekolah. Ia juga menuntut terlaksana program wajib belajar untuk semua penduduk, perbaikan dan pertambahan jumlah sekolah-sekolah dan pemberian beasiswa berprestasi kepada pemuda-pemuda tanah air untuk belajar ke luar negeri. Tentu hal merupakan tidakan yang sangat luar biasa. Partai Sarekat Islam tidak hanya berkutat dalam dunia perpolitikan saja seperti partai-partai politik yang berkembang dimasa saat ini, kebanyakan partai hanyalah mengembangkan perjuangannya dalam hal politik untuk mencari simpati masyarakat Indonesia. Partai Sarekat Islam bukanlah partai yang hanya mau berjuang pada beberapa bidang saja. Partai Sarekat Islam pun memikirkan peningkatan kualitas sdm Indonesia dengan memperjuagkan sistem persamaan pendidikan. Mereka menginginkan kelak Indonesia bisa menjadi bangsa yang memiliki SDM yang handal dan cerdas , bangsa yang tidak mudah diambil harga dirinya oleh bangsa lain. Sarekat Islam mempunyai harapan agar sebagian besar atau bahkan keseluruhan masyarakat Indonesia tidak lagi buta huruf, yang hanya terkungkung dengan peraturan-peraturan pemerintahan kolonial. Mereka menginginkan semua golongan masyarakat Indonesia bisa ikut andil dalam usaha-usaha pergerakan dan kemajuan untuk mencapai suatu negara yang merdeka secara mutlak.
      Sarekat Islam juga menuntut adanya pemisahan fungsi eksekutif dan yudikatif. Karena pada saat itu persoalan pertikaian antara pihak-pihak pemerintah  dan yang diperintah sering terjadi. Sarekat Islam menginginkan persamaan kedudukan dalam pemerintahan maupun dalam hukum antara pemerintah dan golongan penduduk negeri khususnya perlindungan hukum bagi penduduk yang lemah.[5] Tidak hanya sampai disitu saja, Sarekat Islam melakukan perjuangan-perjuangan dalam bidang industri, pertanian dan bahkan dalam bidang keuangan.
      Partai Sarekat Islam menuntut perbaikan dalam bidang agraria dan pertanian dengan penghapusan particulieren landerijen( milik tuan tanah ) serta perbaikan irigasi-irigasi. Selain itu partai juga menuntut peNasionalisasian industri-industri yang mempunyai sifat monopoli dan yang memenuhi hajat hidup orang banyak.
      Dalam bidang keuangan dan pajak, partai menuntut adanya pajak-pajak berdasarkan proporsional  serta terhadap pajak-pajak yang dipungut dari laba perkebunan. Partai juga mendesak agar pemerintah memerangi alkohol dan segala jenis yang dapat merusak generasi penerus bangsa. Dan partai juga melarang adanya penggunaan tenaga anak dibawah usia produktif.
      Keseluruhan tuntutan dan program kerja partai Sarekat Islam ini selalu diperinci  dalam setiap mosi-mosi partai dalam setiap kongres tahunan. Partai Sarekat Islam juga mengirimkan utusan-utusan partai untuk ikut serta dan berpartisipasi dalam Dewan Rakyat. Walaupun sering terjadi perdebatan pendapat tentang partisipasi dalam Dewan Rakyat, tetapi mereka tetap berpartisipasi dalam Dewan Rakyat. Abdoel Moeis berpendapat bahwa ia melihat Dewan Rakyat merupakan suatu langkah awal untuk mendirikan dewan perwakilan yang sebenarnya, walaupun ia sendiri tidak sepenuhnya puas dengan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan oleh Dewan Rakyat.[6]
      Permasalahan diatas merupakan awal malapetaka kemunduran Partai Sarekat Islam. Perdebatan terjadi antara dua kubu internal partai, kubu Abdoel Moeis dan kubu Semaun , yang memperdebatkan tentang fungsi Dewan Rakyat. Menurut Semaun Dewan Rakyat hanyalah akal-akalan dari kaum kapitalis untuk semakin menjatuhkan Indonesia dan mengelabui pandangan rakyat jelata untuk mendapatkan keuntungan yang berlimpah. Namun partai lebih memilih keputusan Abdoel Moeis untuk bergabung dalam Dewan Rakyat.
      Tjokroaminoto yakin bahwa Dewan Rakyat merupakan wadah aksi yang tepat yang bertindak sebagai wadah penasehat bagi parlemen kolonial Belanda dan sebagai rem bagi anggota-anggota parlemen yang konservatif. Dan akhirnya dengan idenya inilah Tjokroaminoto pengangkatan dirinya dalam dewan rakyat disetujui oleh para satuan-satuan Sarekat Islam Lokal dan Sarekat Islam Central.
      Namun setelah beberapa waktu Partai Sarekat Islam berpartisipasi dalam dewan rakyat, ada beberapa masalah yang mencuat kembali dalam sidang dewan rakyat yaitu penolaka Dewan tersebut atas mosi Partai Sarekat Islam untuk mengurangi luas tanah yang dipergunakan bagi penanaman tebu dengan 25 persen. Yakin dengan kebenaran mosi ini yang menurut mereka bermanfaat untuk kepentingan rakyat banyak, sebagian pemimpin-pemimpin Partai Sarekat Islam yang awalnya menyetujui partisipasi partai dalam dewan rakyat mulai mempersoalkan perlu atau tidaknya partisipasi ini dilanjutkan. Hal inilah yang kemudian menjadi perdebatan panjang tiada henti dalam internal partai. Sarekat Islam residen Semarang yang dipimpin Semaun yang berbalik haluan menjadi Komunis mulai menyerang Sarekat Islam dengan terus menerus menolak kepemimpinan dan keputusan partai serta melakukan propaganda-propaganda yang melemahkan keutuhan partai.
      Perebutan kepemimpinan terjadi atara dua kubu tersebut. Masing masing kubu saling berlomba-lomba untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Kedua belah pihak pun melakukan federasi serikat-serikat sekerja seperti Serikat Sekerja Gula, Serikat Sekerja Pegadaian  dan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh Hindia untuk mendapat dukungan.
      Namun perselisihan tak kunjung surut. Kaum komunis menyatakan ketidak percayaannya terhadap kepemimpinan Sarekat Islam dibawah Tjokroaminoto. Walaupun pada akhirnya kedua belah pihak inipun berdamai pada kongres nasional  partai yang kelima . Tjokroaminoto memang lebih mementingkan keutuhan partai ketimbang persoalan persoalan prinsip seperti sesuai atau tidaknya Komunisme dengan Islam atau dengan Nasionalisme.
      Masuknya komunis dalam partai meluluhlantakkan secara perlahan tubuh Partai Sarekat Islam. Belanda juga melakukan penekanan-penekanan dan penumpasan pada partai-partai yang tentunya hal ini membuat takut sebagian besar anggota partai sehingga pada akhirnya mereka lebih memilih mundur. Faktor kemunduran partai juga diakibatkan karena bayaknya pertentangan-pertentangan yang terjadi di antara para pimpinan partai terlebih dalam soal-soal yang bersifat pribadi.
      Pada periode kurun waktu 1927-1942, Sarekat Islam bertransformasi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia. Di periode ini, sarekat Islam melakukan perubahan , seperti pada struktur partai dan dasar partai. Sarekat Islam yang awalnya berasaskan Islam mulai berubah menjadi sebuah partai yang kekuasaannya bersandar pada kemauan rakyat yang menyatakan  sepenuhnya suaranya dalam MPR yang susunannya berdasarkan asas demokrasi yang seluas-luasnya.[7] Mengenai program kerja PSSI, sebagian besar melanjutkan program kerja Sarekat Islam dengan melakukan beberapa perubahan dan penambahan di beberapa bidang.

C.     PERGERAKAN PARTAI POLITIK ISLAM SEKARANG

      Pergerakan Partai Politik Islam di Indonesia di masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru) mengalami pasang surut. Hal ini diakibatkan aturan yang diterapkan Soeharto yakni penerapan asas tunggal, dimana asas ini secara langsung mencabut hak-hak kebebasan untuk berpolitik bahkan menyampaikan hak-hak politik di depan massa. Peraturan ini tentunya menguatkan sebagian partai besar yang mendapat perhatian dari pemerintah saja dan tentunya akan memadamkan partai-partai yang  sedang berkembang.  Bahkan asas tunggal juga memadamkan dan membatasi hak-hak untuk membuat partai politik yang sesuai dengan ideologi masyarakat. Keadaan ini tentu saja menimbulkan perlawanan dari berbagai pihak. Hingga pada pucaknya yaitu pada tahun 1999. Mayoritas penduduk Indonesia menghendaki adanya kebebebasan dalam berideologi dan runtuhnya sistem pemerintahan monarki absolut yang diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru.  Konflik antara dua kelompok (pemerintah dan masyarakat ) tak dapat di elakkan hingga akhirnya berakhirlah masa orde baru dan meletuslah sistem peemerintahan reformasi  dimana sistem pemerintahan yang menerima dan menghargai hak-hak berpendapat dan berideologi masyarakat untuk memilih dan menentukkan sendiri arah  politik Indonesia.
      Runtuhnya rezim Orde Baru tentu tidak disia-siakan oleh umat Islam untuk menyusun kembali perjuangan penegakkan syari’at Islam di jalur politik. Munculnya partai-partai Islam di masa saat ini adalah karena mencuatnya kembali cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara.[8] Semangat ini tentu saja merupakan warisan dari para aktor-aktor politik Islam zaman pra-kemerdekaan  seperti semangat perjuangan Tjokroaminoto dalam menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang bernafaskan Islam.
      Munculnya partai-partai Islam saat ini merupakan jelamaan dari partai Islam pra Kemerdekaan. Mereka mewarisi semangat bahkan berlomba-lomba untuk mengklaim partai politiknya sebagai penerus partai Islam terdahulu, Partai Sarekat Islam. Partai-Partai Islam yang memperoleh justifikasi historis menjadi kelanjutan kebesaran partai Islam di masa lalu. Banyak partai-partai Islam seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB) dan partai  lainnya yang mengaku mempunyai hubungan historis dengan partai Islam pendahulunya. Mereka menyebutkan Islam sebagai asas dasar partai, sama halnya seperti pada asas partai Sarekat Islam dahulu.
      Namun partai-partai Islam saat ini sebagian besar lebih berorientasi pada pencarian dukungan umat Islam sebanyak-banyaknya daripada melakukan perjuangan-perjuagan seperti pada perjuangan Sarekat Islam dahulu. Jika dilihat dari sejarah, partai Islam dahulu lebih mengutamakan pergerakan-pergerakan untuk mensejahterakan rakyat dan mencapai kemerdekaan Indonesia daripada mencari dukungan untuk mendapatkan popularitas. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan tujuan partai-partai Islam saat ini. Walaupun pada umumnya partai-partai ini berjanji untuk melakukan perbaikan –perbaikan seperti halnya partai besar Islam terdahulu, toh pada akhirnya sebagian besar dari anggota partai mereka lebih mengutamakan kursi jabatan dan memperbanyak massa daripada merealisasikan janji-janji mereka.
      Partai-partai Islam masa revolusi berlomba-lomba untuk menarik suara umat Islam sebanyak-banyaknya. Namun akibat ambisi ini tidak disertai dengan pergerakan-pergerakan yang nyata, pada pemilu 1999, banyak partai-partai Islam yang gagal mendapat suara yang layak. Karena pada saat itu minat politik masyarakat Indonesia lebih cenderung pada partai-partai nasionalis seperti GOLKAR. Hal ini tentu saja membuat partai politik islam semakin terpuruk dan tertinggal jauh oleh partai kaum nasionalis dalam perolehan suara.
      Tetapi  faktor terpuruknya partai-partai islam bukan diakibatkan Islam sebagai landasannya, akan tetapai melainkan dari faktor para pengurus dan para pemimpinnya yang kurang becus dalam  mengatur dan mengurus  kinerja partainya.[9] Mereka akhirnya menyatukan suara semua partai untuk melakukan dukungan terpusat pada satu calon yang akan melaju pada puatan pemilihan presiden, yakni Abdurrahman Wahid.  Ini merupakan taktik poros terngah. Taktik poros tengah juga dipakai untuk mengganjal naiknnya tokoh dari kaum nasionalis kekursi presiden. Dan saat itu memang Abdurrahman Wahid lah yang terpilih menjadi presiden Indonesia mengalahkan megawati untuk menggantikan B.J Habibie. Ini diaggap sebagai kemenangan besar sementara bagi umat Islam atas kaum Nasionalis.
      Padahal kaum Islam di masa pra Kemerdekaan tidaklah seambisius ini dengan jabatan. Sebagai contoh adalah Wahid Hasyim, ia adalah contoh politikus Islam idealis yang sagat menjunjung tinggi Islam di atas segalanya, namun ia tetap menghormati segala keputusan yang diambil oleh kaum Nasionalis walaupun pada saat itu keputusan itu sangat mengecewakan kaum Islam pada umunyanya dan Wahid Hasyim pada khususnya. Begitu juga para anggota Sarekat Islam, mereka lebih mementingka persatuan semua golongan daripada mementingkan masalah prinsip seperti prinsip ketidak cocokan Islam dan Nasionalime.
      Kemenangan Islam atas Nasionalisme pada pemilu 1999 tentu menimbulkan konflik yang nyata antara kedua kubu tersebut. Hingga akhirnya terjadi kesepakatan untuk mencalonkan Megawati , kaum Nasionalis, sebagai wakil Presiden dari Abdurrahman Wahid. Tentu ini merupakan suatu langkah yang sangat luarbiasa untuk menyatukan perseteruan antara kaum Islam modernis dan Nasionalis yang memang sudah mengakar kuat dari zaman pra Kemerdekaan.
      Akibat kecerobohan Abdurrahman Wahid dalam memimpin dan membuat keputusan yang sepihak, banyak anggota parlemen dari kubu Nasionalis yang mengkritik dan memintanya untuk mengundurkan diri. Memang banyak sekali kesalahan besar yang terjadi pada masa pemerintahan beliau seperti pada salahnya penanganan konflik berdarah di Ambon, penyalahgunaan dana sumbangan dari Kerajaan Bruney , membuka hubungan dagang dengan zionis Israel dan lain sebagainya. Walaupun ada beberapa pembaharuan-pembaharuan penting yang ia lakukan. Tidak hanya sampai situ saja , Abdurrahman Wahid juga berusaha mempertahankan kedudukannya dengan mengeluarkn dekrit tentang pembubaran MPR dan DPR. Hal ini  merupakan anggapan kegagalan umat Islam dalam memimpin. Mereka tidak berkaca pada kebesaran partai Islam masa lampau, bagaimana partai Islam dahulu banyak berjuang dan bergerak untuk mencapai kesejahteraan dan kemerdekaan bangsa tanpa harus mengabaikan Islam sebagai landasan berfikir mereka.
      Keadaan  partai Islam dahulu dengan partai Islam sekarang memanglah  berbeda. Jika dahulu partai Islam walaupun mereka berbeda pendapat dengan sesama anggota atau bahkan dengan lawan politik, mereka tetap menghargai satu sama lain, saling melengkapi kekosonga diantara mereka. Bahka mereka saling mendukung kebijakan dan kekuasaan lawan politiknya. Tidak seperti keadaan partai politik saat ini, politik Islam saat ini masih disekat-sekat dengan adanya simbol dan citra partai. Sesama partai Islam yang memiliki ideologi sama saja masih banyak yang tidak sependapat , apalagi dengan partai yang memiliki ideologi berbeda, tentu semakin sulit untuk disatukan.
      Radikalisasi partaipun terjadi saat ini. Banyak partai-partai Islam yang berkoalisi dengan partai Nasionalis hanya untuk mendapatkan bagian dalam pemerintahan. Partai-partai Islam saat ini lebih mengutamakan kedudukan dan jabatan dalam pemerintahan daripada memperjuangkan aspirasi rakyat Indonesia. Bahkan tidak sedikit anggota-anggota partai yang hanya bisa mengobral janji tanpa memenuhi janji-jajinya setelah mendapat simpati umat Islam dan bahkan ada bebrapa yang sampai tersandung kasus-kasus korupsi yang jelas-jelas merupakan hal yang sangat dilarang oleh syari’at Islam.
      Pergerakan partai politik Islam saat ini terfokus pada beberapa hal, seperti pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan rakyat, peingkatan mutu pendidikan serta meneruskan program-program kerja partai-partai Islam terdahulu, yakni mengembalikan kemurnian Islam dan menjadikan Islam sebagai asas partai.  Tentu hal-hal di atas bukanlah hal baru dalam dunia politik Islam Indonesia. Hal itu merupakan program-program lanjutan dari Partai Sarekat Islam dahulu. Mereka memang menginginkan partai Islam saat ini bisa berjaya dan besar seperti dahulu , bisa lebih banyak menyalurkan aspirasi-aspirasi rakyat Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya dan berpartisipasi dalam perjalanan pemerintahan di Indonesia.
















D.    KESIMPULAN

      Asal-usul dan pertumbuhan Politik Islam Indonesia dapat dikatakan identik dengan asal-usul dan pertumbuhan Sarekat Islam. Partai Sarekat Islam banyak mengilhami berdirinya partai-partai politik Islam di masa sekarang. Sarekat Islam adalah partai politik yang menjadikan Islam sebagai asas dalam bernegara dan berbangsa .
      Sarekat Islam memberikan perhatian lebih khusus kepada berbagai masalah baik dalam hal politik maupun hal keagamaan .Perjuangan Sarekat Islam dalam dunia perpolitikan Indonesia tidaklah sedikit. Banyak tuntutan-tuntutan dan perjuangan yang ia lakukan demi tercapainya kesejahteraan penduduk indonesia dan kemerdekaan Indonesia.
      Runtuhnya rezim Orde Baru tentu tidak disia-siakan oleh umat Islam untuk menyusun kembali perjuangan penegakkan syari’at Islam di jalur politik. Munculnya partai-partai Islam di masa saat ini adalah karena mencuatnya kembali cita-cita menjadikan Islam sebagai landasan berbangsa dan bernegara. Semangat ini tentu saja merupakan warisan dari para aktor-aktor politik Islam zaman pra-kemerdekaan  seperti semangat perjuangan Tjokroaminoto dalam menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang bernafaskan Islam.
      Keadaan  partai Islam dahulu dengan partai Islam sekarang memanglah  berbeda. Jika dahulu partai Islam walaupun mereka berbeda pendapat dengan sesama anggota atau bahkan dengan lawan politik, mereka tetap menghargai satu sama lain, saling melengkapi kekosonga diantara mereka. Bahkan mereka saling mendukung kebijakan dan kekuasaan lawan politiknya. Tidak seperti keadaan partai politik saat ini, politik Islam saat ini masih disekat-sekat dengan adanya simbol dan citra partai. Sesama partai Islam yang meliki ideologi sama saja masih banyak yang tidak sependapat , apalagi dengan partai yang memiliki ideologi berbeda, tentu semakin sulit untuk disatukan. Radikalisasi partaipun terjadi saat ini. Banyak partai-partai Islam yang gagal mendapat suara yang layak pada pemilu. Partai politik islam semakin terpuruk dan tertinggal jauh oleh partai kaum nasionalis dalam perolehan suara. Tetapi  faktor terpuruknya partai-partai islam bukan diakibatkan Islam sebagai landasannya, akan tetapai melainkan dari faktor para pengurus dan para pemimpinnya yang kurang becus dalam  mengtur dan mengurus  kinerja partainya.


DAFTAR PUSTAKA

     
Iqbal , Muhammad dan H.Amin Husein, Pemikiran Politik Islam, Kencana Prenada Media Group, 2010
Ismail,Faisal, Pijar-pijar Islam, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan : Jakarta, 2002
Noer, Deliar,  Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Oxford University Press,1973




[1] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Oxford University Press,1973 , h.114
[2] Deliar Noer, ibid, h.115
[3] Ibid, h.116
[4] Deliar Noer, ibid,  h.126
[5] Deliar Noer, ibid, h.128
[6] Deliar Noer, ibid, h. 129
[7] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indonesia 1900-1942, Oxford University Press,1973 , h.157
[8]  M.Iqbal dan H.Amin Husein, Pemikiran Politik Islam, Kencana Prenada Media Group, 2010, h.304
[9]  Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan : Jakarta, 2002,h. 128